Senin, 20 Juli 2009

Hutang Reforma Agraria SBY

Oleh: MT Felix Sitorus

Empat tahun lalu, di harian Suara Pembaruan saya menulis analisis pesimistik tentang kemauan dan kemampuan SBY menjalankan reforma agraria yang dijanjikan dalam kampanye 2004 (SP 18/1/2005). Pesimisme saya terbukti benar. Sampai masa jabatan mereka nyaris berakhir, dan bahkan hasil hitung-cepat pemilihan presiden dalam pemilihan 8 Juli 2009 lalu telah menampilkan SBY (dan wapres Boediono) sebagai pemenang, reforma agraria tak kunjung turun ke tanah.

Harus dikatakan, reforma agraria adalah salah satu hutang besar SBY yang tidak atau bahkan tidak akan dilunasi kepada mayoritas petani miskin pemilihnya. Mengapa hutang yang sudah tercatat dalam dokumen visi, misi, dan program mereka itu tidak dilunasi? Lalu apa pelajaran apa yang dapat dipetik presiden mendatang, yang niscaya adalah SBY, dari kasus tersebut?

Anti-reforma agraria

SBY tidak dapat melunasi hutang reforma agraria karena pemerintahannya bersekutu dengan kekuatan kapitalisme. Kaum kapitalis memiliki resistensi tinggi terhadap reforma agraria, karena program itu akan mengganggu kepentingan mereka.
Dari awal, gejala keterperangkapan itu sudah terbaca dari tampilnya tokoh-tokoh kapitalis dalam susunan menteri kabinet SBY. Mereka adalah kekuatan pertama yang akan menolak reforma agraria. Dengan kata lain, SBY sebenarnya telah membentuk kabinet anti-reforma agraria.

Indikasi anti-reforma agraria itu kemudian terbaca dari agenda 100 hari pemerintahan SBY. Reforma agraria tidak tercantum dalam agenda, berarti dianggap tidak penting atau tidak perlu.

Baru pada Januari 2007, setelah separuh masa pemerintahan, presiden SBY mencanangkan reforma agraria. Ini cuma untuk meredam tuntutan reforma agraria yang semakin riuh. Mustahil bisa melakukan reforma agraria dalam dua tahun sisa waktu pemerintahan.

Memang janji Januari 2007 itu terkesan kongkrit. Tapi kalau ditelisik lebih dalam sebenarnya tak lebih dari sekadar kamuflase. Mengapa?

Waktu itu dijanjikan sekitar 9 juta ha lahan hutan rusak di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi akan dibagikan kepada petani gurem (60%) dan investor (40%). Membagikan tanah pada investor jelas bukan reforma agraria melainkan anti-reforma agraria alias pro-kapitalis.

Lalu petani gurem itu mayoritas berada di Jawa sehingga harus dipindahkan ke luar Jawa nantinya. Di sana mereka akan dibina menjadi petani wana-tani. Andaikan janji itu dipenuhi, bukankah itu cuma program transmigrasi berkedok reforma agraria.

Untuk realisasinya Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian ditunjuk sebagai penanggungjawab reforma agraria. Tapi justeru di sinilah letak ketakseriusan pemerintah. Secara historis dan struktural BPN dibentuk bukan untuk reforma agraria, melainkan untuk melayani kepentingan pembangunan ekonomi kapitalistik.

Idealnya, untuk menjalankan reforma agraria secara nasional, pemerintah membentuk institusi Otorita Reforma Agraria. Otorita inilah yang merencanakan dan melaksanakan program reforma agraria secara nasional.

Menunjuk BPN sebagai penanggungjawab sama saja artinya dengan menangkal reforma agraria itu sendiri. Terbukti, sudah hampir dua setengah tahun berlalu, reforma agraria tak kunjung turun ke tanah. BPN hanya sibuk merekayasa model-model penyatuan obyek (tanah) dan subyek agraria (tunakisma) di atas kertas.

Secara simultan, melalui moda “dengar pendapat”, BPN juga sibuk mendorong transformasi gerakan reforma agraria dari gerakan rakyat menjadi gerakan akademis. Hasilnya aktivis reforma agraria tergiring menjadi scholar dan tuntutan reforma agraria berubah menjadi wacana akademis.

Hutang janji reforma agraria dari kampanye 2004 itu akhirnya hanya dibayar dengan janji baru. Hutang kata dibayar dengan kata. Jika benar presiden baru adalah SBY nantinya, jangan-jangan jargon “lanjutkan” hanya melanjutkan reforma agraria di bibir saja nantinya.

Transformasi pertanian rakyat

Jangan menjanjikan reforma agraria dalam persekutuan dengan kapitalisme, karena hal itu sama artinya dengan menjilat ludah sendiri. Itulah pelajaran penting bagi para capres/wapres mendatang.

Dua rezim terakhir, pemerintahan Megawati Sukarnoputri dan pemerintahan SBY, terbukti tidak dapat memenuhi reforma agraria yang pernah dijanjikan. Resistensi kapitalisme di negara ini terlalu kuat, sehingga janji reforma agraria akan selalu menjadi hutang rezim.

Karena itu para capres/cawapres mendatang sebaiknya tidak menjanjikan reforma agraria, melainkan alternatif yang setara dengan itu, yakni sesuatu yang juga bertujuan meningkatkan pendapatan mayoritas petani miskin di pedesaan. Salah satunya adalah transformasi pertanian rakyat. Ini lebih rasional dan operasional dibanding reforma agraria.

Dengan transformasi pertanian rakyat dimaksudkan adalah perubahan statusnya dari obyek menjadi subyek utama ekonomi nasional. Ini mencakup perubahan karakter pertanian rakyat dari lemah menjadi kuat.

Perubahan yang dimaksud mencakup, pertama, perubahan karakter eksklusif menjadi inklusif. Dengan demikian pertanian rakyat mengalami penguatan dari sekadar pangsa pasar industri yang produknya tak bersambung (eksklusif) pada kebutuhan baku industri menjadi penyedia utama bahan baku (inklusif) industri nasional. Dengan kata lain pertanian rakyat menjadi basis perkembangan agroindustri nasional.

Kedua, perubahan dari atomistik ke integralistik. Dengan demikian pertanian rakyat berkembang menjadi agribisnis skala besar yang terpadu, inovatif dan tangguh, bukan lagi usaha-usaha gurem keluarga yang berserakan, terpecah-pecah, involutif dan lemah. Pola pertanian integralistik ini tidak menyingkirkan petani, tapi sebaliknya mengintegrasikan peran mereka sebagai jajaran petani profesional.

Transformasi pertanian rakyat tersebut tidak akan menimbulkan resistensi pada golongan kapitalis. Sebaliknya, karena bersambung pada kepentingannya, mereka justeru akan mendukung program itu. Rintisan “agribisnis sawah” oleh sejumlah perusahaan industri besar nasional tahun-tahun terakhir adalah pertanda positif.

Sudah pasti gagasan “transformasi pertanian rakyat” ini akan ditentang keras oleh pendukung gagasan “reforma agraria”. Perdebatan tidaklah tabu. Tetapi, kepada para capres/cawapres mendatang tetap harus diingatkan, kalau tak mungkin lepas dari kekuatan kapitalisme, jangan pernah menjanjikan reforma agraria.***

Artikel ini adalah dokumen pribadi.