Rabu, 04 November 2009

Ironi Ketahanan Pangan Kita (Our Ironical Food Security)

Oleh MT Felix Sitorus

Ketahanan pangan ternyata paling lemah pada komunitas petani produsen pangan itu sendiri. Artinya, menjadi petani pangan sama artinya dengan menjadi rentan atau bahkan rawan pangan.

Ironi ini sudah dilaporkan peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Balitbang Deptan tahun lalu (Saliem dan Ariningsih, 2008), tapi tidak mendapat respon yang memadai dari pemerintah. Ke depan, jika tak diatasi secara memadai, ironi ini dapat menjadi bumerang bagi ketahanan pangan itu sendiri.

Fakta Ironis

Ironi tersebut, sebagaimana dilaporkan, terungkap dari analisis data Susenas 2005. Ternyata jumlah rumahtangga tahan pangan di pedesaan jauh lebih rendah (22%) dibanding di perkotaan (48%).

Kategori yang dominan di pedesaan adalah rumahtangga rentan pangan (57%) yang proporsinya jauh lebih kecil (26%) di perkotaan.

Proporsi rumahtangga rawan pangan di pedesaan (13%) juga lebih tinggi dibanding di perkotaan (7%).

Terungkap pula bahwa total rumahtangga rentan dan rawan pangan menjadi kelompok dominan pada lapisan pendapatan rendah/miskin (76%) dan sedang ( 51%).
Ironisnya, proporsi rentan pangan ternyata dominan (61%) pada rumahtangga pertanian. Pada rumahtangga non-pertanian proporsinya tidak dominan (33%).
Proporsi rawan pangan juga lebih tinggi pada rumahtangga pertanian (14%) dibanding pada rumahtangga perkotaan (8%).Proporsi rumahtangga pertanian tahan pangan hanya 18%, sementara pada rumahtangga non-pertanian mencapai 43%.

Angka-angka ini secara gamblang menggambarkan ironi ketahanan pangan kita. Mayoritas produsen pangan, yaitu rumahtangga pertanian di pedesaan, ternyata adalah kelompok rentan dan rawan pangan. Atau, dengan kata lain, paling lemah ketahanan pangannya.

Faktor Kemiskinan

Ironi ketahanan pangan itu berpangkal pada kemiskinan, atau pendapatan rendah yang berakibat daya beli lemah. Indikasinya adalah pola pengeluaran rumahtangga yang didominasi pos pangan (di atas 70%) yaitu 72% pada kelompok rentan pangan dan 71% pada kelompok rawan pangan.

Secara konsisten pengeluaran untuk beras tergolong rendah pada rumahtangga rentan pangan (23%) dan rawan pangan (22%) di pedesaan. Karena itu tingkat konsumsi beras per kapita juga rendah pada rumahtangga rentan (123 kg/th) dan rawan pangan (73 kg/th).

Yang menarik pengeluaran untuk mie/terigu ternyata mulai signifikan pada rumahtangga rentan (2.2%) dan rawan pangan (1.9%). Karena itu tingkat konsumsi per kapita atas mie/terigu juga tergolong signifikan pada rumahtangga rentan (5.7 kg/th) dan rawan pangan (2.9 kg/th).

Selain itu, pada rumahtangga rawan pangan, pangsa pengeluaran untuk makanan jadi ternyata relatif tinggi, secara absolut (Rp 13.800/kap/bln) dan persentase (12%).
Berarti pangsa pengeluaran rumahtangga miskin pedesaan untuk konsumsi makanan non-domestik cenderung meningkat. Untuk rumahtangga rawan pangan misalnya, total pangsa pengeluaran untuk mie/terigu dan makanan jadi mencapai 13.9%.

Peningkatan konsumsi makanan non-domestik itu khas cara bertahan pada rumahtangga miskin. Membeli makanan jadi/setengah-jadi bisa lebih murah dibanding memasak atau memproduksi sendiri. Jadi ini bukan sekadar gejala ”urbanisasi pola makan”.

Ketahanan pangan yang rendah mengakibatkan konsumsi energi dan protein di bawah standar minimum 80%. Pada rumahtangga rawan pangan, konsumsi energi jauh di bawah standar 2100 Kkal/kap/hari yaitu hanya 1399 (67%) Kkal/kap/hari. Ini akibat konsumsi karbohidrat, terutama beras, yang rendah. Konsumsi protein juga di bawah patokan 48 gram/kap/hari yaitu hanya 38 (79%) gram/kap/hari.

Dengan konsumsi energi serendah itu, dipastikan daya tahan dan produktivitas kerja anggota rumahtangga rawan pangan sangat rendah. Jadi, jangan berharap mereka bisa mencapai ketahanan pangan tinggi dengan kemampuan sendiri. Fasilitasi dari pemerintah mutlak diperlukan, lebih dari sekadar BLT senilai ”traktiran makan siang”.

Diverfikasi Usahatani

Program yang terus-menerus digalakkan untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga pedesaan adalah diversifikasi pangan. Sekarang program ini bahkan disokong dengan Perpres No. 22 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.

Tetapi, sejauh ini, program tersebut belum menunjukkan hasil. Penyebab utama adalah kegagalan diversifikasi usahatani pangan yang menjadi basisnya. Usahatani pangan kita bersifat monokultur dengan fokus utama padi. Budaya produksi ”monokultur” ini lalu memapankan budaya konsumsi ”monomenu”.

Selama ini, diversifikasi dilakukan dengan pendekatan horisontal, yaitu penganeka-ragaman jenis tanaman di lahan usaha. Pola ini ternyata kurang memberi nilai tambah ekonomi, sehingga akhirnya jatuh menjadi strategi minimalisasi resiko gagal panen bagi petani gurem.

Diversifikasi usahatani dapat menjadi jalan keluar dari ironi ketahanan pangan kita. Ia dapat meningkatkan ketahanan pangan asal dilakukan secara terpadu horisontal-vertikal.

Pendekatan terpadu ini sudah dirintis dalam bentuk agribisnis pangan padi, secara kemitraan antara Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dan sejumlah perusahaan BUMN agrobisnis. Hasilnya, antara lain, produktivitas lahan dapat ditingkatkan dari 5 menjadi 8 ton/ha.

Untuk dapat menjamin ketahanan pangan, kemitraan BUMP-BUMN itu idealnya mewujudkan agribisnis pangan terpadu skala 1000 ha per unit. Lahan seluas itu diperkirakan dapat menghasilkan gabah kering panen 15,2 juta ton.

Sebagai agribisnis terpadu usaha itu tidak hanya akan menghasilkan gabah/beras, tetapi juga jenis pangan lain seperti jagung dan kedelai. Selain itu ia juga menghasilkan beragam jenis pakan yang dapat mendukung peternakan ruminansia dan unggas di hilirnya.

Secara vertikal, agribisnis itu juga dapat menghasilkan pangan olahan, misalnya mie beras, makanan bayi, nasi instan, tepung beras, dan minyak beras. Di luar itu dapat pula diproduksi energi biomas, pupuk organik, dan bahan bangunan.

Intinya, agribisnis terpadu skala besar tersebut akan bermanfaat ganda. Pertama, ia meningkatkan jumlah dan jenis ketersediaan pangan. Pangan yang dihasilkan tidak hanya biji-bijian, tetapi juga daging, susu, telur, dan ikan.

Kedua, pengembangan diversifikasi vertikal membuka lebih banyak lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan bagi petani dan buruhtani. Jika pendapatan meningkat, maka akses terhadap aneka pangan meningkat, sehingga ketahanan pangan juga meningkat.

Tentu semua itu memerlukan investasi besar. Tapi, mengingat ketahanan pangan adalah salah satu dimensi ketahanan nasional, maka investasi ketahanan pangan adalah keniscayaan.***

Artikel ini adalah Arsip Pribadi