Minggu, 10 Mei 2009

Revolusi Sebutir Benih

Oleh: MT Felix Sitorus

Kita harus mencapai swasembada beras tahun 2008. Target itu dicanangkan Wapres Jusuf Kalla di Sichuan, Cina, 9 Juni lalu seusai menandatangani naskah kerjasama pembangunan pusat hibrida antara Indonesia dan Cina.

Target itu jelas tidak masuk akal! Revolusi Hijau Gelombang Pertama (Revolusi Hijau-I) saja memerlukan waktu 15 tahun (1970-1985) untuk mencapai status itu. Swasembada dalam setahun pastilah mimpi seorang pengusaha.

Yang agak masuk akal adalah target swasembada beras tahun 2010 atau tiga tahun ke depan. Itupun hanya mungkin dicapai melalui satu jalan yaitu Revolusi Hijau Gelombang Kedua (Revolusi Hijau-II). Seperti apakah itu?

Basis benih

Inti Revolusi Hijau-II adalah kembali ke jalur yang benar yaitu pengembangan pertanian padi berbasis benih. Ini mengoreksi Revolusi Hijau-I yang melencengkan pengembangan pertanian padi ke jalur keliru yaitu berbasis pupuk.

Pelencengan itu adalah buah doktrin ”apapun benihnya yang penting pupuknya” dari kapitalis pupuk kimia. Fokus Revolusi Hijau-I berhasil digeser dari penggunaan benih unggul produksi tinggi ke penggunaan pupuk kimia, dari revolusi benih ke revolusi pupuk.

Pergeseran fokus itu menyebabkan petani abai akan mutu benih. Sembarang benih yang tidak responsif terhadap pupuk lalu digunakan. Terjadilah pemupukan berlebih yang merusak tanah sawah. Produktivitaspun merosot hingga status swasembada beras rontok.

Benih adalah inti pertanian maju dan tangguh. Dalam Kongres Padi Internasional II di New Delhi (Oktober 2006) dikemukakan tahun 2025 dunia membutuhkan 800 juta ton beras. Karena itu produktivitas padi harus naik dari 5 menjadi 8 ton/ha. Kunci utama untuk itu adalah perbaikan kualitas benih.

Cina konsisten menerapkan strategi pengembangan pertanian padi berbasis benih. Revolusi Hijau tidak pernah berhenti di sana. Riset intensif untuk menemukan benih padi varietas baru yang lebih unggul berlangsung terus. Melalui inovasi benih padi unggul produksi tinggi, terutama hibrida, Cina telah mencapai kedaulatan pangannya.

Di Indonesia Revolusi Hijau berhenti tahun 1984, saat target swasembada beras tercapai. Sejak itu riset perbenihan padi mandeg. Tidak ada lagi terobosan inovasi benih padi unggul yang mampu menembus kebuntuan produktivitas 4-5 ton/ha.

Karena itu Revolusi Hijau-II di Indonesia mempersyaratkan revitalisasi perbenihan padi. Riset benih padi unggul harus menjadi prioritas utama nasional dalam pendanaan, peningkatan sumberdaya manusia, dan pengembangan institusi.
Secara bersamaan industri perbenihan padi juga harus menjadi prioritas pengembangan. Targetnya mewujudkan industri benih padi modern berbasis riset yang kuat.

Riset dan industri benih padi yang kuat adalah kunci menuju kedaulatan pangan. Potensi plasma nuftah padi nusantara dapat didayagunakan. Benih padi unggul dapat disediakan sendiri, tidak perlu impor. Berarti negara bebas dari ”kolonialisme pangan”.

Agribisnis padi

Judul artikel ini menegaskan benih itu ”kecil” tetapi membawa perubahan ”besar”. Penggunaan benih padi unggul menuntut perubahan radikal pada organisasi/ manajemen produksi.

Semasa Revolusi Hijau-I organisasi/manajemen produksi padi berubah secara radikal dari pola subsistensi rumahtangga ke pola agribisnis besar. Agribisnis padi itu dikelola organisasi BIMAS, suatu korporasi padi skala nasional yang menyatukan kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi dari desa sampai pusat.

Melalui program BIMAS pemerintah mengelola pertanian padi sebagai agribisnis. Pemerintah mengambil keputusan produksi lalu memobilisir kelompok-kelompok tani untuk pelaksanaan di lapang.

Peran organisasi/manajemen BIMAS itulah kunci pencapaian swasembada beras tahun 1984. Setelah BIMAS bubar, usailah era pendekatan organisasi/manajemen agribisnis padi. Usai pula status swasembada beras.

Sebagai koreksi, Revolusi Hijau-II harus dijalankan secara konsisten sebagai revolusi benih dan organisasi/manajemen produksi. Pertanian padi harus kembali dikelola sebagai agribisnis skala nasional.

Tetapi pengelolanya jangan lagi pemerintah seperti dulu, melainkan suatu organisasi/manajemen agribisnis padi semacam inkorporasi beras. Inkorporasi beras ini merupakan sinergi sejumlah BUMN agribisnis (benih, pupuk, pestisida, alsintan, pengolahan, pemasaran, pembiayaan) dan organisasi korporasi petani.

Jelas inkorporasi beras mempersyaratkan kehadiran organisasi korporasi petani yang kuat. Untuk itu dapat dibentuk Badan Usaha Milik Petani (BUMP) yang sahamnya dimiliki petani. Setiap BUMP bisa mengelola suatu unit agribisnis padi seluas 1.000 ha.

Agribisnis padi berorientasi pada peningkatan produksi, peningkatan/pemerataan pendapatan petani, dan kelestarian lingkungan. Untuk itu agribisnis padi harus mampu meningkatkan nilai ekonomi seluruh biomassa padi mulai dari beras (pangan), jerami (bahan bangunan), sekam (energi listrik), bekatul (minyak padi), sampai menir (tepung).

Lahan investasi

Tujuan Revolusi Hijau-II tidak semata mencapai swasembada beras. Tujuan lebih mendasar adalah transformasi pertanian padi dari pola subsistensi ke pola agribisnis.

Agribisnis padi adalah lahan investasi yang sangat menguntungkan di pedesaan. Peningkatan nilai ekonomi seluruh biomassa padi pada skala nasional jelas memerlukan investasi besar.

Investasi diperlukan untuk pembangunan instalasi pengeringan padi, pabrik pengolahan (beras, tepung, minyak beras), instalasi pembangkit listrik tenaga panas pembakaran sekam, pabrik bahan bangunan, dan lain-lain. Semua itu akan menghasilkan dampak multiplier ekonomi yang sangat luas dan besar.

Jika Revolusi Hijau-II ditempuh mengikuti gagasan di atas, maka ia tidak hanya akan menggerakkan perekonomian desa. Lebih dari itu ia akan menggerakkan perekonomian nasional. Sedahsyat itulah dampak ”revolusi sebutir benih”.***

Dimuat dalam: Suara Pembaruan 16 Juli 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar