Minggu, 20 April 2014

Solusi Pangan Dahlan Iskan (Dahlan Iskan's Food Solution)


Oleh: MT Felix Sitorus[1]
Simpulan Budi Dharmawan dalam “Manufacturing Hope” (MH)  122 Dahlan Iskan (JP 7/4/2014) sungguh pesimistik dan tendensius.  Katanya, petani padi tidak akan bisa kaya karena harganya pasti ditekan pemerintah.   
Memang benar mayoritas petani gurem (di bawah 0.25 ha) di Jawa  serba miskin. Tapi gegabah jika penetapan harga gabah/beras dari pemerintah dituduh sebagai penyebabnya. 
Kemiskinan petani padi bersifat struktural dan kompleks. Karena itu perlu solusi struktural pula.  Alih-alih memberi solusi, Pak Budi malahan lebih memilih  buah tropis di atas gunung untuk dibina.
 Berbeda dari Pak Budi,  jauh hari Pak Dahlan sebenarnya sudah menyampaikan solusi “ modernisasi paripurna” untuk membesarkan pertanian pangan khususnya padi (MH 15, JP 27/2/2012).  Dengan solusi itu Pak Dahlan membayangkan pertanian padi sepenuhnya berbasis mekanisasi.
Tapi, apa sejatinya arti modernisasi paripurna itu? Dan bagaimana ia dapat dijalankan sebagai solusi untuk membesarkan pertanian dan petani pangan? 

Modernisasi Paripurna 
            Saat mengoperasikan combine harvester di persawahan Patalan,  Bantul dua tahun lalu (25/2/2012), yang dibayangkan Pak Dahlan tentang modernisasi paripurna agaknya sebatas mekanisasi penuh, mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan hasil panen.
            Modernisasi paripurna tidaklah sebatas itu.  Lebih dari sekadar  urusan alat/mesin pertanian (alsintan), ia mencakup juga teknologi budidaya dan manajemen usahatani.
            Dalam  pertanian padi unsur dasar teknologi budidaya adalah benih unggul.  Lalu ada  pupuk dan pestisida untuk mendukung potensi benih itu.   
            Pengetahuan dan keterampilan manajemen bisnis kemudian meracik dan  menerapkan unsur-unsur teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi proses produksi.  Targetnya biaya  rendah tapi  produktivitas tinggi, misalnya GKP 8.0 ton/ha,  sehingga laba tinggi.
            Bandingkan dengan kinerja petani gurem yang dibicarakan Pak Budi. Produktivitas sawahnya maksimal 5.0 ton/ha, atau 1.25 ton/0.25 ha, atau senilai Rp 5,625,000 pada harga gabah Rp 4,500/kg.  Setelah dipotong biaya produksi yang  tersisa tinggal “angka kemiskinan”.
            Konsep modernisasi  paripurna sebenarnya sudah disuluhkan sejak masa Revolusi Hijau tahun 1970-an.  Tapi mengapa mayoritas petani padi kita masih tetap dililit keterbelakangan dan kemiskinan?
            Jawabannya karena kekuatan modal dari  atas-desa telah memerangkap petani pada posisi tawar lemah.  Dalam proses modernisasi paripurna itu mereka cuma  jadi konsumen benih/saprotan/alsintan mahal  sekaligus produsen gabah murah.  Porsi terbesar nilai tambah hasil pertanian padi justru dinikmati pemilik modal.
            Departemen Pertanian tidak bisa dipersalahkan atas masalah ini.  Tugas utamanya adalah meningkatkan produksi padi nasional, bukan mengontrol modal yang membonceng modernisasi pertanian.
            Tapi ada pihak yang layak digugat yaitu Kementerian BUMN.   Pertanyaan gugatan:  mengapa kekuatan modal BUMN klaster pangan tidak dipakai untuk mengendalikan modernisasi paripurna pertanian sehingga kedaulatan pangan dan petani tercapai sekaligus?

Solusi PIHC
Gugatan di atas menuntuta pembalikan orientasi modal BUMN dalam modernisasi pertanian.   Bukan lagi berorientasi laba semata  yang justru melemahkan petani tetapi memfasilitasi modernisasi yang saling menguntungkan dengan petani.
Dahlan Iskan sebenarnya sudah menjawab gugatan ini.  Ia memajukan solusi pembentukan holding BUMN Pangan tahun 2012.   Idenya adalah menggabung PT Pertani (pengelola gabah), PT Bulog (pengelola beras), PT Sang Hyang Seri (produksi benih), PT Pupuk Indonesia (pengadaan pupuk), dan PT Berdikari (peternakan) di bawah holding PT Pangan Nusantara.  Target waktu realisasinya  akhir 2014 (Koran Tempo, 29/8/2012).
Untuk alasan nasionalisme, solusi holding BUMN Pangan itu saya sebut di sini “Pangan Indonesia Holding Company” (PIHC).
Intinya, dengan PIHC,  Pak Dahlan menginginkan terbentuknya BUMN Pangan raksasa di Indonesia, sebagai pilar penyangga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Ia menilai, karena terpisah-pisah, BUMN Pangan kita rapuh dan lemah (Republika, 29/8/2013).
Mungkinkah solusi PIHC mengusung modernisasi paripurna yang mengukuhkan kedaulatan pangan sekaligus menguatkan petani?  Jawabannya, lihat kinerja program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN sejak 2011. 
Program GP3K dijalankan oleh Konsorsium BUMN yang beranggotakan PT Pertani, PT  Sang Hyang Seri, PT Pupuk Indonesia, PT Bulog, dan PT Perhutani.  Karena itu konsorsium ini dapat  disebut prototipe PIHC.
Program GP3K-BUMN memfasilitasi modernisasi pertanian pangan dengan pinjaman modal dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya tenaga kerja dengan skema bayar-panen (yarnen), disertai bimbingan manajemen dan budidaya untuk menjamin keberhasilan.
Dampak GP3K tahun 2011,  merujuk hasil studi evaluasi Biro Perencanaan Deptan (2012), dapat  meningkatkan produktivitas pada ladang 0.5 ton/ha (12%) dan padi sawah 2.0 ton/ha (33%).  Ini jelas gejala modernisasi dan penguatan pertanian dan ekonomi petani padi.
Sukses GP3K 2011 itu mendorong Kementerian BUMN meningkatkan target luas areal tahun 2012 dan 2013.   Untuk tahun 2013,  MH 43 (JP 19/9/2012) Pak Dahlan menyampaikan target areal 3.2 juta ha. Diprediksi kenaikan produksi 1.5 ton/ha, naik dari 5.5 ke 7.0 ton/ha, sehingga diperoleh kenaikan produksi beras nasional 1.5 juta ton. 
Dengan segala kelemahannya, antara lain masih kuatnya ego masing-masing BUMN dan hubungan BUMN-Petani yang cenderung berpola patron-klien, tapi semua itu bisa diperbaiki, program GP3K  bolehlah dipegang sebagai konsep awal Strategi Induk Bisnis Pangan (Food Business Grand Strategy) PIHC.
Kini ada indikasi bahwa harapan (hope) terbentuknya PIHC sebagai solusi pangan dari Pak Dahlan, selaku Menteri BUMN, akan menjadi kenyataan walaupun  strukturnya tidak seperti dipikirkan semula.   Sejak September 2013 PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani  secara teknis operasional sudah menjadi “anak perusahaan” PT Pupuk Indonesia.  Dari lima BUMN yang semula direncanakan sebagai anggota grup PIHC, tinggal PT Bulog dan PT Berdikari yang masih tetap berdiri sendiri. 
Tapi sekurangnya unsur-unsur pokok  bisnis pangan yaitu  benih, pupuk, dan gabah sekarang sudah berada di bawah pengelolaan PT Pupuk Indonesia.  Misalkan  fakta ini dapat dibaca sebagai tahap pertama pembentukan PIHC.  Maka tinggal menunggu langkah transformasi PT Pupuk Indonesia Holding Company (kependekannya PIHC juga) menjadi  Pangan Indonesia Holding Company (PIHC juga).
Transformasi Pupuk Indonesia  menjadi Pangan Indonesia, pada tataran operasional adalah pekerjaan rumah Direksi PT Pupuk Indonesia.  Pada tataran kebijakan, ia adalah utang Pak Dahlan selaku Menteri BUMN, yang harus dilunasi sebelum pemerintahan KIB II berakhir. (*)

Dimuat dalam Harian Jawa Pos 15 April 2014


[1] Praktisi agribisnis, peneliti sosionomi pertanian. E-mail: mtfelixstr@yahoo.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar