Minggu, 20 April 2014

Menggagas Revolusi Kedelai, Tanggapan untuk Dahlan Iskan (Thinking about Soybean Revolution, A reply to Dahlan Iskan)


Oleh: MT Felix Sitorus[1]
Manufacturing Hope Dahlan Iskan, Menteri BUMN, perihal swasembada kedelai penting ditanggapi.   Pak Menteri melihat potensi swasembada kedelai  pada pupuk temuan Tjandramukti/Widjaya di Grobogan.  Pupuk tersebut dapat mempertebal daun kedelai untuk  meningkatkan fotosintesis  dan memperpendek ruas batang untuk mempercepat transportasi nutrisi, sehingga produktivitas kedelai  dapat mencapai  3.4 ton/ha (Manufacturing Hope No. 111, JP 14/1/2014 dan No. 120, JP 24/3/2014).
Tuliasan Pak Dahlan memicu pertanyaan radikal di benak saya.  Untuk mencapai swasembada,  mungkinkah kita menggalakkan pertanian kedelai model Grobogan secara nasional?  Pertanyaan ini mengarah pada  gagasan  revolusi kedelai.
Pelajaran Padi dan Jagung
Jauh mendahului kedelai, pertanian padi dan jagung Indonesia sudah mengalami  revolusi.  Revolusi padi, terkenal sebagai  Revolusi Hijau, digalakkan  tahun 1970-an dan menghantar Indonesia pada swasembada beras tahun 1984. 
Inti revolusi padi  adalah perubahan radikal pola usahatani secara  massal/nasional  yaitu penerapan teknologi benih unggul (produksi tinggi),  yang didukung dengan irigasi teknis, pupuk, dan pestisida.  Perubahan tersebut  diorganisasikan  sebagai suatu gerakan  nasional.
Di tingkat desa organisasi revolusi  melibatkan ujung tombak Kelompok Tani (petani pelaku), Koperasi Unit Desa (penyedia saprotan), dan Penyuluh Pertanian Lapangan (pembimbing teknologi).  Ketiga lembaga tersebut digerakkan birokrasi pemerintah mulai dari tingkat desa sampai pusat (Presiden) yang dikenal sebagai organisasi Bimbingan Massal (Bimas). 
Hasilnya, tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada beras pada angka produksi 25.8 juta ton (144 kg/kapita).  Angka ini  dua kali lipat lebih jika dibanding angka produksi tahun 1969 (12.2 juta ton).  Indonesia membalik status dari negara pengimpor menjadi pengekspor beras.
Berbeda dari revolusi padi,  revolusi jagung adalah  “revolusi bisu” (silent revolution). Mobilisasi sumberdaya dan gaungnya  tidak  sedahsyat revolusi padi. Penggerak utamanya adalah perusahaan swasta yang memasarkan inovasi benih unggul jagung hibrida secara luas.
Namun jika diukur dari  angka produktivitas tahun 1970-2013, revolusi jagung lebih dahsyat dibanding revolusi padi.    Produktivitas jagung mengalami lompatan empat kali lipat (399%) dari 0.96 ton/ha (1970) menjadi 4.8 ton/ha (2013). Sedangkan produktivitas padi hanya melompat 115% dari 2.37 ton/ha menjadi 5.1 ton/ha. 
Kunci revolusi jagung  adalah  penerapan secara luas benih unggul jagung hibrida oleh petani, didukung pupuk dan pestisida,  sejak 1980-an.  Produktivitas riil jagung hibrida mencapai rata-rata 6.5 ton pipil kering/ha, jauh di atas rata-rata  produktivitas jagung komposit  ( 2.5 ton pk/ha). Luas tanam jagung hibrida di Indonesia kini  mencapai  55% dari luas tanam nasional.
Jadi, kunci keberhasilan  revolusi padi dan  jagung adalah penerapan secara luas  dan terorganisir inovasi benih unggul, yang didukung dengan aplikasi pengairan, pupuk dan pestisida secara tepat waktu dan jumlah.   Revolusi padi digerakkan oleh  organisasi pemerintah, sedangkan revolusi jagung oleh perusahaan swasta.
Giliran Kedelai
Tanpa  sentuhan revolusi, usahatani  kedelai di Indonesia menjadi periferal.   Produktivitas kedelai memang meningkat  sebesar 95% dari 0.7 ton/ha (1970) menjadi 1.4 ton/ha (2013).   Tetapi luas panen merosot dari 694,732 ha menjadi 571,564 ha, pertanda minat petani  semakin rendah.    Alasannya rugi karena  produktivitas rendah, biaya usahatani tinggi, dan  harga jual kalah dari kedelai impor.  
Tapi mana yang benar, impor kedelai tinggi karena produksi domestik rendah, atau sebaliknya produksi domestik merosot karena  kalah dari impor?   Jawabannya pragmatis, impor menjadi benar karena murah dan bermutu.  
Jadi daripada sibuk berpolemik, lebih baik memikirkan bagaimana  memproduksi kedelai bermutu secara massal dan murah.  Di sinilah letak relevansi gagasan revolusi kedelai.  
Revolusi kedelai, jika digalakkan dan momentumnya memang sekarang,  bukanlah keniscayaan. Unsur-unsur pendukungnya sudah tersedia, tinggal bagaimana mengorganisirnya.
Pertama, unsur benih unggul sudah tersedia, hasil riset panjang dan mendalam dari berbagai lembaga riset.  Deptan telah melepas 8 varietas unggul  kedelai dengan produktivitas di atas 3.0 ton/ha, tiga teratas berturut-turut  Kipas Merah Bireun (3.5 ton), Detam 1 (3.45 ton), dan Grobogan (4.4 ton), ditambah 11 varietas dengan produktivitas  2.0-3.0 ton/ha.  Rilis terbaru (2013) adalah kedelai varietas super genjah (67 hari) Gamasugen  dengan produktivitas 2.5 ton/ha yang dihasilkan Batan melalui teknik radiasi. 
Kedua, unsur pupuk sudah ditemukan Tjandramukti/Widjaya dari Grobogan, yaitu pupuk “pemanen fotosintensis”  berbasis kotoran sapi.   Misalkan aplikasi teknologi ini secara massal (nasional) menghasilkan  rata-rata   3.0 ton/ha.  Berarti untuk mencapai swasembada kedelai (10.2 kg/kapita)  tahun 2014 serta surplus (500.000 ton) cukup disediakan lahan  1.0 juta ha.
Ketiga, unsur lahan yang sesuai untuk kedelai sudah diidentifikasi  Deptan.  Luasnya 1.0 juta ha, mayoritas persawahan, sehingga perlu pengaturan pergiliran tanaman.
Keempat, khusus unsur penggerak revolusi, harus menunjuk pada Kementerian BUMN.  Bukan karena Pak Dahlan begitu bersemangat dengan kedelai,  tetapi karena kementerian ini memiliki semua kekuatan  modal, teknologi, dan organisasi yang dibutuhkan untuk menggerakkan revolusi kedelai.  Unsur inilah yang alpa selama ini.
Kekuatan BUMN itu sudah dimanifestasikan dalam konsorsium Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) sejak 2011.  Tinggal kemauan politik untuk menugaskan konsorsium GP3K  (PT PIHC, PT Sang Hyang Seri, PT Pertani, PT Bulog, PT Inhutani) sebagai penggerak revolusi kedelai.  PT Perkebunan Nusantara bisa pula ditambahkan sebagai peternak sapi untuk produksi pupuk. 
Untuk pembagian kerja, PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani  dapat memproduksi benih unggul, dengan memilih varietas-varietas yang telah dirilis Deptan.
Pupuk pemanen fotosintesis, bekerjasama dengan  Tjandramukti/Widjaya dapat diproduksi PT PIHC (grup pupuk).  Kotoran sapi untuk bahan baku dapat dihasilkan  PTPN dari  peternakan sapinya.  Berdasar rumus penemunya, untuk 1.0 juta ha kedelai, diperlukan 50.000 ekor sapi sebagai sumber bahan baku pupuk. 
Areal kedelai 1.0 juta ha dapat dicapai melalui koordinasi dengan Deptan.  Sebagian dapat disediakan oleh PT Inhutani dan PTPN.  Dengan hitung-hitungan usahatani kedelai model Tjandramukti/Widjaya, petani akan berebut menjadi pasukan revolusi.
Kedaulatan kedelai adalah harga mati.  Manufacturing hope has to  become true.  Setelah Deptan menjadi penggerak revolusi padi, swasta menjadi penggerak utama revolusi jagung, kini saatnya BUMN menuliskan sejarahnya sebagai penggerak revolusi kedelai. (*)
Dimuat dalamlembar Opini Harian Jawa Pos, 25 Maret 2014, hlm 4


[1] Dr. MT Felix Sitorus adalah praktisi agribisnis dan peneliti sosionomi pertanian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar