Minggu, 10 Mei 2009

Gagalnya Diversifikasi Usahatani

Oleh MT Felix Sitorus


Program diversifikasi usahatani selama tiga dekade di Indonesia gagal mencapai tujuannya. Kesimpulan ini terungkap dari laporan penelitian dampak diversifikasi terhadap ketahanan pangan dan pendapatan petani baru-baru ini (Haeruman dkk, 2008).

Penelitian tersebut dilakukan konsorsium yang melibatkan Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Deptan, IPB, dan Universitas Pajajaran dengan mengolah data Survei Panel Petani Nasional (Patanas).

Sejumlah indikator kegagalan terungkap gamblang. Pertama, mayoritas (63%) rumahtangga) petani tidak menerapkan diversifikasi usahatani. Dari minoritas (37%) pelaku diversifikasi, sebagian besar adalah petani padi sawah (60%).

Kedua, teknologi diversifikasi usahatani selama ini mengalami stagnasi. Dalam kurun 1995-2008, mayoritas (76%) pelaku diversifikasi ternyata menanam jenis-jenis tanaman yang sama dengan teknik yang selalu sama (pergiliran/tanam-ganda/tumpang-sari) dari musim ke musim.

Ketiga, sekalipun menunjukkan hubungan positif, diversifikasi tidak berdampak signifikan terhadap ketahanan pangan dan pendapatan petani. Terlalu kecil dampak positifnya, sehingga dapat diabaikan.

Menjadi pertanyaan, mengapa program diversifikasi gagal dan bagaimana ia dapat direvitalisasi?

Dominasi monokultur

Penjelasan utama untuk kegagalan diversifikasi adalah dominasi atau pengutamaan monokultur tanaman pangan.

Sejak 1970-an pemerintah telah memprogram usahatani pangan kita sebagai penyangga utama ketahanan pangan nasional. Untuk itu digalakkan program intensifikasi tanaman pangan padi, kemudian juga jagung dan kedele, dalam wujud penerapan teknik monokultur intensif secara meluas.

Pemerintah telah menempatkan monokultur dan diversifikasi atau polikultur dalam kontradiksi. Dituntun oleh kepentingan ketahanan pangan, pemerintah lalu mengerahkan petani dan sumberdaya pertanian pada peningkatan monokultur intensif.

Dalam konteks dominasi monokultur seperti itu, diversifikasi dilihat sebagai kendala terhadap upaya pencapaian swasembada pangan. Pasalnya diversifikasi secara langsung akan mengurangi luas tanam/panen tanaman pangan utama khususnya padi. Akibatnya target produksi nasional akan gagal tercapai.

Bias monokultur pada pembangunan pertanian tanaman pangan (padi, jagung, kedele) dengan sendirinya membuat diversifikasi menjadi tidak menarik secara ekonomi dan teknis. Hampir semua fasilitas pemerintah, mulai dari kebijakan kredit (modal) dan kebijakan harga (sarana produksi dan hasil) dirancang untuk memudahkan dan merangsang petani menerapkan pola monokultur.

Sekarang, misalnya, monokultur padi sawah sangat menarik secara ekonomi, karena kendala dan resiko yang relatif rendah. Soalnya pemerintah menyediakan fasilitas kredit murah untuk permodalan, subsidi harga sarana produksi utama (benih, pupuk), harga dasar gabah hasil panen dan institusi pembelinya sekaligus. Bahkan kalau usahatani puso, kredit bisa diputihkan.

Secara teknis monokultur lebih mudah dibanding diversifikasi. Diversifikasi lebih rumit karena harus mengelola jenis-jenis tanaman yang beda karakteristik di atas lahan yang sama.

Satu-satunya keunggulan diversifikasi, dari segi ekonomi, adalah minimalisasi resiko gagal panen. Jika hanya menanam padi, lalu gagal, habislah hidup petani. Jika menanam padi dan kedele, satu gagal yang lainnya masih bisa menyambung nafas.
Karena itu diversifikasi lazimnya diterapkan petani padi kecil sebagai strategi bertahan (survival strategy). Pendapatan yang tak memadai dari usahatani padi ditutupi dengan mengusahakan juga palawija atau sayuran.

Fakta-fakta tersebut sekaligus menjelaskan mengapa sumbangan diversifikasi terhadap peningkatan pendapatan dan ketahanan pangan tidak signifikan. Sumbangan terpenting diversifikasi sejauh ini tak lebih dari sekadar penyokong ekonomi petani kecil pada taraf bertahan.

Riset polikultur

Mungkinkah diversifikasi dapat mencapai tujuan peningkatan pendapatan petani dan ketahanan pangan? Tidak sekadar strategi bertahan? Jawabnya, sangat mungkin, dengan syarat adanya revitalisasi.

Selama ini, seperti tersimpul di atas, teknologi diversifikasi mengalami stagnasi kalau bukan kemunduran. Ini konsekuensi pembangunan pertanian yang bias monokultur.

Secara konsisten riset pertanian selama ini dipusatkan pada pengembangan monokultur, khususnya dalam usahatani padi sawah dan jagung. Sementara riset potensi diversifikasi atau polikultur sebagai suatu teknologi budidaya terabaikan.
Suatu agenda riset pengembangan potensi polikultur dapat menjadi titik tolak revitalisasi diversifikasi usahatani. Secara bersamaan basis ilmunya yaitu sosiologi tetumbuhan juga harus dikembangkan.

Melalui riset sosiologi tetumbuhan dapat ditemukan jenis-jenis tanaman pertanian yang hubungannya bersifat simbiotik. Jenis-jenis tanaman seperti itu akan membuahkan hasil tinggi jika diusahakan secara polikultur, asalkan struktur pertanamannya tepat. Ini disebut diversifikasi simbiotik.

Tugas riset polikultur adalah memastikan peningkatan produksi akibat diversifikasi simbiotik itu lebih tinggi dibanding penurunan produksi akibat pengurangan luas tanam untuk setiap jenis tanaman yang diusahakan secara polikultur. Dengan demikian diversifikasi akan lebih efisien dan efektif dibanding monokultur.

Saatnya kini berbagai lembaga penelitian pertanian milik pemerintah, perguruan tinggi, dan swasta menempatkan riset polikultur sebagai prioritas. Jika berbagai riset itu mampu menghasilkan beragam inovasi diversifikasi simbiotik, tidak mustahil peningkatan pendapatan petani dan swasembada beras, jagung dan kedele dapat dicapai serentak. Kegagalan diversifikasi dengan demikian menjadi masa lalu. ***


Dimuat dalam Suara Pembaruan, 4 Maret 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar