Minggu, 10 Mei 2009

Pelajaran Agribisnis Padi dari Soeharto

Oleh: MT Felix Sitorus


Soeharto, presiden kedua RI, berjasa besar meletakkan dasar dan perangkat agribisnis padi secara nasional. Hal itu dilakukannya secara intensif sepanjang 1970-an sampai paruh pertama 1980-an.

Pencapaian target swasembada beras tahun 1984 adalah bukti keberhasilan Soeharto mengelola agribisnis padi. Pada tahun itu status Indonesia berbalik dari negara pengimpor menjadi pengekspor beras.

Sekarang Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras. Upaya mengulang cerita sukses 1984 tak kunjung berhasil.

Status swasembada beras tak bertahan lama karena, setelah 1984, Soeharto mengendorkan kendali manajemen agribisnis padi. Akibatnya angka produksi dan produktivitas pertanian padi semakin merosot.

Sekarang status swasembada tak kunjung tercapai karena rezim-rezim pasca-Soeharto allergik terhadap pendekatan manajemen agribisnis padi a’la Soeharto. Sementara rezim-rezim itu tidak punya pendekatan baru yang lebih baik.

Pada hal tidak ada salahnya belajar dari pendekatan Soeharto. Ikuti keunggulannya dan buang kelemahannya. Dengan demikian dapat dirumuskan suatu pendekatan baru yang lebih baik. Seperti apa itu?

Instruksi

Sesuai tradisi militeristiknya, Soeharto menerapkan pendekatan instruksi dalam pembangunan pertanian padi. Pendekatan ini menempatkan pemerintah sebagai subyek berkuasa. Sedangkan petani adalah obyek taklukan. Targetnya swasembada beras.

Inti pendekatan itu adalah instruksi presiden yang disalurkan secara top-down ke petani. Sebagai salurannya dibentuk organisasi bimbingan massal (Bimas) yang melibatkan semua level pemerintahan dari pusat sampai desa.

Di tingkat petani, untuk keperluan mobilisasi, dibentuk kelompok-kelompok tani. Fungsi kelompok tani adalah menjalankan instruksi di lapangan. Perannya sama seperti prajurit di medan perang.

Petani tidak boleh mengambil keputusan soal produksi. Hak pemerintah untuk memutuskan jenis benih, waktu tanam, pupuk, pestisida, dan lain-lain. Petani tinggal melaksanakan.

Keputusan produksi atau ramuan instruksi itu diambil oleh lembaga-lembaga penelitian di lingkungan Departemen Pertanian.

Tugas untuk memastikan petani menjalankan keputusan pemerintah dibebankan pada organisasi penyuluhan pertanian. Setiap penyuluh harus memastikan semua petani bimbingannya menjalankan instruksi. Kalau ada petani yang menentang instruksi pemerintah, misalnya menanam padi jenis lain, maka aparat keamanan akan ”mengamankan”nya.

Untuk mendekatkan petani ke pasar sarana dan hasil produksi pemerintah mendirikan KUD. Berfungsi sebagai down-line DOLOG/BULOG, KUD menyalurkan sarana produksi ke petani sekaligus membeli gabah dari petani.

Untuk menjamin ketersediaan sarana produksi pemerintah memfasilitasi pengembangan agroindustri baik BUMN maupun swasta. Akses petani terhadap sarana produksi itu dijamin melalui fasilitas kredit program dari BRI.

Pendekatan instruktif a’la Soeharto itu telah mencakup semua sub-sistem agribisnis. Agroindustri hulu (sarana produksi), usahatani (on-farm), agroindustri/bisnis hilir (pengolahan/pemasaran), dan penunjang (penelitian, penyuluhan, pembiayaan) diintegrasikan secara ketat dalam program Bimas.

Di atas semua itu adalah integritas Soeharto sebagai manajer agribisnis padi sakala nasional. Ia menempatkan dirinya sebagai jenderal pertanian yang memimpin serdadu pertanian untuk merebut target swasembada beras.

Soeharto menerapkan gaya manajemen militer yang sentralistik dan otoriter dalam menjalankan program Bimas. Itulah kunci keberhasilan manajemen agribisnis padi skala nasional a’la Soeharto.

Komunikasi

Pendekatan instruksi hanya mungkin diterapkan dalam sistem pemerintahan sentralistik yang otoriter. Di situ ia menutup ruang kreasi bagi petani dan swasta. Itu kelemahannya.

Kekuatannya, ia mampu memobilisasi seluruh sub-sistem agribisnis sebagai organisasi agribisnis padi skala nasional. Ia juga mampu mengeliminir ragam kepentingan sektoral/lokal yang tidak konsisten dengan swasembada beras nasional.

Dalam sistem pemerintahan desentralistik kini, pendekatan instruksi mustahil diterapkan. Sistem ini tidak menerima kepemimpinan otoriter. Ia memberi ruang bagi otonomi daerah yang menghadirkan ragam kepentingan lokal yang mungkin bertentangan dengan swasembada beras.

Alternatif yang masuk akal adalah pendekatan komunikasi. Pendekatan ini dapat mengatasi kelemahan pendekatan instruksi, sekaligus mempertahankan keunggulannya.
Untuk itu, pertama, seperti tahun 1970-an swasembada beras harus disepakati pemerintah (pusat/daerah) dan petani sebagai tujuan ekonomi bersama.
Kesepakatan itu lalu dijadikan dasar pembagian peran antara pemerintah pusat, pemerintah daerah (pemda), dan petani.

Peran pemda dan petani harus terukur. Indikatornya adalah angka luas sawah baku, luas tanam/panen, dan total produksi per tahun. Angka-angka ini harus merupakan hasil kesepakatan pemerintah dan petani.

Peran pemda dan petani itu dapat diamankan melalui kebijakan lahan sawah abadi. Untuk itu rancangan UU Lahan Pertanian Abadi harus segera diundangkan.
Tapi dalam implementasinya kebijakan itu harus demokratis. Penetapan dan pemetaan lahan sawah abadi harus dilakukan secara partisipatif. Keterlibatan petani dan pemerintah harus setara.

Di atas itu, seperti pada masa Bimas dulu, harus dibangun organisasi swasembada beras nasional. Organisasi ini harus melibatkan pemerintah dan petani secara setara pada semua level, dari pusat sampai daerah. Pucuk organisasi itu adalah presiden sendiri.

Dalam organisasi itu petani adalah subyek pengambil keputusan. Bukan obyek (pelaksana) keputusan seperti pada organisasi Bimas dulu. Untuk itu organisasi HKTI dan KTNA harus dilibatkan di sini.

Perusahaan agribisnis swasta/BUMN di hulu dan hilir juga harus dilibatkan. Tapi bukan sebagai pencari untung, melainkan mitra petani yang siap berbagi resiko.
Satu prinsip yang harus dipegang, agribisnis padi harus menguntungkan secara ekonomi. Skema kemitraan pengusaha-petani, misalnya berupa Badan Usaha Milik Petani (BUMP), dapat menjamin hal itu.

Tidak sulit menerapkan pendekatan komunikasi itu. Rezim Soeharto sudah membangun dasar dan perangkatnya. Tinggal menggeser paradigma dari ”instruksi” ke ”komunikasi”. Kecuali pemerintah memang tidak serius berswasembada beras.***


Dimuat dalam Suara Pembaruan 6 Maret 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar