Minggu, 10 Mei 2009

Krisis Suksesi Pertanian

Oleh: MT Felix Sitorus

Indonesia sedang menghadapi krisis suksesi pertanian.
Itu salah satu kesimpulan yang dapat ditarik dari laporan hasil penelitian oleh konsorsium yang melibatkan IPB, Universitas Pajajaran, dan Pusat Analisis Sosial-Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Deptan akhir tahun lalu (Sumaryanto dkk., 2008).

Penelitian itu mengungkap fakta tingkat keinginan petani mewariskan usahatani, sebagai indikator suksesi pertanian. Pertama, keinginan 27% petani mewariskan usahataninya tergolong rendah, 25% ragu-ragu, dan hanya 48% yang berkeinginan tinggi.
Gejala krisis suksesi terindikasi dari mayoritas petani (52%) yang tidak yakin akan mewariskan usahataninya. Indikasi ini konsisten dengan gejala tingginya laju konversi lahan sawah ke peruntukan lain.

Kedua, membanding petani Jawa dan Luar-Jawa, proporsi yang berkeinginan rendah mewariskan lebih besar di Jawa (31%) dibanding Luar-Jawa (25%), sebaliknya proporsi yang berkeinginan tinggi lebih besar di Luar-Jawa (51%) dibanding Jawa (41%). Artinya krisis suksesi sedikit menonjol di Jawa.

Ketiga, membanding antar-agroekosistem, keinginan tinggi mewariskan usahatani paling besar pada petani perkebunan (67%) dibanding pada petani sawah (41%). Sebaliknya, keinginan rendah mewariskan usahatani lebih besar pada petani sawah (29%) dibanding pada petani perkebunan (23%). Berarti krisis suksesi paling menonjol di pertanian padi sawah.

Lantas, mengapa terjadi gejala krisis suksesi, apa kemungkinan dampaknya, dan bagaimana langkah untuk mengatasinya.

Pewarisan kemiskinan

Petani enggan mewariskan usahataninya karena hal itu berarti mewariskan kemiskinan kepada anak-cucu. Kesimpulan ini ternyata benar, terutama untuk petani padi sawah.
Penelitian yang sama mengungkapkan bahwa tahun 2007 rata-rata pendapatan rumahtangga petani padi sawah (Jawa Rp 14.6 juta; Luar-Jawa Rp 15.4 juta) memang lebih rendah dibanding petani perkebunan (Luar-Jawa Rp 16.4 juta).

Sumbangan usahatani padi sawah sendiri pada total pendapatan petani tergolong gurem (Jawa 14 %; Luar-Jawa 15%). Sementara pada petani kebun di Luar-Jawa, perkebunan menyumbang separuh pendapatan (49%).

Jadi, dibanding perkebunan, usahatani padi sawah sama artinya dengan pendapatan rendah atau miskin. Karena itu, di Jawa, petani lebih mengandalkan kegiatan ekonomi luar-pertanian sebagai sumber utama (75%) pendapatan.

Luas pemilikan sawah juga sangat sempit (Jawa 0.25 ha; Luar-Jawa 0.3 ha), jika dibanding luas pemilikan kebun (Luar-Jawa 1.2 ha). Pemilik sawah di bawah 0.25 ha, atau petani gurem, adalah kelompok mayoritas di Jawa (35%) di Luar-Jawa (23%).

Sawah gurem memberikan pendapatan gurem. Artinya, pada mayoritas petani, usahatani padi sawah itu sendiri adalah indikator kemiskinan. Jadi, mewariskan sawah adalah mewariskan kemiskinan. Masuk akal jika mayoritas petani terindikasi enggan mewariskan sawahnya.

Ketahanan pangan terancam

Krisis suksesi pertanian, khususnya sawah, berdampak ganda. Mulai dari ancaman terhadap ketahanan pangan, kehilangan lapangan kerja di pedesaan, sampai perubahan ekologis akibat alih-fungsi lahan.

Dampak negatif terpenting adalah ancaman bagi ketahanan pangan. Ini mengingat basis ketahanan pangan kita adalah usahatani padi sawah.

Sebagai gambaran, misalkan 29% petani sawah yang berkeinginan rendah mewariskan mewariskan usahataninya benar-benar menghentikan usahataninya. Berarti kita kehilangan sekitar 3.4 juta ha dari sekitar 11.7 juta ha areal sawah baku.
Misalkan indeks tanam padi 1.0 dengan produktivitas 5 ton/ha. Berarti kita langsung kehilangan produksi padi sebesar 17 juta ton GKP atau sekitar 14.6 juta ton GKG atau sekitar 9.2 juta ton beras.

Dengan kehilangan sebesar itu, status swasembada langsung ambruk. Serta-merta ketahanan pangan juga ambruk, karena kita akan langsung tergantung pada impor beras.
Ini memang gambaran ekstrim. Prosesnya tidak serta-merta demikian. Mungkin makan waktu belasan atau puluhan tahun. Tapi pasti akan terjadi kalau tidak ada upaya kongkrit untuk mengatasi krisis suksesi tersebut.

Strategi suksesi

Berbeda dari negara industri maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Perancis, dan Israel, di Indonesia, hingga kini, suksesi pertanian belum menjadi isu pembangunan. Padahal gejala krisis suksesi sudah kentara: petani enggan mewariskan usahataninya, orang muda enggan menjadi petani, dan bangku kuliah fakultas pertanian sepi peminat.

Suatu strategi suksesi pertanian, khususnya usahatani padi sawah, kiranya perlu segera dirumuskan dan dijalankan. Salah satu yang layak dipertimbangkan adalah transformasi dari usahatani padi sawah keluarga ke perkebunan padi sawah.

Strategi tersebut bertolak dari penyebab krisis suksesi yaitu predikat gurem dan miskin yang melekat pada mayoritas usahatani sawah keluarga.Melalui transformasi ke perkebunan padi, masalah predikat gurem dan miskin akan terpecahkan. Skala usahatani menjadi besar, sehingga manajemen dan teknologi modern agribisnis padi dapat diterapkan secara lebih efektif dan efisien.

Perkebunan padi sawah dapat mengambil pola Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Pola ini mengkonsolidasi lahan-lahan gurem milik petani menjadi satu unit perkebunan padi seluas misalnya 10.000 ha. Petani tetap memiliki dan menggarap sawahnya, tetapi di bawah manajemen agribisnis modern BUMP.

Jangka panjang, perkebunan padi itu diproyeksikan menjadi komplek agribisnis terpadu. Selain usahatani padi, dikembangkan industri pangan berbasis beras yang menghasilkan misalnya minyak beras, tepung beras, mie beras, dan beras instan. Juga dikembangkan industri non-pangan yang mengolah jerami/sekam menjadi pakan, bahan bangunan, dan sumber energi listrik.

Perkebunan padi akan mengubah usahatani padi sawah menjadi agribisnis modern yang menempatkan petani sebagai profesional. Pada titik ini, pertanian padi menjadi sangat menarik secara sosial-ekonomi, sehingga masalah suksesi akan teratasi dengan sendirinya.***

Dimuat dalam Suara Pembaruan, 23 April 2009

1 komentar:

  1. Lalu..... apa upaya untuk mempertahankan lahan sawah agar tetap berproduksi dan berkelanjutan, sehingga petani gurem bisa menghasilkan pendapatan non gurem atau hight income. Ivon bandung

    BalasHapus