Selasa, 27 Mei 2014

Revitalisasi Industri Benih Pangan Jangan Ditunda (Revitalisation of Food Seed Industry Shouldn't Be Postphoned)


Oleh: MT Felix Sitorus
Kabar gembira berhembus dari Kementerian BUMN.  Per 1 April 2014 PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), melalui anaknya PT Pupuk Kaltim, resmi  membeli dan mengambil-alih kepemilikan PT Kaltim Pasifik Alkalinitas, pabrik amoniak terbesar di Indonesia milik Mitsui dan Tomen Jepang.   Dengan pengambil-alihan ini maka pasokan amoniak, bahan baku pupuk NPK dan ZA, ke pabrik-pabrik pupuk PIHC akan terjamin.    
Dengan pembelian pabrik itu maka PT Pupuk Kaltim akan semakin kuat.  Perusahaan ini direncanakan akan membangun pabrik pupuk NPK.   Anak-anak perusahaan PIHC lainnya yaitu PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik, juga sudah siap-siap ekspansi pabrik.  Karena itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan meramalkan, dalam beberapa  tahun ke depan PIHC akan melompat dari peringkat 8 ke peringkat 2  perusahaan pupuk terbesar  di dunia. . 
Tapi di balik kabar gembira itu, ada kabar sedih yaitu memburuknya kondisi PT Sang Hyang Seri (SHS), “anak perusahaan” PIHC (de facto per September 2013) yang bergerak di bidang perbenihan.  Dalam dua tahun terakhir, industri benih nasional satu-satunya ini terus didera masalah beban hutang besar serta kelangkaan modal kerja dan investasi, sehingga kinerja operasional dan keuangannya merosot berkepanjangan.
Padahal, menurut Dahlan Iskan,  penggabungan SHS ke PIHC merupakan bagian dari langkah realisasi BUMN Pangan raksasa,  sebagai salah satu pilar kedaulatan/ketahanan pangan nasional.   Tapi, dengan adanya ketimpangan kinerja antara  industri pupuk dan industri benih,  mustahil sasaran  penggabungan itu tercapai.
Bagaimanapun, dari sudut  kepentingan  kedaulatan pangan nasional, tidak banyak gunanya kita punya industri pupuk yang hebat, kalau industri benihnya lemah.   Mengapa demikian, dan langkah-langkah bisnis  apa yang sebaiknya ditempuh untuk mengatasinya?
Benih di Garis Depan
            Secara teori benih adalah faktor penentu utama  produktivitas usahatani.  Sedangkan  pupuk , juga  irigasi dan  pestisida,  adalah faktor penunjang. Jadi sehebat apapun pupuknya, kalau benihnya jelek, hasil produksi juga akan rendah dan jelek.  
            Karena itu, dalam program peningkatan produksi pangan di manapun,  benih selalu ditempatkan  di garis depan.   Revolusi Hijau Indonesia tahun 1970-1980-an tidak akan membuahkan swasembada beras (1984) tanpa kehadiran inovasi benih padi varietas unggul  produksi tinggi. 
Swasembada beras  untuk kedua kalinya tahun 2008 juga tercapai terutama berkat benih unggul.  Riset World Bank  memang menemukan  bahwa benih varietas unggul bersertifikat  menjadi  penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap produksi padi nasional.  Sedangkan kontribusi  irigasi (5%) dan pupuk (4%) jauh di bawah. 
Jadi signifikansi  kehebatan industri pupuk dengan pencapaian kedaulatan/ ketahanan pangan sebenarnya sangat kecil.
            Bahkan,  tanpa kehadiran industri benih yang kuat,  industri pupuk  beresiko  menghasilkan pemborosan.  Berdasar riset,  benih unggul bersertifikat  paling responsif terhadap pemupukan.  Saat ini, penggunaan pupuk sudah mencakup 90% areal pertanian padi, sedangkan  penggunaan benih varietas unggul bersertifikat baru mencapai  60%.  Berarti 30% areal menggunakan benih non-sertifikat yang kurang responsif,  sehingga  memboroskan pupuk.
Perusahaan SHS sebenarnya produsen benih padi unggul  bersertifikat terbesar untuk pertanian Indonesia.   Karena itu, jika perusahaan ini tidak segera dibenahi,  pasokan benih padi unggul bersertifikat akan merosot.  Akibatnya produksi pangan nasional  akan  menurun.   Padahal  permintaan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.   Resiko terburuk, dalam  beberapa  tahun ke depan, ketahanan pangan nasional  akan melemah.  Kalau sudah begitu, apa gunanya  kita  punya industri pupuk yang hebat.
Keharusan Revitalisasi
            Tiongkok sudah membuktikan, bahwa untuk mencapai kedaulatan/ketahanan pangan, suatu negara harus memiliki industri benih yang kuat.  Melalui pengembangan benih padi unggul hibrida, negara ini berhasil memberi makan  1.35 milyar penduduknya.
 Negara kita harus memberi makan penduduk 251 juta jiwa tahun ini atau  273 juta tahun 2025.  Kebutuhan pangan harus disediakan terutama secara domestik, karena impor pangan akan semakin sulit dan mahal.  Upaya penyediaan  itu akan terkendala pula oleh keterbatasan lahan, kelangkaan air irigasi, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan sebagai bahan baku pupuk (gas, fosfor), dan anomali iklim global. 
Kendala-kendala tersebut jelas  menuntun  pilihan cara peningkatan produksi pangan kepada  inovasi benih.    Pertama, peningkatan luas panen melalui inovasi varietas benih unggul berumur pendek yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman.  Kedua, peningkatan hasil panen per hektare melalui inovasi venih varietas produksi tinggi.  Ketiga, perluasan  pertanian lahan kering melalui inovasi benih unggul toleran kekeringan.  Jelas di sini bahwa solusi utama  bukanlah  industri pupuk yang hebat,  melainkan industri benih yang hebat.   
Untuk Indonesia, jika ingin mencapai kedaulatan/ ketahanan pangan lestari, maka pilihannya adalah revitalisasi industri benih nasional, dalam hal ini SHS. Ada dua  alternatif revitalisasi yang dapat dipertimbangkan yaitu, pertama, rekapitalisasi SHS dengan syarat  beban hutang ke bank (BUMN) dialihkan menjadi penyertaan modal kreditur.  Alternatif ini diajukan karena dengan beban hutang besar dan modal langka, hampir tidak mungkin SHS bisa bangkit kembali.
 Alternatif kedua, lebih ekstrim, likuidasi SHS dan selanjutnya mendirikan perusahaan baru untuk mengemban misi perbenihan nasional, sedangkan beban hutangnya dialihkan kepada pemerintah.   Alternatif ini akan melahirkan satu industri benih nasional yang sehat, tanpa beban hutang, sehingga bisa cepat mengejar ketertinggalannya dari industri pupuk nasional.
Konsekuensi hukum, bisnis, sosial, dan politik kedua alternatif itu memang harus dikaji lebih dalam.  Tapi revitalisasi industri benih pangan nasional jangan ditunda, mengingat fungsi strategisnya mewujudkan kedaulatan/ketahanan pangan.   Lagi pula, PIHC mustahil bisa menjadi BUMN Pangan raksasa, kalau  lini industri benihnya tetap terbelakang. (*)

Dimuat dalam harian Bisnis Indonesia, 23 Mei 2014 (h. 2)

Minggu, 18 Mei 2014

Ujian Kedaulatan Pangan Jokowi (Food Sovereignty Examination for Jokowi)

Oleh:  MT Felix Sitorus

Kedaulatan pangan, janji kampanye PDIP, otomatis melekat pada Jokowi, calon presiden dari partai itu.
Saat blusukan ke persawahan di Desa Tanjungrasa, Bogor (Minggu, 27/4/2014), Jokowi sudah menyampaikan konsepnya terkait kedaulatan pangan.
Konsep Jokowi  perlu diuji konsistensinya dengan konsep kedaulatan pangan versi organisasi petani sedunia Via Campesina. 
Tujuannya untuk melihat apakah Jokowi sudah berada di jalur yang benar.  Sebab kalau keliru, maka mayoritas petani  konstituen PDIP akan menggugatnya.  Anggap ini  sebagai ujian teori kedaulatan pangan untuk Jokowi.

Lima Kebijakan
Menurut Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan nasional harus ditempuh lima kebijakan pokok pembangunan pertanian pangan. Pertama, pengamanan lahan baku pertanian.  Tidak ada lagi konversi lahan pertanian produktif  untuk keperluan non-pertanian.  
Kedua,  pemandirian petani pangan.   Pendampingan petani diarahkan pada pencapaian kemandirian dalam usahatani, dengan menggunakan benih serta pupuk dan pestisida organik/hayati yang dihasilkan sendiri.   Dengan kata lain anti-impor, anti-paten, dan anti-agroindustri hulu (benih dan saprotan).
Ketiga, pembenahan irigasi pertanian.   Meliputi pembangunan bendungan baru, pembenahan saluran-saluran irigasi, dan pengendalian pencemaran industri untuk menjamin mutu air irigasi.
Keempat, perbaikan tataniaga pertanian.  Rantai tataniaga terlalu panjang, sehingga nilai tambah hasil pertanian pangan sebagian besar justru dinikmati pengusaha pasca-panen, khususnya pedagang dan pengusaha agroindustri. 
Kelima, peningkatan akses permodalan.  Kendala umum berupa keterbatasan modal usahatani  akan diatasi dengan mendirikan bank pertanian.
Lima kebijakan tersebut secara gamblang menunjuk pada suatu kebijakan pangan yang pro-petani.   Apakah ini berarti konsep Jokowi sudah konsisten dengan konsep  kedaulatan pangan sejati?

 

 

Enam Pilar  

Mari kita uji konsistensi lima kebijakan Jokowi dengan enam pilar kedaulatan pangan hasil perumusan Via Campesina pada International Forum for Food Sovereignty di  Nyéléni, Mali tahun  2007.

Pilar-pilar yang dimaksud adalah, pertama, pangan untuk rakyat.  Kebijakan pangan nasional harus menempatkan kebutuhan pangan rakyat  sebagai intinya dan menolak  setiap upaya komoditisasi pangan.

Kedua, basis pengetahuan/keahlian lokal.  Mengembangkan pengetahuan dan keahlian tradisional sebagai basis produksi pangan. Teknologi dari luar, yang bersifat merusak sistem pangan lokal,  harus ditolak.

Ketiga, berkerja selaras alam.  Cara produksi pangan menerapkan  pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. 

Keempat, penghargaan pada petani  pangan.  Kegiatan budidaya atau produksi pangan harus menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi pelakunya. 

Kelima, lokalisasi sistem pangan.   Jarak antara produsen dan konsumen harus diperpendek melalui penataan sistem tataniaga.   Prinsip ini menolak ketergantungan pada korporasi pangan asing, dumping pangan, dan bantuan pangan yang tidak layak.

Keenam, kontrol lokal atas pangan.   Pangan harus sepenuhnya dikontrol oleh produsen pangan lokal.   Karena itu privatisasi pangan harus ditolak.

Kebijakan pengamanan lahan baku pertanian, pembenahan irigasi, dan peningkatan akses permodalan yang diajukan Jokowi  cukup konsisten dengan pilar penghargaan pada petani.  Arahnya untuk menjamin ketersediaan modal alami (tanah/air) dan  modal finansil yang memadai bagi petani, sehingga pertanian pangan menjadi  mata pencaharian yang layak.

Kebijakan pemandirian petani konsisten dengan pilar-pilar basis pengetahuan lokal,  selaras alam, dan kontrol lokal atas pangan.   Arahnya perubahan cara produksi pangan dari pola industrial (estate) yang eksploitatif ke pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. Juga perubahan sistem penguasaan sumberdaya pertanian dari rejim hak milik privat ke  rejim hak milik komunal.

Sedangkan kebijakan  perbaikan  tataniaga pertanian untuk sebagian konsisten dengan pilar  pangan untuk rakyat dan lokalisasi sistem pangan.  Kebijakan ini mengarah pada perubahan tataniaga pertanian dari rejim liberalisme ala WTO ke rejim proteksionis (anti-impor) yang melindungi petani (produsen) dan konsumen pangan.  Tujuannya antara lain mencegah komoditisasi dan penggunaan pangan sebagai instrumen politik dan kekuasaan.

Kesimpulannya, konsep kedaulatan pangan Jokowi menunjukkan konsistensi dengan konsep Via Campesina.  Artinya,  Jokowi lulus dalam ujian teori  kedaulatan pangan, walaupun tidak dengan judisium cum laude.

 

 

Satu Skeptisme
Tapi janji kedaulatan pangan Jokowi, sebagai sebuah janji politik,  harus disikapi secara skeptis.   Soalnya pada tahap implementasi, janji itu akan dihadapkan pada sejumlah resistensi, yang menyebabkannya gugur di tengah jalan.
Menjanjikan kedaulatan pangan berarti menjanjikan perubahan  kebijakan pangan secara radikal dari rejim “ketahanan” (food security) ke rejim “kedaulatan”  (food sovereignty).  Per definisi ini berarti  perubahan ideologis dari paham liberal ke proteksionis. 
Intinya rejim kedaulatan pangan akan mengandalkan basis gerakan pangan akar-rumput (komunitas petani), menegakkan sistem pangan yang demokratis, dan perlindungan terhadap sistem pangan lokal.
Upaya menegakkan rejim kedaulatan pangan akan mendapat perlawanan keras dari pendukung  paham ketahanan pangan yang liberal-global, khususnya dari negara-negara anggota WTO, FAO, serta korporasi agroindustri pangan multi-nasional dan nasional termasuk BUMN Pangan.
Dengan kata lain, konflik klasik ”pemodal vs petani” akan terjadi.  Apakah kedaulatan pangan akan tercapai atau tidak, tergantung pada bagaimana resolusi konflik itu.  Tentang hal  yang genting ini, Jokowi jelas belum mengajukan konsepnya.
Tapi, untuk resolusi konflik itu, satu hal harus menjadi kesepakatan bersama yaitu “kedaulatan adalah harga mati”.  Simaklah petikan pidato  Presiden Sukarno di Faperta UI Bogor tahun 1952: “Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat apa kita bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?”
Enam puluh dua tahun setelah pidato itu, mungkinkah akan terpilih seorang Presiden Indonesia Modern yang bisa mewujudkannya? 

Artikel diterbitkan di Kompasiana.com