Minggu, 10 Mei 2009

Keluar dari Krisis Kedelai

Oleh MT Felix Sitorus

Krisis kedelai pasti tidak terjadi seandainya gagasan besar Soekarno 45 tahun lalu diikuti. Pada saat peletakan batu pertama Fakultas Pertanian UI (cikal-bakal IPB) 1963 Soekarno memproyeksikan basis utama ketahanan pangan bangsa Indonesia masa depan adalah lahan kering. Oleh karena itu, Soekarno meminta para sarjana pertanian memusatkan energi untuk pengembangan pertanian lahan kering.

Menurut Soekarno pertanian padi sawah tidak akan mampu menyokong ketahanan pangan bangsa di masa depan. Dengan menyebut pertanian lahan kering, maka konsep ketahanan pangan Soekarno mencakup kecukupan pangan sumber karbohidrat (terutama beras dan jagung) dan protein nabati (terutama kedelai). Artinya, kedua jenis bahan pangan pokok itu harus tersedia secara berimbang dalam konteks swasembada.

Tetapi, konsep ketahanan pangan kita selama ini terfokus pada beras, sehingga alokasi sumber daya diutamakan untuk pengembangan sawah. Pengembangan usaha tani lahan kering, terutama kedelai, menjadi tertinggal. Akibatnya kebutuhan kedelai sangat bergantung pada impor.

Jika pemenuhan pangan suatu negara bergantung pada impor maka ketahanan pangannya menjadi rentan. Itulah yang terjadi dengan kedelai. Maka ketika produksi kedelai dunia menurun dan harganya membubung melampaui daya beli masyarakat, kita langsung jatuh ke dalam krisis kedelai.

Lantas apa implikasi krisis kedelai dan bagaimana kita dapat keluar dari masalah serius ini?

Konsep ketahanan pangan Soekarno itu membumi. Faktanya, susunan pangan pokok mayoritas penduduk Indonesia, terutama lapisan bawah, memang terdiri dari nasi/jagung dan lauk tahu/tempe (kedelai olahan). Jadi, kalau tahu/tempe hilang dari menu harian karena rakyat tidak mampu membelinya, berarti terjadi semi-krisis pangan. Itulah implikasi serius dari krisis kedelai.

Mengapa disebut semi-krisis pangan? Karena rakyat hanya makan setengah dari susunan menu, yaitu nasi/jagung. Yang separo lagi, yaitu lauk tahu/tempe, tidak terpenuhi.
Dalam konteks susunan pangan nasi/jagung plus tahu/tempe yang dominan dalam keluarga lapis bawah maka semi-krisis pangan berarti hanya mendapat asupan karbohidrat. Sedangkan asupan protein, yang didominasi protein nabati (tahu/tempe), tidak terpenuhi.

Kalau pola makan seperti itu berlangsung cukup lama mereka akan menjelma menjadi sub-populasi penderita malnutrisi. Anak-anak di sub-populasi itu lalu menjadi "generasi yang hilang". Jadi, jangan anggap enteng krisis kedelai. Jika tidak diatasi secara mendasar, ia dapat mengantar bangsa ini pada krisis sumber daya manusia.

Salah Urus

Akar krisis kedelai adalah salah urus perkeledaian nasional. Kebijakan perkeledaian kita berpihak pada impor, bukan pada produksi domestik. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri pada 1998 pemerintah mengenakan tarif impor nol persen. Akibatnya terjadi banjir impor kedelai murah, sehingga petani tidak tertarik lagi menanam kedelai.

Sejak itu produksi kedelai nasional secara pasti merosot. Pada 2000 produksi nasional masih sekitar 1,0 juta ton, tapi 2007 hanya 0,6 juta ton. Kemerosotan produksi terjadi karena penciutan luas tanam dan kemandegan produktivitas. Di tingkat petani, produktivitas kedelai di bawah 2.0 ton/ha.

Pilihan pada impor ketimbang peningkatan produksi domestik juga memandegkan riset kedelai. Masalahnya, temuan-temuan varietas unggul, dengan produktivitas 3-5 ton/ha, tidak diminati petani karena usaha tani kedelai cenderung merugi.

Sadar akan masalah, pada 2002 pemerintah menetapkan tarif impor kedelai 10 persen. Tapi, sudah terlambat. Kita sudah telanjur bergantung pada impor. Lagi pula dengan tarif 10 persen harga kedelai impor masih tetap lebih murah dibanding produksi domestik. Pada 2007 kita mengimpor 70 persen (1,3 juta ton) kedelai untuk memenuhi kebutuhan nasional (1,9 juta ton). Jelas, kita tidak berdaulat lagi dalam urusan kedelai.

Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan kedelai kita sangat rentan terhadap gejolak pasar dunia. Benar saja, ketika produksi kedelai dunia merosot antara lain, karena konversi lahan ke pengusahaan jagung untuk bio-fuel, awal tahun ini kita langsung menuai krisis kedelai.

Anehnya, untuk mengatasi krisis pemerintah justru kembali menolkan tarif impor kedelai. Padahal, sudah terbukti kebijakan serupa pada 1998 menghancurkan agribisnis kedelai domestik.

Untuk keluar dari krisis ada baiknya belajar dari pemerintah kolonial Belanda. Saat depresi besar pada 1934 melambungkan harga kedelai pemerintah kolonial langsung melarang impor kedelai. Lalu digalakkan program peningkatan produksi domestik yang sukses memenuhi kebutuhan kedelai sampai 1950-an.

Pemerintah Indonesia kini tidak perlu secara revolusioner melarang impor kedelai. Yang diperlukan adalah suatu kebijakan peningkatan produksi kedelai domestik yang revolusioner, tepat, dan men- dasar.

Selama ini kebijakan/strategi peningkatan produksi kedelai terpusat pada dua langkah, yaitu perluasan areal (ekstensifikasi) dan peningkatan teknologi (intensifikasi). Strategi ini sudah terbukti gagal, seperti terjadi pada program pengolahan tanaman terpadu dan optimalisasi lahan tidur perkebunan pada 2007.

Pangkal kegagalan tersebut adalah pengabaian terhadap aspek ketiga, yaitu modernisasi organisasi atau manajemen produksi. Perluasan areal dan peningkatan teknologi selama ini dilakukan pada basis organisasi produksi tani - tradisi keluarga.

Tipe manajemen produksi tradisi - tani tidak mampu mengadopsi teknologi modern dan menangani usaha kedelai skala besar secara optimum. Akibatnya pertanian kedelai gagal bertransformasi dari level tani - tradisi tani ke level tani - bisnis atau agribisnis.

Pendekatan

Peningkatan produksi kedelai untuk mewujudkan swasembada hanya mungkin tercapai melalui transformasi ke level agribisnis. Transformasi revolusioner ini dapat terjadi jika perluasan areal dan peningkatan teknologi diintegrasikan dengan modernisasi manajemen produksi.

Salah satu pendekatan modernisasi manajemen produksi yang layak ditempuh adalah kolaborasi perusahaan besar dan petani kedelai. Perusahaan besar menyumbangkan modal finansial, manajemen, teknologi unggul, dan jejaring pasar. Sedangkan petani menyumbangkan modal tanah, pengetahuan lokal, dan tenaga kerja.

Kolaborasi itu dapat mewujud dalam organisasi badan usaha milik petani (BUMP) dengan bisnis inti produksi kedelai. Untuk pertanaman padi, pendekatan seperti itu sudah sukses dijalankan PT Sang Hyang Seri dan sejumlah BUMN agribisnis lain.

Tiga langkah tadi harus didukung oleh litbang kedelai yang kuat. Litbang kedelai kini jauh tertinggal dibanding padi dan jagung. Pertanian padi sudah didukung institusi Balai Besar Litbang Tanaman Padi. Jagung didukung berbagai litbang industri benih multinasional.

Untuk mewujudkan swasembada kedelai, pemerintah harus membangun institusi litbang khusus kedelai. Untuk tahap awal bisa membentuk Balai Penelitian Kedelai dengan cara menghimpun semua peneliti kedelai dari berbagai puslitbang dan balai lingkup Departemen Pertanian.

Interaksi triangular antara perluasan areal, peningkatan teknologi, dan modernisasi manajemen bisnis yang berpusat pada litbang yang kuat, niscaya akan mewujudkan agribisnis kedelai yang tangguh dan kompetitif. Dengan itu kita keluar dari krisis kedelai. Ini memang tidak semudah menolkan tarif impor kedelai.

Dimuat dalam: Suara Pembaruan, 5 Februari 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar