Rabu, 23 April 2014

Menegakkan Kedaulatan Pangan Nasional (Estabilishing the National Food Sovereignty)

Oleh: MT Felix Sitorus

Masalah pangan Indonesia adalah bagian masalah pangan global menuju 2025, yaitu upaya pelipat-gandaan produksi pangan untuk mencukupi peningkatan permintaan akibat pertumbuhan penduduk.  Upaya tersebut akan dihadapkan pada kendala-kendala kelangkaan air, keterbatasan lahan, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan, dan perubahan iklim dalam skala global.

Terdapat dua pilihan cara bagi pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi permintaan pangan 2025.  Pertama, mengundang swasta untuk berinvestasi dalam pengembangan estat pangan, dengan resiko terjadinya kolonialisme pangan dan hilangnya kedaulatan pangan nasional.  Kedua, membentuk suatu BUMN Pangan sebagai pengelola estat pangan secara kolaboratif dengan BUMP, sehingga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional tetap tegak.

Tulisan ini merekomendasikan pilihan cara kedua yaitu membentuk BUMN Pangan.  Namun sebelumnya terlebih dahulu akan dijelaskan tentang masalah pangan global, skenario solusi pangan global, dan bahaya kolonialisme pangan menuju 2025.

1.  Masalah Pangan Global

Sebagai konsekuensi pertambahan penduduk menjadi 8.5 milyar , pada tahun 2025 permintaan pangan dunia khususnya serealia akan lipat-ganda dari sekarang. Diperkirakan permintaan pangan tersebut hanya mungkin dipenuhi apabila peningkatan produksi pangan mencapai sedikitnya 2 persen per tahun.[1]

Tetapi upaya peningkatan produksi tersebut kini harus berhadapan dengan empat kendala yang bersifat global.  Pertama, masalah kelangkaan air yang akan membatasi pasokan air untuk irigasi.  Kedua, masalah keterbatasan lahan pertanian pangan akibat konversi ke peruntukan non-pertanian dan pertanian untuk produksi bahan bakar biologis.  Ketiga, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan yaitu bahan baku pupuk kimia dan bahan bakar fosil yang memicu produksi bahan bakar berbasis tanaman pangan.  Keempat, perubahan iklim global yang berdampak degradatif terhadap pertanian pangan.[2]

Resiko moderat yang mungkin terjadi, sebagai akibat dari empat kendala tersebut, adalah stagnasi peningkatan produksi.  Jika hal itu terjadi, yang  berarti produksi lebih kecil dari permintaan, maka dunia akan mengalami “krisis pangan”.  Isyarat dini sudah terbaca yaitu fakta bahwa pada ahun 2009 terdapat satu milyar penduduk dunia yang menderita kelaparan.[3]
Karena itu, sebagaimana dicanangkan para pemimpin dunia pada World Summit on Food Security (WSFS)  2009 di Roma,  dunia kini bergerak membangun ketahanan pangan melalui peningkatan investasi  pertanian dan ketahanan pangan dan pengembangan tata-kelola ketahanan pangan  yang koheren dan efektif. [4]


2.     Skenario Solusi Pangan Global

Peningkatan permintaan pangan 2025 diantisipasi dari dua sisi yaitu produksi dan konsumsi.  Dari sisi produksi diupayakan peningkatan produksi terus-menerus melalui peningkatan teknologi dan manajemen.  Dari sisi konsumsi diupayakan pengurangan laju pertumbuhan konsumsi pangan, khususnya serealia,  melalui pengendalian pertumbuhan penduduk dan diversifikasi pangan.
Prioritas dunia sekarang adalah pada peningkatan produksi dan produktivitas pangan.  Dirjen FAO Jacques Diouf  dalam WSFS 2009  telah menegaskan  bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan 9.1 milyar penduduk dunia tahun 2050, diperlukan peningkatan produksi pangan minimal 70 persen. Untuk itu, sebagaimana konferensi tersebut menekankan perlunya peningkatan investasi pertanian, khususnya di negara-negara berkembang.[5]
Prediksi permintaan pangan dunia 2025, atau lebih jauh lagi 2050, jelas memberi indikasi  bahwa pangan merupakan komoditi strategis,  baik secara politis maupun ekonomis.  Kelak, pangan adalah kekuasaan. Inisiatif dan langkah agresif pemerintah dan perusahaan transnasional negara-negara maju untuk menanam investasi besar-besaran di sektor agribisnis pangan harus dipahami dalam konteks meraih kekuasaan berbasis pangan. 
Konsisten dengan rekomendasi WSFS 2009, sasaran peningkatan investasi pertanian atau agribisnis tersebut adalah peningkatan produksi  pangan melalui tiga pendekatan.  Pertama, peningkatan luas panen atas luas baku melalui  inovasi varietas benih unggul dan teknologi budidaya yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman. Kedua, peningkatan hasil per hektar lahan panenan melalui inovasi intensifikasi produksi.  Ketiga, peningkatan hamparan lahan pertanian baru yang menyumbang pada total produksi pangan global.
Mengingat adanya empat kendala besar tersebut di atas, maka skenario  pemenuhan permintaan pangan dunia menuju 2025  difokuskan pada peningkatan luas panen dan hasil per hektar lahan panenan.  Kombinasi kedua pendekatan ini diterapkan serentak dalam dua pola yaitu pola usahatani pangan skala rumahtangga dan pola agribisnis pangan skala besar berupa estat pangan (food estate).  Kedua pola tersebut diterapkan dalam kerangka intensifikasi  pertanian.  Jika ekstensifikasi dilakukan juga, maka harus dipastikan pelaksanaannya merupakan perluasan areal intensifikasi.
Skenario solusi pangan 2025 tersebut jelas memerlukan dana investasi yang sangat besar.  Pertama, investasi besar dibutuhkan untuk  keperluan riset  pemuliaan benih, meliputi riset-riset bioteknologi dan teknologi gen,  guna menemukan varietas-varietas unggul baru tanaman pangan (inbrida, hibrida, transgenik) berproduksi tinggi yang toleran  terhadap aneka cekaman biotik dan abiotik.   Investasi besar juga diperlukan untuk riset teknologi produksi,  guna menemukan teknologi input khususnya  pupuk dan pestisida, alsintan, dan metoda yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan.  Inovasi-inovasi peningkat produksi/produktivitas ini menjadi prioritas dalam konteks empat kendala besar di atas. Suatu perkiraan menunjukkan bahwa setiap 0.1 persen kenaikan hasil dalam periode 2010-2025 akan mensubstitusi sekitar 25 juta ha lahan usahatani tadah hujan.[6]
Kedua, investasi besar juga diperlukan untuk  menerapkan inovasi-inovasi teknologi peningkatan luas panen dan hasil per hektar tersebut dalam skala besar yaitu estat pangan.  Pola ini memerlukan dana yang sangat besar untuk konsolidasi lahan (yang sudah ada), atau untuk pembukaan lahan (yang baru), dan untuk menjalankan manajemennya.
Menurut taksiran FAO, pada harga konstan 2009, rata-rata per tahun total investasi pertanian yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya menuju 2025-2050 adalah  US$ 209 milyar.  Selama ini (1997-2007) rata-rata total investasi tersebut hanya sekitar US$ 142 milyar per tahun .[7] 

Jika merujuk  pada perkiraan FAO, berarti negara-negara berkembang memerlukan  peningkatan investasi pertanian dan hilir primer sebesar rata-rata 32 persen sehingga angka US$ 209 milyar tercapai.  Sumber utama investasi tersebut menurut prediksi FAO selayaknya adalah sektor swasta. Sementara pemerintah yang dihadapkan pada keterbatasan anggaran diharapkan berinvestasi di bidang riset dan pengembangan, infrastruktur pedesaan, dan jaring pengaman sosial.[8]  Dengan skenario investasi pertanian seperti itu, jelas bahwa solusi pemenuhan pangan dunia akan memposisikan sektor swasta sebagai pengendali ketahanan pangan.

3.     Bahaya Kolonialisme Pangan

Undangan kepada swasta sebagai pelaku utama investasi di sektor pertanian primer dan hilir ibarat pedang bermata dua.  Satu mata dapat menebas kendala keterbatasan investasi di bidang pertanian dan pangan.   Kucuran dana investasi dari swasta dipastikan dapat mempercepat pengembangan pertanian dan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi permintaan pangan dunia tahun 2025.

Tapi mata lainnya dapat menebas kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
Jelasnya, jika suatu perusahaan swasta memiliki estat pangan sehingga mampu menguasai 10 persen  dari pasokan (produksi) pangan pokok di suatu negara, maka negara itu praktis telah kehilangan kedaulatan pangannya. Dengan penguasaan  sebesar itu, perusahaan swasta tersebut memiliki kemampuan untuk mengendalikan pasar pangan nasional untuk keuntungan  bisnisnya. 

Kondisi itulah yang disebut sebagai gejala kolonialisme pangan, yaitu ketika kedaulatan pangan suatu bangsa hilang karena sektor swasta menguasai produksi/pasokan pangannya dalam jumlah yang signifikan.

Terkait dengan empat kendala besar tersebut di atas, gejala kolonialisme pangan ini bukan lagi hipotesa tapi sudah realitas empiris. Organisasi GRAIN mencatat pada 2008 pemerintah dan swasta dari sejumlah negara kaya (a.l. Jepang, Cina, Korea Selatan, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat) telah melakukan investasi estat pangan di negara-negara berkembang di kawasan Asia-Afrika, untuk alasan-alasan kepentingan ketahanan pangan sendiri (food outsourcing)  dan penguasaan pasar pangan global. Langkah serupa juga dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta besar dari negara-negara Eropa dan Amerika. 

Indonesia termasuk salah satu negara yang diincar oleh investor estat pangan karena masih memiliki  potensi lahan subur yang luas.  Tambahan lagi, pemerintah sangat terbuka terhadap investor asing, antara lain dengan dimungkinkannya perusahaan asing memiliki modal maksimal 95 persen dalam budidaya padi[9], dan dimungkinkannya korporasi berinvestasi dan memiliki lahan pertanian pangan.[10]

Kasus mutakhir adalah rencana pengembangan estat pangan 1 juta ha di Merauke, yang baru saja (11/8/2010) diresmikan  mentan Suswono langsung di Merauke.[11] Sejak proyek ini digadang-gadang, sejumlah investor dari dalam dan luar negeri sudah menunjukkan minat.   Dari dalam negeri, disebutkan antara lain Medco Group,  Sinar Mas Group, Artha Graha Group (SAS), dan Bangun Tjipta Sarana.  Dari luar negeri, dilaporkan antara lain Binladen Group menunjukkan minat.

Tapi sudah bisa diduga, kelak dalam prakteknya, investor dalam negeri akan menggandeng investor luar negeri sebagai mitra.    Alasannya jelas, di satu sisi estat pangan adalah agribisnis padat teknologi mutakhir dan padat kapital.  Di sisi lain, kapasitas permodalan dan teknologi investor dalam negeri umumnya masih di bawah standar  kebutuhan minimum realisasi estat pangan.  Solusi untuk mengatasi kesenjangan tersebut adalah kerjasama dengan investor  multinasional.

Selain ancaman bagi kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, gejala kolonisasi pangan atau dominasi swasta dalam pertanian pangan juga akan memarjinalkan mayoritas petani kecil.  Dengan kekuatan permodalan, teknologi, manajemen, dan jejaring bisnisnya,  perusahaan swasta bukan saja akan menguasai pasar tetapi juga akan mendikte pasar produk pangan, misalnya dengan membanjiri pasar dengan beras murah, sehingga akan mematikan usahatani skala gurem. 

Marjinalisasi mayoritas petani kecil  sebagai dampak kolonialisme pangan  mengindikasikan dua masalah yaitu, pertama, hilangnya basis kedaulatan pangan nasional dan, kedua, peningkatan kemiskinan dalam masyarakat.

4.  Gagasan BUMN Pangan
Indonesia termasuk negara yang bermasalah dalam ketahanan pangan.   Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat pada tahun 2008 terdapat  25.1 juta jiwa (11.1%) penduduk Indonesia yang  berstatus “sangat rawan pangan”.[12]  Analisis data Susenas 2005 memberi gambaran bahwa mayoritas golongan “rentan pangan”/”rawan pangan” adalah rumahtangga pertanian miskin di pedesaan.[13]
Indonesia, seperti umumnya negara berkembang lainnya, juga dihadapkan pada keharusan peningkatan produksi pangan untuk menjamin ketahanan pangan.  Berpikir 15 tahun ke depan, menurut proyeksi BPS pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan  mencapai 273 juta jiwa.  Jika diasumsikan pangan adalah beras, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya pada tingkat swasembada (140 kg/kapita/tahun), tahun 2025 Indonesia harus mampu memproduksi minimal 38 juta ton beras atau sekitar 72 juta ton padi (rendemen 53%).  Jika sekarang (angka 2009) diasumsikan produksi beras nasional 33 juta ton, berarti dalam 15 tahun ke depan harus ada tambahan minimal 5 juta ton lagi. 
Pertanyaan krusialnya sekarang, pertama, bagaimana cara mencapai tambahan 5 juta ton beras tahun 2025?   Cara pertama adalah menyerahkan target tambahan 5 juta ton beras itu pada sektor swasta, melalui investasi estat pangan padi seluas 1 juta ha di Merauke.  Jika diasumsikan produksi per hektarnya 5 ton, maka dalam dua kali tanam estat pangan itu akan menghasilkan 10 juta ton gabah atau sekitar  5.3 juta ton beras.  Tapi, jika ini yang menjadi pilihan, maka gejala kolonialisme pangan akan terjadi, dan Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangannya.  Bukannya keamanan  melainkan kerawanan pangan  yang akan dicapai.
Pilihan cara yang paling bijak  kiranya adalah pengembangan estat pangan nasional seluas 1 juta ha di bawah pengelolaan negara melalui suatu BUMN bidang pangan.  Luasan 1 juta ha tersebut tidak harus merupakan lahan bukaan baru seperti di Maerauke, tetapi dapat diambil dari luas baku sawah nasional 7.7 ha, sebagai bagian dari lahan sawah abadi.   Dengan demikian estat pangan 1 juta ha itu tidak perlu terkonsentrasi di suatu wilayah, tetapi tersebar di sentra-sentra pertanian padi sawah di berbagai pulau di Indonesia.  Yang terkonsentrasi adalah manajemennya yaitu pada suatu BUMN Pangan.
Jika kebijakan yang bersifat nasionalis ini ditempuh, maka komposisi pengelolaan lahan sawah nasional menjadi 6.7 juta ha dikelola petani sendiri dan 1 juta ha dikelola BUMN Pangan bersama petani yang dapat diorganisir dalam unit-unit BUMP (Badan Usaha Milik Petani).  Target yang dibebankan pada lahan padi sawah petani adalah luas panen 10 juta ha per tahun dengan rerata produktivitas 5.5 ton/ha.  Sedangkan target lahan estat pangan nasional adalah luas panen  2 juta ha per tahun dengan rerata produktivitas 8.5 ton/ha, sesuatu yang tak mustahil jika mengusahakan padi hibrida tropis.   Dengan demikian akan diperoleh total 72 juta ton padi atau 38 juta ton beras per tahun, di atas basis kedaulatan pangan nasional yang semakin solid, dengan petani dan BUMN Pangan sebagai pilar-pilar utamanya.
Pertanyaan krusial kedua, bagaimana cara merealisasikan BUMN Pangan.  Secara teknis ini tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah punya dua BUMN pertanian pangan yaitu PT Sang Hyang Seri (SHS) dan PT Pertani.    Bisnis inti SHS adalah produksi dan distribusi benih pertanian, tetapi belakangan juga mulai memasuki bidang produksi dan pemasaran sarana produksi pupuk dan pestisida. Bisnis inti Pertani adalah perdagangan (trading) sarana produksi pupuk dan obat-obatan, tetapi belakangan juga memasuki bidang produksi dan pemasaran benih padi dan beras.   Jika kedua BUMN ini diintegrasikan, entah melalui cara merger ataupun holding, maka hasilnya adalah sebuah BUMN Pangan yang kuat karena menguasai aset dan memiliki akses agribisnis pangan skala nasional mulai dari hulu (produksi benih dan saprotan), tengah (usahatani pangan primer), sampai ke hilir (pengolahan dan pemasaran produk pangan).
Realisasi BUMN Pangan tersebut, sebagai strategi penegakan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, tampaknya sangat tergantung pada jawaban atas pertanyan krusial ketiga, yaitu apakah pemerintah memiliki komitmen politik yang kuat untuk menegakkan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional menuju 2025? 




[1] Alexandratos, N. and H. de Haen, 1995 “World consumption of cereals: will it double by 2025”, Elsevier Science Ltd.; Kulshreshtha,S.N.,  1998, “A Global Outlook for Water Resources to the Year 2025”, Water Resources Management  (Volume 12, Number 3 / June, 1998); European Commission, 2004, “Plants for the future': A European vision for plant biotechnology towards 2025, European Commission; Directorate-General for Research of Eurepaan Communities, 2009, The World in 2025 Rising Asia and socio-ecological transition, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities;  Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research; McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research.

[2] Kulshreshtha,S.N.,  1998, “A Global Outlook for Water Resources to the Year 2025”, Water Resources Management  (Volume 12, Number 3 / June, 1998); “Two-thirds of world population could face water shortage by 2025: FAO”, ABC Online (23 Maret 2007); Rosegrant, Mark W., Ximing Cai and Sarah A. Cline, 1995, “World Water and Food to 2025: Dealing with Scarcity”,  IFPRI & IWMI; Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); European Commission, 2004, “Plants for the future': A European vision for plant biotechnology towards 2025, European Commission; Directorate-General for Research of Eurepaan Communities, 2009, The World in 2025 Rising Asia and socio-ecological transition, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities; Susanti, E., F. Ramadhani, E. Runtunuwu dan I. Amin, 2009, Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) serta Strategi Antisipasi dan Adaptasi, Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Balitbangtan RI; “Strategi dan Inovasi Teknologi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim Global”, Jakarta: Balitbangtan, 2009;  Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008, ”Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian serta Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi, Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2) hal. 138-140.
[3] “Opening Statement of FAO Director-General, Dr Jacques Diouf”, World Summit on Food Security Rome, 16 – 18 November 2009.
[4] “Declaration of The World Summit on Food Security”, World Summit on Food Security Rome, 16-18 November 2009.

[5] “Opening Statement of FAO Director-General, Dr Jacques Diouf”, World Summit on Food Security Rome, 16 – 18 November 2009;  “Declaration of The World Summit on Food Security”, World Summit on Food Security Rome, 16-18 November 2009.

[6] Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research. 
[7] Feeding the World, Eradicating Hunger, Background Paper WSFS, Rome, 16-18 November 2009
[8] Feeding the World, Eradicating Hunger, Background Paper WSFS, Rome, 16-18 November 2009

[9] Peraturan Presiden No. 77/2007 tentang Daftar Usaha Tertutup dan Terbuka.
[10] Undang-Undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
[11] Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, sebagai payung hukum berinvestasi di estat pangan.
[12] Achmad Suryana, “Kebijakan dan Strategi Mewujudkan Keterjaminan Hak Atas Pangan”, Makalah pada Workshop Ketahanan Pangan, KKP dan Meneg BUMN, Surabaya, 5 Desember 2009.
[13] H.P.Saliem dan E. Ariningsih, “Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran Rumahtangga di Perdesaan: Analisis Data Susenas 1999-2005”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 19 November 2008.

Tulisan ini koleksi pribadi

Minggu, 20 April 2014

Solusi Pangan Dahlan Iskan (Dahlan Iskan's Food Solution)


Oleh: MT Felix Sitorus[1]
Simpulan Budi Dharmawan dalam “Manufacturing Hope” (MH)  122 Dahlan Iskan (JP 7/4/2014) sungguh pesimistik dan tendensius.  Katanya, petani padi tidak akan bisa kaya karena harganya pasti ditekan pemerintah.   
Memang benar mayoritas petani gurem (di bawah 0.25 ha) di Jawa  serba miskin. Tapi gegabah jika penetapan harga gabah/beras dari pemerintah dituduh sebagai penyebabnya. 
Kemiskinan petani padi bersifat struktural dan kompleks. Karena itu perlu solusi struktural pula.  Alih-alih memberi solusi, Pak Budi malahan lebih memilih  buah tropis di atas gunung untuk dibina.
 Berbeda dari Pak Budi,  jauh hari Pak Dahlan sebenarnya sudah menyampaikan solusi “ modernisasi paripurna” untuk membesarkan pertanian pangan khususnya padi (MH 15, JP 27/2/2012).  Dengan solusi itu Pak Dahlan membayangkan pertanian padi sepenuhnya berbasis mekanisasi.
Tapi, apa sejatinya arti modernisasi paripurna itu? Dan bagaimana ia dapat dijalankan sebagai solusi untuk membesarkan pertanian dan petani pangan? 

Modernisasi Paripurna 
            Saat mengoperasikan combine harvester di persawahan Patalan,  Bantul dua tahun lalu (25/2/2012), yang dibayangkan Pak Dahlan tentang modernisasi paripurna agaknya sebatas mekanisasi penuh, mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan hasil panen.
            Modernisasi paripurna tidaklah sebatas itu.  Lebih dari sekadar  urusan alat/mesin pertanian (alsintan), ia mencakup juga teknologi budidaya dan manajemen usahatani.
            Dalam  pertanian padi unsur dasar teknologi budidaya adalah benih unggul.  Lalu ada  pupuk dan pestisida untuk mendukung potensi benih itu.   
            Pengetahuan dan keterampilan manajemen bisnis kemudian meracik dan  menerapkan unsur-unsur teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi proses produksi.  Targetnya biaya  rendah tapi  produktivitas tinggi, misalnya GKP 8.0 ton/ha,  sehingga laba tinggi.
            Bandingkan dengan kinerja petani gurem yang dibicarakan Pak Budi. Produktivitas sawahnya maksimal 5.0 ton/ha, atau 1.25 ton/0.25 ha, atau senilai Rp 5,625,000 pada harga gabah Rp 4,500/kg.  Setelah dipotong biaya produksi yang  tersisa tinggal “angka kemiskinan”.
            Konsep modernisasi  paripurna sebenarnya sudah disuluhkan sejak masa Revolusi Hijau tahun 1970-an.  Tapi mengapa mayoritas petani padi kita masih tetap dililit keterbelakangan dan kemiskinan?
            Jawabannya karena kekuatan modal dari  atas-desa telah memerangkap petani pada posisi tawar lemah.  Dalam proses modernisasi paripurna itu mereka cuma  jadi konsumen benih/saprotan/alsintan mahal  sekaligus produsen gabah murah.  Porsi terbesar nilai tambah hasil pertanian padi justru dinikmati pemilik modal.
            Departemen Pertanian tidak bisa dipersalahkan atas masalah ini.  Tugas utamanya adalah meningkatkan produksi padi nasional, bukan mengontrol modal yang membonceng modernisasi pertanian.
            Tapi ada pihak yang layak digugat yaitu Kementerian BUMN.   Pertanyaan gugatan:  mengapa kekuatan modal BUMN klaster pangan tidak dipakai untuk mengendalikan modernisasi paripurna pertanian sehingga kedaulatan pangan dan petani tercapai sekaligus?

Solusi PIHC
Gugatan di atas menuntuta pembalikan orientasi modal BUMN dalam modernisasi pertanian.   Bukan lagi berorientasi laba semata  yang justru melemahkan petani tetapi memfasilitasi modernisasi yang saling menguntungkan dengan petani.
Dahlan Iskan sebenarnya sudah menjawab gugatan ini.  Ia memajukan solusi pembentukan holding BUMN Pangan tahun 2012.   Idenya adalah menggabung PT Pertani (pengelola gabah), PT Bulog (pengelola beras), PT Sang Hyang Seri (produksi benih), PT Pupuk Indonesia (pengadaan pupuk), dan PT Berdikari (peternakan) di bawah holding PT Pangan Nusantara.  Target waktu realisasinya  akhir 2014 (Koran Tempo, 29/8/2012).
Untuk alasan nasionalisme, solusi holding BUMN Pangan itu saya sebut di sini “Pangan Indonesia Holding Company” (PIHC).
Intinya, dengan PIHC,  Pak Dahlan menginginkan terbentuknya BUMN Pangan raksasa di Indonesia, sebagai pilar penyangga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Ia menilai, karena terpisah-pisah, BUMN Pangan kita rapuh dan lemah (Republika, 29/8/2013).
Mungkinkah solusi PIHC mengusung modernisasi paripurna yang mengukuhkan kedaulatan pangan sekaligus menguatkan petani?  Jawabannya, lihat kinerja program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN sejak 2011. 
Program GP3K dijalankan oleh Konsorsium BUMN yang beranggotakan PT Pertani, PT  Sang Hyang Seri, PT Pupuk Indonesia, PT Bulog, dan PT Perhutani.  Karena itu konsorsium ini dapat  disebut prototipe PIHC.
Program GP3K-BUMN memfasilitasi modernisasi pertanian pangan dengan pinjaman modal dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya tenaga kerja dengan skema bayar-panen (yarnen), disertai bimbingan manajemen dan budidaya untuk menjamin keberhasilan.
Dampak GP3K tahun 2011,  merujuk hasil studi evaluasi Biro Perencanaan Deptan (2012), dapat  meningkatkan produktivitas pada ladang 0.5 ton/ha (12%) dan padi sawah 2.0 ton/ha (33%).  Ini jelas gejala modernisasi dan penguatan pertanian dan ekonomi petani padi.
Sukses GP3K 2011 itu mendorong Kementerian BUMN meningkatkan target luas areal tahun 2012 dan 2013.   Untuk tahun 2013,  MH 43 (JP 19/9/2012) Pak Dahlan menyampaikan target areal 3.2 juta ha. Diprediksi kenaikan produksi 1.5 ton/ha, naik dari 5.5 ke 7.0 ton/ha, sehingga diperoleh kenaikan produksi beras nasional 1.5 juta ton. 
Dengan segala kelemahannya, antara lain masih kuatnya ego masing-masing BUMN dan hubungan BUMN-Petani yang cenderung berpola patron-klien, tapi semua itu bisa diperbaiki, program GP3K  bolehlah dipegang sebagai konsep awal Strategi Induk Bisnis Pangan (Food Business Grand Strategy) PIHC.
Kini ada indikasi bahwa harapan (hope) terbentuknya PIHC sebagai solusi pangan dari Pak Dahlan, selaku Menteri BUMN, akan menjadi kenyataan walaupun  strukturnya tidak seperti dipikirkan semula.   Sejak September 2013 PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani  secara teknis operasional sudah menjadi “anak perusahaan” PT Pupuk Indonesia.  Dari lima BUMN yang semula direncanakan sebagai anggota grup PIHC, tinggal PT Bulog dan PT Berdikari yang masih tetap berdiri sendiri. 
Tapi sekurangnya unsur-unsur pokok  bisnis pangan yaitu  benih, pupuk, dan gabah sekarang sudah berada di bawah pengelolaan PT Pupuk Indonesia.  Misalkan  fakta ini dapat dibaca sebagai tahap pertama pembentukan PIHC.  Maka tinggal menunggu langkah transformasi PT Pupuk Indonesia Holding Company (kependekannya PIHC juga) menjadi  Pangan Indonesia Holding Company (PIHC juga).
Transformasi Pupuk Indonesia  menjadi Pangan Indonesia, pada tataran operasional adalah pekerjaan rumah Direksi PT Pupuk Indonesia.  Pada tataran kebijakan, ia adalah utang Pak Dahlan selaku Menteri BUMN, yang harus dilunasi sebelum pemerintahan KIB II berakhir. (*)

Dimuat dalam Harian Jawa Pos 15 April 2014


[1] Praktisi agribisnis, peneliti sosionomi pertanian. E-mail: mtfelixstr@yahoo.com

Menggagas Revolusi Kedelai, Tanggapan untuk Dahlan Iskan (Thinking about Soybean Revolution, A reply to Dahlan Iskan)


Oleh: MT Felix Sitorus[1]
Manufacturing Hope Dahlan Iskan, Menteri BUMN, perihal swasembada kedelai penting ditanggapi.   Pak Menteri melihat potensi swasembada kedelai  pada pupuk temuan Tjandramukti/Widjaya di Grobogan.  Pupuk tersebut dapat mempertebal daun kedelai untuk  meningkatkan fotosintesis  dan memperpendek ruas batang untuk mempercepat transportasi nutrisi, sehingga produktivitas kedelai  dapat mencapai  3.4 ton/ha (Manufacturing Hope No. 111, JP 14/1/2014 dan No. 120, JP 24/3/2014).
Tuliasan Pak Dahlan memicu pertanyaan radikal di benak saya.  Untuk mencapai swasembada,  mungkinkah kita menggalakkan pertanian kedelai model Grobogan secara nasional?  Pertanyaan ini mengarah pada  gagasan  revolusi kedelai.
Pelajaran Padi dan Jagung
Jauh mendahului kedelai, pertanian padi dan jagung Indonesia sudah mengalami  revolusi.  Revolusi padi, terkenal sebagai  Revolusi Hijau, digalakkan  tahun 1970-an dan menghantar Indonesia pada swasembada beras tahun 1984. 
Inti revolusi padi  adalah perubahan radikal pola usahatani secara  massal/nasional  yaitu penerapan teknologi benih unggul (produksi tinggi),  yang didukung dengan irigasi teknis, pupuk, dan pestisida.  Perubahan tersebut  diorganisasikan  sebagai suatu gerakan  nasional.
Di tingkat desa organisasi revolusi  melibatkan ujung tombak Kelompok Tani (petani pelaku), Koperasi Unit Desa (penyedia saprotan), dan Penyuluh Pertanian Lapangan (pembimbing teknologi).  Ketiga lembaga tersebut digerakkan birokrasi pemerintah mulai dari tingkat desa sampai pusat (Presiden) yang dikenal sebagai organisasi Bimbingan Massal (Bimas). 
Hasilnya, tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras pada angka produksi 25.8 juta ton (144 kg/kapita).  Angka ini  dua kali lipat lebih jika dibanding angka produksi tahun 1969 (12.2 juta ton).  Indonesia membalik status dari negara pengimpor menjadi pengekspor beras.
Berbeda dari revolusi padi,  revolusi jagung adalah  “revolusi bisu” (silent revolution). Mobilisasi sumberdaya dan gaungnya  tidak  sedahsyat revolusi padi. Penggerak utamanya adalah perusahaan swasta yang memasarkan inovasi benih unggul jagung hibrida secara luas.
Namun jika diukur dari  angka produktivitas tahun 1970-2013, revolusi jagung lebih dahsyat dibanding revolusi padi.    Produktivitas jagung mengalami lompatan empat kali lipat (399%) dari 0.96 ton/ha (1970) menjadi 4.8 ton/ha (2013). Sedangkan produktivitas padi hanya melompat 115% dari 2.37 ton/ha menjadi 5.1 ton/ha. 
Kunci revolusi jagung  adalah  penerapan secara luas benih unggul jagung hibrida oleh petani, didukung pupuk dan pestisida,  sejak 1980-an.  Produktivitas riil jagung hibrida mencapai rata-rata 6.5 ton pipil kering/ha, jauh di atas rata-rata  produktivitas jagung komposit  ( 2.5 ton pk/ha). Luas tanam jagung hibrida di Indonesia kini  mencapai  55% dari luas tanam nasional.
Jadi, kunci keberhasilan  revolusi padi dan  jagung adalah penerapan secara luas  dan terorganisir inovasi benih unggul, yang didukung dengan aplikasi pengairan, pupuk dan pestisida secara tepat waktu dan jumlah.   Revolusi padi digerakkan oleh  organisasi pemerintah, sedangkan revolusi jagung oleh perusahaan swasta.
Giliran Kedelai
Tanpa  sentuhan revolusi, usahatani  kedelai di Indonesia menjadi periferal.   Produktivitas kedelai memang meningkat  sebesar 95% dari 0.7 ton/ha (1970) menjadi 1.4 ton/ha (2013).   Tetapi luas panen merosot dari 694,732 ha menjadi 571,564 ha, pertanda minat petani  semakin rendah.    Alasannya rugi karena  produktivitas rendah, biaya usahatani tinggi, dan  harga jual kalah dari kedelai impor.  
Tapi mana yang benar, impor kedelai tinggi karena produksi domestik rendah, atau sebaliknya produksi domestik merosot karena  kalah dari impor?   Jawabannya pragmatis, impor menjadi benar karena murah dan bermutu.  
Jadi daripada sibuk berpolemik, lebih baik memikirkan bagaimana  memproduksi kedelai bermutu secara massal dan murah.  Di sinilah letak relevansi gagasan revolusi kedelai.  
Revolusi kedelai, jika digalakkan dan momentumnya memang sekarang,  bukanlah keniscayaan. Unsur-unsur pendukungnya sudah tersedia, tinggal bagaimana mengorganisirnya.
Pertama, unsur benih unggul sudah tersedia, hasil riset panjang dan mendalam dari berbagai lembaga riset.  Deptan telah melepas 8 varietas unggul  kedelai dengan produktivitas di atas 3.0 ton/ha, tiga teratas berturut-turut  Kipas Merah Bireun (3.5 ton), Detam 1 (3.45 ton), dan Grobogan (4.4 ton), ditambah 11 varietas dengan produktivitas  2.0-3.0 ton/ha.  Rilis terbaru (2013) adalah kedelai varietas super genjah (67 hari) Gamasugen  dengan produktivitas 2.5 ton/ha yang dihasilkan Batan melalui teknik radiasi. 
Kedua, unsur pupuk sudah ditemukan Tjandramukti/Widjaya dari Grobogan, yaitu pupuk “pemanen fotosintensis”  berbasis kotoran sapi.   Misalkan aplikasi teknologi ini secara massal (nasional) menghasilkan  rata-rata   3.0 ton/ha.  Berarti untuk mencapai swasembada kedelai (10.2 kg/kapita)  tahun 2014 serta surplus (500.000 ton) cukup disediakan lahan  1.0 juta ha.
Ketiga, unsur lahan yang sesuai untuk kedelai sudah diidentifikasi  Deptan.  Luasnya 1.0 juta ha, mayoritas persawahan, sehingga perlu pengaturan pergiliran tanaman.
Keempat, khusus unsur penggerak revolusi, harus menunjuk pada Kementerian BUMN.  Bukan karena Pak Dahlan begitu bersemangat dengan kedelai,  tetapi karena kementerian ini memiliki semua kekuatan  modal, teknologi, dan organisasi yang dibutuhkan untuk menggerakkan revolusi kedelai.  Unsur inilah yang alpa selama ini.
Kekuatan BUMN itu sudah dimanifestasikan dalam konsorsium Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) sejak 2011.  Tinggal kemauan politik untuk menugaskan konsorsium GP3K  (PT PIHC, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Bulog, PT Inhutani) sebagai penggerak revolusi kedelai.  PT Perkebunan Nusantara bisa pula ditambahkan sebagai peternak sapi untuk produksi pupuk. 
Untuk pembagian kerja, PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani  dapat memproduksi benih unggul, dengan memilih varietas-varietas yang telah dirilis Deptan.
Pupuk pemanen fotosintesis, bekerjasama dengan  Tjandramukti/Widjaya dapat diproduksi PT PIHC (grup pupuk).  Kotoran sapi untuk bahan baku dapat dihasilkan  PTPN dari  peternakan sapinya.  Berdasar rumus penemunya, untuk 1.0 juta ha kedelai, diperlukan 50.000 ekor sapi sebagai sumber bahan baku pupuk. 
Areal kedelai 1.0 juta ha dapat dicapai melalui koordinasi dengan Deptan.  Sebagian dapat disediakan oleh PT Inhutani dan PTPN.  Dengan hitung-hitungan usahatani kedelai model Tjandramukti/Widjaya, petani akan berebut menjadi pasukan revolusi.
Kedaulatan kedelai adalah harga mati.  Manufacturing hope has to  become true.  Setelah Deptan menjadi penggerak revolusi padi, swasta menjadi penggerak utama revolusi jagung, kini saatnya BUMN menuliskan sejarahnya sebagai penggerak revolusi kedelai. (*)
Dimuat dalamlembar Opini Harian Jawa Pos, 25 Maret 2014, hlm 4


[1] Dr. MT Felix Sitorus adalah praktisi agribisnis dan peneliti sosionomi pertanian.