Senin, 31 Agustus 2009

Benih Bersertifikat Basis Swasembada Beras (Certified Seeds as the Base of Rice Self-sufficient)

MT Felix Sitorus

Perjuangan swasembada beras (pangan) nasional dimulai sejak Indonesia merdeka. Tapi, swasembada baru tercapai pada 1984 atau 39 tahun kemudian. Sempat bertahan sekitar lima tahun, sejak 1990 kita jadi pengimpor beras lagi. Baru 2008, swasembada beras tercapai lagi.

Mengapa swasembada beras kita tidak berkelanjutan? Di mana titik lemah dan bagaimana jalan keluarnya? Sejarah perjuangan swasembada beras berawal dari program penyuluhan peningkatan produksi padi oleh Balai Pendidikan Masyarakat Desa pada 1945-1959. Tapi, program ini gagal. Akibatnya, impor beras meningkat sampai 800.000 ton pada 1959.

Selanjutnya, pada 1959-1963, di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur, digalakkan Padi Sentra, gerakan massal peningkatan produksi padi melalui peningkatan sarana pertanian dan sarana produksi. Sayang, gerakan ini hanya menguntungkan petani besar.
Tahun 1963-1970, berdasarkan hasil riset aksi, diterapkan program Panca Usaha Tani Lengkap (benih unggul, pupuk, irigasi, pengolahan lahan, proteksi tanaman) sebagai gerakan massal yang terkoordinasi dari pusat sampai daerah. Program yang memperkenalkan padi unggul PB-5 dan PB-8 meningkatkan produktivitas dari 2,5 menjadi 3,5 ton/ha.

Dalam periode "revolusi hijau", 1971-1980, peranan varietas unggul diprogram secara kontinu. Untuk mendukung penciptaan, perbanyakan, dan pendistribusian benih padi unggul bermutu, dibangun empat institusi perbenihan yang membentuk sistem perbenihan nasional, yaitu BBN, LP3 Sukamandi, Dinas Pengawasan dan Sertifikasi Benih, dan Perum Sang Hyang Seri.

Sejak 1981 sampai sekarang adalah periode peralihan basis peningkatan produksi dari technology driven ke policy driven. Pada awal periode ini, program intensifikasi massal dijalankan dengan disiplin militeristik, dengan inti penerapan paket teknologi Panca Usaha Tani. Hasilnya, swasembada beras tercapai pada 1984. Tapi, setelah sukses meraih swasembada, disiplin intensifikasi melemah pada tahun-tahun selanjutnya. Akibatnya, swasembada beras hilang tahun 1990. Indonesia kembali jadi importir beras, pernah sampai 4.7 juta ton (1999), tertinggi sepanjang sejarah.

Swasembada baru tercapai lagi pada 2008 melalui Program Peningkatan Produksi Beras. Program ini berhasil, karena dua faktor kunci: peningkatan bantuan benih unggul (subsidi/gratis) dan peningkatan pembelian gabah dengan harga tinggi oleh Bulog.

Kebijakan Insentif

Sejak 1980-an sampai sekarang, upaya peningkatan produksi lebih banyak mengandalkan kebijakan insentif bagi petani, antara lain, kredit murah, subsidi sarana produksi, dan penetapan harga panen atau jaminan pasar. Pendekatan ini memang berhasil pada 2008, tapi tidak mendasar dan sangat rapuh, karena bergantung pada kekuatan dana pemerintah.

Sementara itu, pengembangan teknologi benih sebagai inti usaha tani, berjalan sangat lambat. Sampai sekarang, teknologi benih masih mengandalkan temuan varietas unggul legendaries, yaitu Ciherang, Cisadane, dan IR 64. Inilah titik lemah perjuangan swasembada beras akibat kebijakan yang keliru tadi.

Memang, dalam tiga tahun terakhir sudah mulai ditemukan dan diperkenalkan jenis padi hibrida yang hasilnya bisa lipat ganda. Tapi, ketiga varietas legendaris itu belum tergantikan, dalam hal harga benih murah, produktivitas tinggi, dan penerimaan yang luas.

Hasil riset World Bank menyimpulkan, benih varietas unggul bersertifikat penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi nasional, jauh di atas irigasi (5%) dan pupuk (4%). Sementara interaksi antara varietas unggul, irigasi, dan pupuk menyumbang 75 persen.

Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan persebaran adopsi benih bersertifikat berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional. Ini mengindikasikan peran adopsi teknologi benih padi unggul atau varietas produksi tinggi (VPT) sebagai determinan peningkatan produksi.

Dengan tingkat penggunaan sarana produksi (pupuk, obat-obatan) yang relatif sama di atas lahan yang sama, faktor determinan tersebut adalah varietas PB-36 (1970-an), Cisadane (1980-an), IR-64 (1990-an), dan Ciherang (2000-an). Ketiga varietas tersebut terakhir masih bertahan sampai sekarang, karena diadopsi secara bergiliran.
Suatu hasil studi (2004) juga menyimpulkan, mayoritas produksi padi nasional (69%) disumbang oleh penggunaan benih varietas produksi tinggi dan sisanya oleh varietas produksi sedang (16%), dan rendah (15%). Padahal, penggunaan benih varietas produksi tinggi "bersertifikat" secara nasional baru mencakup 47% dari kebutuhan benih padi nasional.

Tidak terbantahkan lagi, benih unggul bersertifikat padi adalah determinan pokok peningkatan produksi padi. Karena itu, dapat dikatakan, swasembada beras hanya mungkin dicapai di atas basis ketersediaan benih unggul bersertifikat.

Bicara mengenai peranan benih padi unggul bersertifikat, sama artinya bicara peranan PT Sang Hyang Seri (SHS), satu-satunya BUMN perbenihan. Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan peningkatan jumlah benih padi bersertifikat yang disebarkan SHS berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional. Benih unggul bersertifikat produksi SHS mengisi 61% dari pangsa penggunaan benih bersertifikat secara nasional, atau 28% dari total kebutuhan benih nasional (292.500 ton).
Fakta ini membuktikan, peran signifikan benih unggul bersertifikat dalam pencapaian swasembada beras nasional tahun 1984 dan 2008.

Kemampuan industri benih padi di Indonesia untuk memenuhi total kebutuhan benih nasional baru mencapai 47%. Artinya, lebih dari setengah kebutuhan benih padi nasional (53%) dipenuhi oleh benih nonsertifikat bermutu rendah yang dihasilkan petani dan penangkar lokal. Agar swasembada beras meningkat, atau sekurangnya bertahan, mayoritas dari pangsa 53% itu harus diisi oleh produk benih bersertifikat. Untuk itu, pemerintah disarankan menerapkan strategi perubahan bertahap dalam adopsi benih padi. Target akhir perubahan tersebut adalah adopsi benih padi hibrida secara luas.

Tetapi, untuk sampai pada target tersebut, proses yang dilalui harus berjenjang. Mustahil petani padi tradisional yang terbiasa menggunakan benih inbrida nonsertifikat varietas produksi rendah (VPR) langsung bisa menanam benih inbrida/hibrida bersertifikat varietas produksi tinggi. Lompatan ekstrem budaya tanam seperti itu pasti berakhir dengan kegagalan usaha tani.
Proses perubahan itu harus dilakukan secara bertahap, hingga petani mencapai budaya tanam padi benih unggul inbrida bersertifikat VPT lebih dulu, sebelum akhirnya maju ke budaya tanam padi benih hibrida VPT.

Pemerintah disarankan meningkatkan fungsi SHS sebagai lokomotif perubahan tersebut. Selain menjadi produsen benih padi inbrida VPT terbesar di Indonesia, perusahaan ini juga sudah memproduksi benih padi hibrida dengan potensi produktivitas 14.5 ton/ha (SL-8 SHS). Fungsi lokomotif perubahan pada SHS bertujuan menjamin ketersedian benih padi unggul bersertifikat sebagai basis swasembada beras. Untuk itu, perlu kebijakan memperkuat BUMN tersebut sebagai leading sector pembangunan perbenihan nasional dan daerah. Hal itu dapat dilakukan dengan cara, pertama, menjamin lembaga riset publik untuk memasok inovasi varietas padi unggul baru ke SHS sebagai industri multiplikasi inovasi. Kedua, memberikan ruang pada SHS untuk merakit varietas padi inbrida dan hibrida secara sendiri atau pun bekerja sama dengan lembaga riset publik dan swasta dari dalam dan luar negeri.

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB
Dimuat dalam Suara Pembaruan 21/8/2009