Minggu, 18 Mei 2014

Ujian Kedaulatan Pangan Jokowi (Food Sovereignty Examination for Jokowi)

Oleh:  MT Felix Sitorus

Kedaulatan pangan, janji kampanye PDIP, otomatis melekat pada Jokowi, calon presiden dari partai itu.
Saat blusukan ke persawahan di Desa Tanjungrasa, Bogor (Minggu, 27/4/2014), Jokowi sudah menyampaikan konsepnya terkait kedaulatan pangan.
Konsep Jokowi  perlu diuji konsistensinya dengan konsep kedaulatan pangan versi organisasi petani sedunia Via Campesina. 
Tujuannya untuk melihat apakah Jokowi sudah berada di jalur yang benar.  Sebab kalau keliru, maka mayoritas petani  konstituen PDIP akan menggugatnya.  Anggap ini  sebagai ujian teori kedaulatan pangan untuk Jokowi.

Lima Kebijakan
Menurut Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan nasional harus ditempuh lima kebijakan pokok pembangunan pertanian pangan. Pertama, pengamanan lahan baku pertanian.  Tidak ada lagi konversi lahan pertanian produktif  untuk keperluan non-pertanian.  
Kedua,  pemandirian petani pangan.   Pendampingan petani diarahkan pada pencapaian kemandirian dalam usahatani, dengan menggunakan benih serta pupuk dan pestisida organik/hayati yang dihasilkan sendiri.   Dengan kata lain anti-impor, anti-paten, dan anti-agroindustri hulu (benih dan saprotan).
Ketiga, pembenahan irigasi pertanian.   Meliputi pembangunan bendungan baru, pembenahan saluran-saluran irigasi, dan pengendalian pencemaran industri untuk menjamin mutu air irigasi.
Keempat, perbaikan tataniaga pertanian.  Rantai tataniaga terlalu panjang, sehingga nilai tambah hasil pertanian pangan sebagian besar justru dinikmati pengusaha pasca-panen, khususnya pedagang dan pengusaha agroindustri. 
Kelima, peningkatan akses permodalan.  Kendala umum berupa keterbatasan modal usahatani  akan diatasi dengan mendirikan bank pertanian.
Lima kebijakan tersebut secara gamblang menunjuk pada suatu kebijakan pangan yang pro-petani.   Apakah ini berarti konsep Jokowi sudah konsisten dengan konsep  kedaulatan pangan sejati?

 

 

Enam Pilar  

Mari kita uji konsistensi lima kebijakan Jokowi dengan enam pilar kedaulatan pangan hasil perumusan Via Campesina pada International Forum for Food Sovereignty di  Nyéléni, Mali tahun  2007.

Pilar-pilar yang dimaksud adalah, pertama, pangan untuk rakyat.  Kebijakan pangan nasional harus menempatkan kebutuhan pangan rakyat  sebagai intinya dan menolak  setiap upaya komoditisasi pangan.

Kedua, basis pengetahuan/keahlian lokal.  Mengembangkan pengetahuan dan keahlian tradisional sebagai basis produksi pangan. Teknologi dari luar, yang bersifat merusak sistem pangan lokal,  harus ditolak.

Ketiga, berkerja selaras alam.  Cara produksi pangan menerapkan  pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. 

Keempat, penghargaan pada petani  pangan.  Kegiatan budidaya atau produksi pangan harus menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi pelakunya. 

Kelima, lokalisasi sistem pangan.   Jarak antara produsen dan konsumen harus diperpendek melalui penataan sistem tataniaga.   Prinsip ini menolak ketergantungan pada korporasi pangan asing, dumping pangan, dan bantuan pangan yang tidak layak.

Keenam, kontrol lokal atas pangan.   Pangan harus sepenuhnya dikontrol oleh produsen pangan lokal.   Karena itu privatisasi pangan harus ditolak.

Kebijakan pengamanan lahan baku pertanian, pembenahan irigasi, dan peningkatan akses permodalan yang diajukan Jokowi  cukup konsisten dengan pilar penghargaan pada petani.  Arahnya untuk menjamin ketersediaan modal alami (tanah/air) dan  modal finansil yang memadai bagi petani, sehingga pertanian pangan menjadi  mata pencaharian yang layak.

Kebijakan pemandirian petani konsisten dengan pilar-pilar basis pengetahuan lokal,  selaras alam, dan kontrol lokal atas pangan.   Arahnya perubahan cara produksi pangan dari pola industrial (estate) yang eksploitatif ke pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. Juga perubahan sistem penguasaan sumberdaya pertanian dari rejim hak milik privat ke  rejim hak milik komunal.

Sedangkan kebijakan  perbaikan  tataniaga pertanian untuk sebagian konsisten dengan pilar  pangan untuk rakyat dan lokalisasi sistem pangan.  Kebijakan ini mengarah pada perubahan tataniaga pertanian dari rejim liberalisme ala WTO ke rejim proteksionis (anti-impor) yang melindungi petani (produsen) dan konsumen pangan.  Tujuannya antara lain mencegah komoditisasi dan penggunaan pangan sebagai instrumen politik dan kekuasaan.

Kesimpulannya, konsep kedaulatan pangan Jokowi menunjukkan konsistensi dengan konsep Via Campesina.  Artinya,  Jokowi lulus dalam ujian teori  kedaulatan pangan, walaupun tidak dengan judisium cum laude.

 

 

Satu Skeptisme
Tapi janji kedaulatan pangan Jokowi, sebagai sebuah janji politik,  harus disikapi secara skeptis.   Soalnya pada tahap implementasi, janji itu akan dihadapkan pada sejumlah resistensi, yang menyebabkannya gugur di tengah jalan.
Menjanjikan kedaulatan pangan berarti menjanjikan perubahan  kebijakan pangan secara radikal dari rejim “ketahanan” (food security) ke rejim “kedaulatan”  (food sovereignty).  Per definisi ini berarti  perubahan ideologis dari paham liberal ke proteksionis. 
Intinya rejim kedaulatan pangan akan mengandalkan basis gerakan pangan akar-rumput (komunitas petani), menegakkan sistem pangan yang demokratis, dan perlindungan terhadap sistem pangan lokal.
Upaya menegakkan rejim kedaulatan pangan akan mendapat perlawanan keras dari pendukung  paham ketahanan pangan yang liberal-global, khususnya dari negara-negara anggota WTO, FAO, serta korporasi agroindustri pangan multi-nasional dan nasional termasuk BUMN Pangan.
Dengan kata lain, konflik klasik ”pemodal vs petani” akan terjadi.  Apakah kedaulatan pangan akan tercapai atau tidak, tergantung pada bagaimana resolusi konflik itu.  Tentang hal  yang genting ini, Jokowi jelas belum mengajukan konsepnya.
Tapi, untuk resolusi konflik itu, satu hal harus menjadi kesepakatan bersama yaitu “kedaulatan adalah harga mati”.  Simaklah petikan pidato  Presiden Sukarno di Faperta UI Bogor tahun 1952: “Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat apa kita bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?”
Enam puluh dua tahun setelah pidato itu, mungkinkah akan terpilih seorang Presiden Indonesia Modern yang bisa mewujudkannya? 

Artikel diterbitkan di Kompasiana.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar