Oleh: MT Felix Sitorus
Kabar gembira berhembus dari Kementerian BUMN. Per 1 April 2014 PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), melalui anaknya PT Pupuk Kaltim, resmi membeli dan mengambil-alih kepemilikan PT Kaltim Pasifik Alkalinitas, pabrik amoniak terbesar di Indonesia milik Mitsui dan Tomen Jepang. Dengan pengambil-alihan ini maka pasokan amoniak, bahan baku pupuk NPK dan ZA, ke pabrik-pabrik pupuk PIHC akan terjamin.
Dengan pembelian pabrik itu maka PT Pupuk Kaltim akan semakin kuat. Perusahaan ini direncanakan akan membangun pabrik pupuk NPK. Anak-anak perusahaan PIHC lainnya yaitu PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik, juga sudah siap-siap ekspansi pabrik. Karena itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan meramalkan, dalam beberapa tahun ke depan PIHC akan melompat dari peringkat 8 ke peringkat 2 perusahaan pupuk terbesar di dunia. .
Tapi di balik kabar gembira itu, ada kabar sedih yaitu memburuknya kondisi PT Sang Hyang Seri (SHS), “anak perusahaan” PIHC (de facto per September 2013) yang bergerak di bidang perbenihan. Dalam dua tahun terakhir, industri benih nasional satu-satunya ini terus didera masalah beban hutang besar serta kelangkaan modal kerja dan investasi, sehingga kinerja operasional dan keuangannya merosot berkepanjangan.
Padahal, menurut Dahlan Iskan, penggabungan SHS ke PIHC merupakan bagian dari langkah realisasi BUMN Pangan raksasa, sebagai salah satu pilar kedaulatan/ketahanan pangan nasional. Tapi, dengan adanya ketimpangan kinerja antara industri pupuk dan industri benih, mustahil sasaran penggabungan itu tercapai.
Bagaimanapun, dari sudut kepentingan kedaulatan pangan nasional, tidak banyak gunanya kita punya industri pupuk yang hebat, kalau industri benihnya lemah. Mengapa demikian, dan langkah-langkah bisnis apa yang sebaiknya ditempuh untuk mengatasinya?
Benih di Garis Depan
Secara teori benih adalah faktor penentu utama produktivitas usahatani. Sedangkan pupuk , juga irigasi dan pestisida, adalah faktor penunjang. Jadi sehebat apapun pupuknya, kalau benihnya jelek, hasil produksi juga akan rendah dan jelek.
Karena itu, dalam program peningkatan produksi pangan di manapun, benih selalu ditempatkan di garis depan. Revolusi Hijau Indonesia tahun 1970-1980-an tidak akan membuahkan swasembada beras (1984) tanpa kehadiran inovasi benih padi varietas unggul produksi tinggi.
Swasembada beras untuk kedua kalinya tahun 2008 juga tercapai terutama berkat benih unggul. Riset World Bank memang menemukan bahwa benih varietas unggul bersertifikat menjadi penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap produksi padi nasional. Sedangkan kontribusi irigasi (5%) dan pupuk (4%) jauh di bawah.
Jadi signifikansi kehebatan industri pupuk dengan pencapaian kedaulatan/ ketahanan pangan sebenarnya sangat kecil.
Bahkan, tanpa kehadiran industri benih yang kuat, industri pupuk beresiko menghasilkan pemborosan. Berdasar riset, benih unggul bersertifikat paling responsif terhadap pemupukan. Saat ini, penggunaan pupuk sudah mencakup 90% areal pertanian padi, sedangkan penggunaan benih varietas unggul bersertifikat baru mencapai 60%. Berarti 30% areal menggunakan benih non-sertifikat yang kurang responsif, sehingga memboroskan pupuk.
Perusahaan SHS sebenarnya produsen benih padi unggul bersertifikat terbesar untuk pertanian Indonesia. Karena itu, jika perusahaan ini tidak segera dibenahi, pasokan benih padi unggul bersertifikat akan merosot. Akibatnya produksi pangan nasional akan menurun. Padahal permintaan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk. Resiko terburuk, dalam beberapa tahun ke depan, ketahanan pangan nasional akan melemah. Kalau sudah begitu, apa gunanya kita punya industri pupuk yang hebat.
Keharusan Revitalisasi
Tiongkok sudah membuktikan, bahwa untuk mencapai kedaulatan/ketahanan pangan, suatu negara harus memiliki industri benih yang kuat. Melalui pengembangan benih padi unggul hibrida, negara ini berhasil memberi makan 1.35 milyar penduduknya.
Negara kita harus memberi makan penduduk 251 juta jiwa tahun ini atau 273 juta tahun 2025. Kebutuhan pangan harus disediakan terutama secara domestik, karena impor pangan akan semakin sulit dan mahal. Upaya penyediaan itu akan terkendala pula oleh keterbatasan lahan, kelangkaan air irigasi, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan sebagai bahan baku pupuk (gas, fosfor), dan anomali iklim global.
Kendala-kendala tersebut jelas menuntun pilihan cara peningkatan produksi pangan kepada inovasi benih. Pertama, peningkatan luas panen melalui inovasi varietas benih unggul berumur pendek yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman. Kedua, peningkatan hasil panen per hektare melalui inovasi venih varietas produksi tinggi. Ketiga, perluasan pertanian lahan kering melalui inovasi benih unggul toleran kekeringan. Jelas di sini bahwa solusi utama bukanlah industri pupuk yang hebat, melainkan industri benih yang hebat.
Untuk Indonesia, jika ingin mencapai kedaulatan/ ketahanan pangan lestari, maka pilihannya adalah revitalisasi industri benih nasional, dalam hal ini SHS. Ada dua alternatif revitalisasi yang dapat dipertimbangkan yaitu, pertama, rekapitalisasi SHS dengan syarat beban hutang ke bank (BUMN) dialihkan menjadi penyertaan modal kreditur. Alternatif ini diajukan karena dengan beban hutang besar dan modal langka, hampir tidak mungkin SHS bisa bangkit kembali.
Alternatif kedua, lebih ekstrim, likuidasi SHS dan selanjutnya mendirikan perusahaan baru untuk mengemban misi perbenihan nasional, sedangkan beban hutangnya dialihkan kepada pemerintah. Alternatif ini akan melahirkan satu industri benih nasional yang sehat, tanpa beban hutang, sehingga bisa cepat mengejar ketertinggalannya dari industri pupuk nasional.
Konsekuensi hukum, bisnis, sosial, dan politik kedua alternatif itu memang harus dikaji lebih dalam. Tapi revitalisasi industri benih pangan nasional jangan ditunda, mengingat fungsi strategisnya mewujudkan kedaulatan/ketahanan pangan. Lagi pula, PIHC mustahil bisa menjadi BUMN Pangan raksasa, kalau lini industri benihnya tetap terbelakang. (*)
Dimuat dalam harian Bisnis Indonesia, 23 Mei 2014 (h. 2)