Selasa, 27 Mei 2014

Revitalisasi Industri Benih Pangan Jangan Ditunda (Revitalisation of Food Seed Industry Shouldn't Be Postphoned)


Oleh: MT Felix Sitorus
Kabar gembira berhembus dari Kementerian BUMN.  Per 1 April 2014 PT Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC), melalui anaknya PT Pupuk Kaltim, resmi  membeli dan mengambil-alih kepemilikan PT Kaltim Pasifik Alkalinitas, pabrik amoniak terbesar di Indonesia milik Mitsui dan Tomen Jepang.   Dengan pengambil-alihan ini maka pasokan amoniak, bahan baku pupuk NPK dan ZA, ke pabrik-pabrik pupuk PIHC akan terjamin.    
Dengan pembelian pabrik itu maka PT Pupuk Kaltim akan semakin kuat.  Perusahaan ini direncanakan akan membangun pabrik pupuk NPK.   Anak-anak perusahaan PIHC lainnya yaitu PT Pupuk Sriwijaya, PT Pupuk Kujang, dan PT Petrokimia Gresik, juga sudah siap-siap ekspansi pabrik.  Karena itu, Menteri BUMN Dahlan Iskan meramalkan, dalam beberapa  tahun ke depan PIHC akan melompat dari peringkat 8 ke peringkat 2  perusahaan pupuk terbesar  di dunia. . 
Tapi di balik kabar gembira itu, ada kabar sedih yaitu memburuknya kondisi PT Sang Hyang Seri (SHS), “anak perusahaan” PIHC (de facto per September 2013) yang bergerak di bidang perbenihan.  Dalam dua tahun terakhir, industri benih nasional satu-satunya ini terus didera masalah beban hutang besar serta kelangkaan modal kerja dan investasi, sehingga kinerja operasional dan keuangannya merosot berkepanjangan.
Padahal, menurut Dahlan Iskan,  penggabungan SHS ke PIHC merupakan bagian dari langkah realisasi BUMN Pangan raksasa,  sebagai salah satu pilar kedaulatan/ketahanan pangan nasional.   Tapi, dengan adanya ketimpangan kinerja antara  industri pupuk dan industri benih,  mustahil sasaran  penggabungan itu tercapai.
Bagaimanapun, dari sudut  kepentingan  kedaulatan pangan nasional, tidak banyak gunanya kita punya industri pupuk yang hebat, kalau industri benihnya lemah.   Mengapa demikian, dan langkah-langkah bisnis  apa yang sebaiknya ditempuh untuk mengatasinya?
Benih di Garis Depan
            Secara teori benih adalah faktor penentu utama  produktivitas usahatani.  Sedangkan  pupuk , juga  irigasi dan  pestisida,  adalah faktor penunjang. Jadi sehebat apapun pupuknya, kalau benihnya jelek, hasil produksi juga akan rendah dan jelek.  
            Karena itu, dalam program peningkatan produksi pangan di manapun,  benih selalu ditempatkan  di garis depan.   Revolusi Hijau Indonesia tahun 1970-1980-an tidak akan membuahkan swasembada beras (1984) tanpa kehadiran inovasi benih padi varietas unggul  produksi tinggi. 
Swasembada beras  untuk kedua kalinya tahun 2008 juga tercapai terutama berkat benih unggul.  Riset World Bank  memang menemukan  bahwa benih varietas unggul bersertifikat  menjadi  penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap produksi padi nasional.  Sedangkan kontribusi  irigasi (5%) dan pupuk (4%) jauh di bawah. 
Jadi signifikansi  kehebatan industri pupuk dengan pencapaian kedaulatan/ ketahanan pangan sebenarnya sangat kecil.
            Bahkan,  tanpa kehadiran industri benih yang kuat,  industri pupuk  beresiko  menghasilkan pemborosan.  Berdasar riset,  benih unggul bersertifikat  paling responsif terhadap pemupukan.  Saat ini, penggunaan pupuk sudah mencakup 90% areal pertanian padi, sedangkan  penggunaan benih varietas unggul bersertifikat baru mencapai  60%.  Berarti 30% areal menggunakan benih non-sertifikat yang kurang responsif,  sehingga  memboroskan pupuk.
Perusahaan SHS sebenarnya produsen benih padi unggul  bersertifikat terbesar untuk pertanian Indonesia.   Karena itu, jika perusahaan ini tidak segera dibenahi,  pasokan benih padi unggul bersertifikat akan merosot.  Akibatnya produksi pangan nasional  akan  menurun.   Padahal  permintaan terus meningkat seiring pertumbuhan penduduk.   Resiko terburuk, dalam  beberapa  tahun ke depan, ketahanan pangan nasional  akan melemah.  Kalau sudah begitu, apa gunanya  kita  punya industri pupuk yang hebat.
Keharusan Revitalisasi
            Tiongkok sudah membuktikan, bahwa untuk mencapai kedaulatan/ketahanan pangan, suatu negara harus memiliki industri benih yang kuat.  Melalui pengembangan benih padi unggul hibrida, negara ini berhasil memberi makan  1.35 milyar penduduknya.
 Negara kita harus memberi makan penduduk 251 juta jiwa tahun ini atau  273 juta tahun 2025.  Kebutuhan pangan harus disediakan terutama secara domestik, karena impor pangan akan semakin sulit dan mahal.  Upaya penyediaan  itu akan terkendala pula oleh keterbatasan lahan, kelangkaan air irigasi, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan sebagai bahan baku pupuk (gas, fosfor), dan anomali iklim global. 
Kendala-kendala tersebut jelas  menuntun  pilihan cara peningkatan produksi pangan kepada  inovasi benih.    Pertama, peningkatan luas panen melalui inovasi varietas benih unggul berumur pendek yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman.  Kedua, peningkatan hasil panen per hektare melalui inovasi venih varietas produksi tinggi.  Ketiga, perluasan  pertanian lahan kering melalui inovasi benih unggul toleran kekeringan.  Jelas di sini bahwa solusi utama  bukanlah  industri pupuk yang hebat,  melainkan industri benih yang hebat.   
Untuk Indonesia, jika ingin mencapai kedaulatan/ ketahanan pangan lestari, maka pilihannya adalah revitalisasi industri benih nasional, dalam hal ini SHS. Ada dua  alternatif revitalisasi yang dapat dipertimbangkan yaitu, pertama, rekapitalisasi SHS dengan syarat  beban hutang ke bank (BUMN) dialihkan menjadi penyertaan modal kreditur.  Alternatif ini diajukan karena dengan beban hutang besar dan modal langka, hampir tidak mungkin SHS bisa bangkit kembali.
 Alternatif kedua, lebih ekstrim, likuidasi SHS dan selanjutnya mendirikan perusahaan baru untuk mengemban misi perbenihan nasional, sedangkan beban hutangnya dialihkan kepada pemerintah.   Alternatif ini akan melahirkan satu industri benih nasional yang sehat, tanpa beban hutang, sehingga bisa cepat mengejar ketertinggalannya dari industri pupuk nasional.
Konsekuensi hukum, bisnis, sosial, dan politik kedua alternatif itu memang harus dikaji lebih dalam.  Tapi revitalisasi industri benih pangan nasional jangan ditunda, mengingat fungsi strategisnya mewujudkan kedaulatan/ketahanan pangan.   Lagi pula, PIHC mustahil bisa menjadi BUMN Pangan raksasa, kalau  lini industri benihnya tetap terbelakang. (*)

Dimuat dalam harian Bisnis Indonesia, 23 Mei 2014 (h. 2)

Minggu, 18 Mei 2014

Ujian Kedaulatan Pangan Jokowi (Food Sovereignty Examination for Jokowi)

Oleh:  MT Felix Sitorus

Kedaulatan pangan, janji kampanye PDIP, otomatis melekat pada Jokowi, calon presiden dari partai itu.
Saat blusukan ke persawahan di Desa Tanjungrasa, Bogor (Minggu, 27/4/2014), Jokowi sudah menyampaikan konsepnya terkait kedaulatan pangan.
Konsep Jokowi  perlu diuji konsistensinya dengan konsep kedaulatan pangan versi organisasi petani sedunia Via Campesina. 
Tujuannya untuk melihat apakah Jokowi sudah berada di jalur yang benar.  Sebab kalau keliru, maka mayoritas petani  konstituen PDIP akan menggugatnya.  Anggap ini  sebagai ujian teori kedaulatan pangan untuk Jokowi.

Lima Kebijakan
Menurut Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan nasional harus ditempuh lima kebijakan pokok pembangunan pertanian pangan. Pertama, pengamanan lahan baku pertanian.  Tidak ada lagi konversi lahan pertanian produktif  untuk keperluan non-pertanian.  
Kedua,  pemandirian petani pangan.   Pendampingan petani diarahkan pada pencapaian kemandirian dalam usahatani, dengan menggunakan benih serta pupuk dan pestisida organik/hayati yang dihasilkan sendiri.   Dengan kata lain anti-impor, anti-paten, dan anti-agroindustri hulu (benih dan saprotan).
Ketiga, pembenahan irigasi pertanian.   Meliputi pembangunan bendungan baru, pembenahan saluran-saluran irigasi, dan pengendalian pencemaran industri untuk menjamin mutu air irigasi.
Keempat, perbaikan tataniaga pertanian.  Rantai tataniaga terlalu panjang, sehingga nilai tambah hasil pertanian pangan sebagian besar justru dinikmati pengusaha pasca-panen, khususnya pedagang dan pengusaha agroindustri. 
Kelima, peningkatan akses permodalan.  Kendala umum berupa keterbatasan modal usahatani  akan diatasi dengan mendirikan bank pertanian.
Lima kebijakan tersebut secara gamblang menunjuk pada suatu kebijakan pangan yang pro-petani.   Apakah ini berarti konsep Jokowi sudah konsisten dengan konsep  kedaulatan pangan sejati?

 

 

Enam Pilar  

Mari kita uji konsistensi lima kebijakan Jokowi dengan enam pilar kedaulatan pangan hasil perumusan Via Campesina pada International Forum for Food Sovereignty di  Nyéléni, Mali tahun  2007.

Pilar-pilar yang dimaksud adalah, pertama, pangan untuk rakyat.  Kebijakan pangan nasional harus menempatkan kebutuhan pangan rakyat  sebagai intinya dan menolak  setiap upaya komoditisasi pangan.

Kedua, basis pengetahuan/keahlian lokal.  Mengembangkan pengetahuan dan keahlian tradisional sebagai basis produksi pangan. Teknologi dari luar, yang bersifat merusak sistem pangan lokal,  harus ditolak.

Ketiga, berkerja selaras alam.  Cara produksi pangan menerapkan  pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. 

Keempat, penghargaan pada petani  pangan.  Kegiatan budidaya atau produksi pangan harus menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi pelakunya. 

Kelima, lokalisasi sistem pangan.   Jarak antara produsen dan konsumen harus diperpendek melalui penataan sistem tataniaga.   Prinsip ini menolak ketergantungan pada korporasi pangan asing, dumping pangan, dan bantuan pangan yang tidak layak.

Keenam, kontrol lokal atas pangan.   Pangan harus sepenuhnya dikontrol oleh produsen pangan lokal.   Karena itu privatisasi pangan harus ditolak.

Kebijakan pengamanan lahan baku pertanian, pembenahan irigasi, dan peningkatan akses permodalan yang diajukan Jokowi  cukup konsisten dengan pilar penghargaan pada petani.  Arahnya untuk menjamin ketersediaan modal alami (tanah/air) dan  modal finansil yang memadai bagi petani, sehingga pertanian pangan menjadi  mata pencaharian yang layak.

Kebijakan pemandirian petani konsisten dengan pilar-pilar basis pengetahuan lokal,  selaras alam, dan kontrol lokal atas pangan.   Arahnya perubahan cara produksi pangan dari pola industrial (estate) yang eksploitatif ke pola agro-ekologis yang ramah lingkungan. Juga perubahan sistem penguasaan sumberdaya pertanian dari rejim hak milik privat ke  rejim hak milik komunal.

Sedangkan kebijakan  perbaikan  tataniaga pertanian untuk sebagian konsisten dengan pilar  pangan untuk rakyat dan lokalisasi sistem pangan.  Kebijakan ini mengarah pada perubahan tataniaga pertanian dari rejim liberalisme ala WTO ke rejim proteksionis (anti-impor) yang melindungi petani (produsen) dan konsumen pangan.  Tujuannya antara lain mencegah komoditisasi dan penggunaan pangan sebagai instrumen politik dan kekuasaan.

Kesimpulannya, konsep kedaulatan pangan Jokowi menunjukkan konsistensi dengan konsep Via Campesina.  Artinya,  Jokowi lulus dalam ujian teori  kedaulatan pangan, walaupun tidak dengan judisium cum laude.

 

 

Satu Skeptisme
Tapi janji kedaulatan pangan Jokowi, sebagai sebuah janji politik,  harus disikapi secara skeptis.   Soalnya pada tahap implementasi, janji itu akan dihadapkan pada sejumlah resistensi, yang menyebabkannya gugur di tengah jalan.
Menjanjikan kedaulatan pangan berarti menjanjikan perubahan  kebijakan pangan secara radikal dari rejim “ketahanan” (food security) ke rejim “kedaulatan”  (food sovereignty).  Per definisi ini berarti  perubahan ideologis dari paham liberal ke proteksionis. 
Intinya rejim kedaulatan pangan akan mengandalkan basis gerakan pangan akar-rumput (komunitas petani), menegakkan sistem pangan yang demokratis, dan perlindungan terhadap sistem pangan lokal.
Upaya menegakkan rejim kedaulatan pangan akan mendapat perlawanan keras dari pendukung  paham ketahanan pangan yang liberal-global, khususnya dari negara-negara anggota WTO, FAO, serta korporasi agroindustri pangan multi-nasional dan nasional termasuk BUMN Pangan.
Dengan kata lain, konflik klasik ”pemodal vs petani” akan terjadi.  Apakah kedaulatan pangan akan tercapai atau tidak, tergantung pada bagaimana resolusi konflik itu.  Tentang hal  yang genting ini, Jokowi jelas belum mengajukan konsepnya.
Tapi, untuk resolusi konflik itu, satu hal harus menjadi kesepakatan bersama yaitu “kedaulatan adalah harga mati”.  Simaklah petikan pidato  Presiden Sukarno di Faperta UI Bogor tahun 1952: “Jadikanlah bangsamu ini bangsa yang kuat, bangsa yang merdeka dalam arti merdeka yang sebenar-benarnya! Buat apa kita bicara tentang “politik bebas” kalau kita tidak bebas dalam urusan beras, yaitu selalu harus minta tolong beli beras dari bangsa-bangsa tetangga?”
Enam puluh dua tahun setelah pidato itu, mungkinkah akan terpilih seorang Presiden Indonesia Modern yang bisa mewujudkannya? 

Artikel diterbitkan di Kompasiana.com


Rabu, 23 April 2014

Menegakkan Kedaulatan Pangan Nasional (Estabilishing the National Food Sovereignty)

Oleh: MT Felix Sitorus

Masalah pangan Indonesia adalah bagian masalah pangan global menuju 2025, yaitu upaya pelipat-gandaan produksi pangan untuk mencukupi peningkatan permintaan akibat pertumbuhan penduduk.  Upaya tersebut akan dihadapkan pada kendala-kendala kelangkaan air, keterbatasan lahan, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan, dan perubahan iklim dalam skala global.

Terdapat dua pilihan cara bagi pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi permintaan pangan 2025.  Pertama, mengundang swasta untuk berinvestasi dalam pengembangan estat pangan, dengan resiko terjadinya kolonialisme pangan dan hilangnya kedaulatan pangan nasional.  Kedua, membentuk suatu BUMN Pangan sebagai pengelola estat pangan secara kolaboratif dengan BUMP, sehingga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional tetap tegak.

Tulisan ini merekomendasikan pilihan cara kedua yaitu membentuk BUMN Pangan.  Namun sebelumnya terlebih dahulu akan dijelaskan tentang masalah pangan global, skenario solusi pangan global, dan bahaya kolonialisme pangan menuju 2025.

1.  Masalah Pangan Global

Sebagai konsekuensi pertambahan penduduk menjadi 8.5 milyar , pada tahun 2025 permintaan pangan dunia khususnya serealia akan lipat-ganda dari sekarang. Diperkirakan permintaan pangan tersebut hanya mungkin dipenuhi apabila peningkatan produksi pangan mencapai sedikitnya 2 persen per tahun.[1]

Tetapi upaya peningkatan produksi tersebut kini harus berhadapan dengan empat kendala yang bersifat global.  Pertama, masalah kelangkaan air yang akan membatasi pasokan air untuk irigasi.  Kedua, masalah keterbatasan lahan pertanian pangan akibat konversi ke peruntukan non-pertanian dan pertanian untuk produksi bahan bakar biologis.  Ketiga, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan yaitu bahan baku pupuk kimia dan bahan bakar fosil yang memicu produksi bahan bakar berbasis tanaman pangan.  Keempat, perubahan iklim global yang berdampak degradatif terhadap pertanian pangan.[2]

Resiko moderat yang mungkin terjadi, sebagai akibat dari empat kendala tersebut, adalah stagnasi peningkatan produksi.  Jika hal itu terjadi, yang  berarti produksi lebih kecil dari permintaan, maka dunia akan mengalami “krisis pangan”.  Isyarat dini sudah terbaca yaitu fakta bahwa pada ahun 2009 terdapat satu milyar penduduk dunia yang menderita kelaparan.[3]
Karena itu, sebagaimana dicanangkan para pemimpin dunia pada World Summit on Food Security (WSFS)  2009 di Roma,  dunia kini bergerak membangun ketahanan pangan melalui peningkatan investasi  pertanian dan ketahanan pangan dan pengembangan tata-kelola ketahanan pangan  yang koheren dan efektif. [4]


2.     Skenario Solusi Pangan Global

Peningkatan permintaan pangan 2025 diantisipasi dari dua sisi yaitu produksi dan konsumsi.  Dari sisi produksi diupayakan peningkatan produksi terus-menerus melalui peningkatan teknologi dan manajemen.  Dari sisi konsumsi diupayakan pengurangan laju pertumbuhan konsumsi pangan, khususnya serealia,  melalui pengendalian pertumbuhan penduduk dan diversifikasi pangan.
Prioritas dunia sekarang adalah pada peningkatan produksi dan produktivitas pangan.  Dirjen FAO Jacques Diouf  dalam WSFS 2009  telah menegaskan  bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan 9.1 milyar penduduk dunia tahun 2050, diperlukan peningkatan produksi pangan minimal 70 persen. Untuk itu, sebagaimana konferensi tersebut menekankan perlunya peningkatan investasi pertanian, khususnya di negara-negara berkembang.[5]
Prediksi permintaan pangan dunia 2025, atau lebih jauh lagi 2050, jelas memberi indikasi  bahwa pangan merupakan komoditi strategis,  baik secara politis maupun ekonomis.  Kelak, pangan adalah kekuasaan. Inisiatif dan langkah agresif pemerintah dan perusahaan transnasional negara-negara maju untuk menanam investasi besar-besaran di sektor agribisnis pangan harus dipahami dalam konteks meraih kekuasaan berbasis pangan. 
Konsisten dengan rekomendasi WSFS 2009, sasaran peningkatan investasi pertanian atau agribisnis tersebut adalah peningkatan produksi  pangan melalui tiga pendekatan.  Pertama, peningkatan luas panen atas luas baku melalui  inovasi varietas benih unggul dan teknologi budidaya yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman. Kedua, peningkatan hasil per hektar lahan panenan melalui inovasi intensifikasi produksi.  Ketiga, peningkatan hamparan lahan pertanian baru yang menyumbang pada total produksi pangan global.
Mengingat adanya empat kendala besar tersebut di atas, maka skenario  pemenuhan permintaan pangan dunia menuju 2025  difokuskan pada peningkatan luas panen dan hasil per hektar lahan panenan.  Kombinasi kedua pendekatan ini diterapkan serentak dalam dua pola yaitu pola usahatani pangan skala rumahtangga dan pola agribisnis pangan skala besar berupa estat pangan (food estate).  Kedua pola tersebut diterapkan dalam kerangka intensifikasi  pertanian.  Jika ekstensifikasi dilakukan juga, maka harus dipastikan pelaksanaannya merupakan perluasan areal intensifikasi.
Skenario solusi pangan 2025 tersebut jelas memerlukan dana investasi yang sangat besar.  Pertama, investasi besar dibutuhkan untuk  keperluan riset  pemuliaan benih, meliputi riset-riset bioteknologi dan teknologi gen,  guna menemukan varietas-varietas unggul baru tanaman pangan (inbrida, hibrida, transgenik) berproduksi tinggi yang toleran  terhadap aneka cekaman biotik dan abiotik.   Investasi besar juga diperlukan untuk riset teknologi produksi,  guna menemukan teknologi input khususnya  pupuk dan pestisida, alsintan, dan metoda yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan.  Inovasi-inovasi peningkat produksi/produktivitas ini menjadi prioritas dalam konteks empat kendala besar di atas. Suatu perkiraan menunjukkan bahwa setiap 0.1 persen kenaikan hasil dalam periode 2010-2025 akan mensubstitusi sekitar 25 juta ha lahan usahatani tadah hujan.[6]
Kedua, investasi besar juga diperlukan untuk  menerapkan inovasi-inovasi teknologi peningkatan luas panen dan hasil per hektar tersebut dalam skala besar yaitu estat pangan.  Pola ini memerlukan dana yang sangat besar untuk konsolidasi lahan (yang sudah ada), atau untuk pembukaan lahan (yang baru), dan untuk menjalankan manajemennya.
Menurut taksiran FAO, pada harga konstan 2009, rata-rata per tahun total investasi pertanian yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya menuju 2025-2050 adalah  US$ 209 milyar.  Selama ini (1997-2007) rata-rata total investasi tersebut hanya sekitar US$ 142 milyar per tahun .[7] 

Jika merujuk  pada perkiraan FAO, berarti negara-negara berkembang memerlukan  peningkatan investasi pertanian dan hilir primer sebesar rata-rata 32 persen sehingga angka US$ 209 milyar tercapai.  Sumber utama investasi tersebut menurut prediksi FAO selayaknya adalah sektor swasta. Sementara pemerintah yang dihadapkan pada keterbatasan anggaran diharapkan berinvestasi di bidang riset dan pengembangan, infrastruktur pedesaan, dan jaring pengaman sosial.[8]  Dengan skenario investasi pertanian seperti itu, jelas bahwa solusi pemenuhan pangan dunia akan memposisikan sektor swasta sebagai pengendali ketahanan pangan.

3.     Bahaya Kolonialisme Pangan

Undangan kepada swasta sebagai pelaku utama investasi di sektor pertanian primer dan hilir ibarat pedang bermata dua.  Satu mata dapat menebas kendala keterbatasan investasi di bidang pertanian dan pangan.   Kucuran dana investasi dari swasta dipastikan dapat mempercepat pengembangan pertanian dan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi permintaan pangan dunia tahun 2025.

Tapi mata lainnya dapat menebas kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
Jelasnya, jika suatu perusahaan swasta memiliki estat pangan sehingga mampu menguasai 10 persen  dari pasokan (produksi) pangan pokok di suatu negara, maka negara itu praktis telah kehilangan kedaulatan pangannya. Dengan penguasaan  sebesar itu, perusahaan swasta tersebut memiliki kemampuan untuk mengendalikan pasar pangan nasional untuk keuntungan  bisnisnya. 

Kondisi itulah yang disebut sebagai gejala kolonialisme pangan, yaitu ketika kedaulatan pangan suatu bangsa hilang karena sektor swasta menguasai produksi/pasokan pangannya dalam jumlah yang signifikan.

Terkait dengan empat kendala besar tersebut di atas, gejala kolonialisme pangan ini bukan lagi hipotesa tapi sudah realitas empiris. Organisasi GRAIN mencatat pada 2008 pemerintah dan swasta dari sejumlah negara kaya (a.l. Jepang, Cina, Korea Selatan, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat) telah melakukan investasi estat pangan di negara-negara berkembang di kawasan Asia-Afrika, untuk alasan-alasan kepentingan ketahanan pangan sendiri (food outsourcing)  dan penguasaan pasar pangan global. Langkah serupa juga dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta besar dari negara-negara Eropa dan Amerika. 

Indonesia termasuk salah satu negara yang diincar oleh investor estat pangan karena masih memiliki  potensi lahan subur yang luas.  Tambahan lagi, pemerintah sangat terbuka terhadap investor asing, antara lain dengan dimungkinkannya perusahaan asing memiliki modal maksimal 95 persen dalam budidaya padi[9], dan dimungkinkannya korporasi berinvestasi dan memiliki lahan pertanian pangan.[10]

Kasus mutakhir adalah rencana pengembangan estat pangan 1 juta ha di Merauke, yang baru saja (11/8/2010) diresmikan  mentan Suswono langsung di Merauke.[11] Sejak proyek ini digadang-gadang, sejumlah investor dari dalam dan luar negeri sudah menunjukkan minat.   Dari dalam negeri, disebutkan antara lain Medco Group,  Sinar Mas Group, Artha Graha Group (SAS), dan Bangun Tjipta Sarana.  Dari luar negeri, dilaporkan antara lain Binladen Group menunjukkan minat.

Tapi sudah bisa diduga, kelak dalam prakteknya, investor dalam negeri akan menggandeng investor luar negeri sebagai mitra.    Alasannya jelas, di satu sisi estat pangan adalah agribisnis padat teknologi mutakhir dan padat kapital.  Di sisi lain, kapasitas permodalan dan teknologi investor dalam negeri umumnya masih di bawah standar  kebutuhan minimum realisasi estat pangan.  Solusi untuk mengatasi kesenjangan tersebut adalah kerjasama dengan investor  multinasional.

Selain ancaman bagi kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, gejala kolonisasi pangan atau dominasi swasta dalam pertanian pangan juga akan memarjinalkan mayoritas petani kecil.  Dengan kekuatan permodalan, teknologi, manajemen, dan jejaring bisnisnya,  perusahaan swasta bukan saja akan menguasai pasar tetapi juga akan mendikte pasar produk pangan, misalnya dengan membanjiri pasar dengan beras murah, sehingga akan mematikan usahatani skala gurem. 

Marjinalisasi mayoritas petani kecil  sebagai dampak kolonialisme pangan  mengindikasikan dua masalah yaitu, pertama, hilangnya basis kedaulatan pangan nasional dan, kedua, peningkatan kemiskinan dalam masyarakat.

4.  Gagasan BUMN Pangan
Indonesia termasuk negara yang bermasalah dalam ketahanan pangan.   Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat pada tahun 2008 terdapat  25.1 juta jiwa (11.1%) penduduk Indonesia yang  berstatus “sangat rawan pangan”.[12]  Analisis data Susenas 2005 memberi gambaran bahwa mayoritas golongan “rentan pangan”/”rawan pangan” adalah rumahtangga pertanian miskin di pedesaan.[13]
Indonesia, seperti umumnya negara berkembang lainnya, juga dihadapkan pada keharusan peningkatan produksi pangan untuk menjamin ketahanan pangan.  Berpikir 15 tahun ke depan, menurut proyeksi BPS pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan  mencapai 273 juta jiwa.  Jika diasumsikan pangan adalah beras, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya pada tingkat swasembada (140 kg/kapita/tahun), tahun 2025 Indonesia harus mampu memproduksi minimal 38 juta ton beras atau sekitar 72 juta ton padi (rendemen 53%).  Jika sekarang (angka 2009) diasumsikan produksi beras nasional 33 juta ton, berarti dalam 15 tahun ke depan harus ada tambahan minimal 5 juta ton lagi. 
Pertanyaan krusialnya sekarang, pertama, bagaimana cara mencapai tambahan 5 juta ton beras tahun 2025?   Cara pertama adalah menyerahkan target tambahan 5 juta ton beras itu pada sektor swasta, melalui investasi estat pangan padi seluas 1 juta ha di Merauke.  Jika diasumsikan produksi per hektarnya 5 ton, maka dalam dua kali tanam estat pangan itu akan menghasilkan 10 juta ton gabah atau sekitar  5.3 juta ton beras.  Tapi, jika ini yang menjadi pilihan, maka gejala kolonialisme pangan akan terjadi, dan Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangannya.  Bukannya keamanan  melainkan kerawanan pangan  yang akan dicapai.
Pilihan cara yang paling bijak  kiranya adalah pengembangan estat pangan nasional seluas 1 juta ha di bawah pengelolaan negara melalui suatu BUMN bidang pangan.  Luasan 1 juta ha tersebut tidak harus merupakan lahan bukaan baru seperti di Maerauke, tetapi dapat diambil dari luas baku sawah nasional 7.7 ha, sebagai bagian dari lahan sawah abadi.   Dengan demikian estat pangan 1 juta ha itu tidak perlu terkonsentrasi di suatu wilayah, tetapi tersebar di sentra-sentra pertanian padi sawah di berbagai pulau di Indonesia.  Yang terkonsentrasi adalah manajemennya yaitu pada suatu BUMN Pangan.
Jika kebijakan yang bersifat nasionalis ini ditempuh, maka komposisi pengelolaan lahan sawah nasional menjadi 6.7 juta ha dikelola petani sendiri dan 1 juta ha dikelola BUMN Pangan bersama petani yang dapat diorganisir dalam unit-unit BUMP (Badan Usaha Milik Petani).  Target yang dibebankan pada lahan padi sawah petani adalah luas panen 10 juta ha per tahun dengan rerata produktivitas 5.5 ton/ha.  Sedangkan target lahan estat pangan nasional adalah luas panen  2 juta ha per tahun dengan rerata produktivitas 8.5 ton/ha, sesuatu yang tak mustahil jika mengusahakan padi hibrida tropis.   Dengan demikian akan diperoleh total 72 juta ton padi atau 38 juta ton beras per tahun, di atas basis kedaulatan pangan nasional yang semakin solid, dengan petani dan BUMN Pangan sebagai pilar-pilar utamanya.
Pertanyaan krusial kedua, bagaimana cara merealisasikan BUMN Pangan.  Secara teknis ini tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah punya dua BUMN pertanian pangan yaitu PT Sang Hyang Seri (SHS) dan PT Pertani.    Bisnis inti SHS adalah produksi dan distribusi benih pertanian, tetapi belakangan juga mulai memasuki bidang produksi dan pemasaran sarana produksi pupuk dan pestisida. Bisnis inti Pertani adalah perdagangan (trading) sarana produksi pupuk dan obat-obatan, tetapi belakangan juga memasuki bidang produksi dan pemasaran benih padi dan beras.   Jika kedua BUMN ini diintegrasikan, entah melalui cara merger ataupun holding, maka hasilnya adalah sebuah BUMN Pangan yang kuat karena menguasai aset dan memiliki akses agribisnis pangan skala nasional mulai dari hulu (produksi benih dan saprotan), tengah (usahatani pangan primer), sampai ke hilir (pengolahan dan pemasaran produk pangan).
Realisasi BUMN Pangan tersebut, sebagai strategi penegakan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, tampaknya sangat tergantung pada jawaban atas pertanyan krusial ketiga, yaitu apakah pemerintah memiliki komitmen politik yang kuat untuk menegakkan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional menuju 2025? 




[1] Alexandratos, N. and H. de Haen, 1995 “World consumption of cereals: will it double by 2025”, Elsevier Science Ltd.; Kulshreshtha,S.N.,  1998, “A Global Outlook for Water Resources to the Year 2025”, Water Resources Management  (Volume 12, Number 3 / June, 1998); European Commission, 2004, “Plants for the future': A European vision for plant biotechnology towards 2025, European Commission; Directorate-General for Research of Eurepaan Communities, 2009, The World in 2025 Rising Asia and socio-ecological transition, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities;  Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research; McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research.

[2] Kulshreshtha,S.N.,  1998, “A Global Outlook for Water Resources to the Year 2025”, Water Resources Management  (Volume 12, Number 3 / June, 1998); “Two-thirds of world population could face water shortage by 2025: FAO”, ABC Online (23 Maret 2007); Rosegrant, Mark W., Ximing Cai and Sarah A. Cline, 1995, “World Water and Food to 2025: Dealing with Scarcity”,  IFPRI & IWMI; Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); European Commission, 2004, “Plants for the future': A European vision for plant biotechnology towards 2025, European Commission; Directorate-General for Research of Eurepaan Communities, 2009, The World in 2025 Rising Asia and socio-ecological transition, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities; Susanti, E., F. Ramadhani, E. Runtunuwu dan I. Amin, 2009, Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) serta Strategi Antisipasi dan Adaptasi, Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Balitbangtan RI; “Strategi dan Inovasi Teknologi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim Global”, Jakarta: Balitbangtan, 2009;  Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008, ”Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian serta Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi, Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2) hal. 138-140.
[3] “Opening Statement of FAO Director-General, Dr Jacques Diouf”, World Summit on Food Security Rome, 16 – 18 November 2009.
[4] “Declaration of The World Summit on Food Security”, World Summit on Food Security Rome, 16-18 November 2009.

[5] “Opening Statement of FAO Director-General, Dr Jacques Diouf”, World Summit on Food Security Rome, 16 – 18 November 2009;  “Declaration of The World Summit on Food Security”, World Summit on Food Security Rome, 16-18 November 2009.

[6] Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research. 
[7] Feeding the World, Eradicating Hunger, Background Paper WSFS, Rome, 16-18 November 2009
[8] Feeding the World, Eradicating Hunger, Background Paper WSFS, Rome, 16-18 November 2009

[9] Peraturan Presiden No. 77/2007 tentang Daftar Usaha Tertutup dan Terbuka.
[10] Undang-Undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
[11] Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, sebagai payung hukum berinvestasi di estat pangan.
[12] Achmad Suryana, “Kebijakan dan Strategi Mewujudkan Keterjaminan Hak Atas Pangan”, Makalah pada Workshop Ketahanan Pangan, KKP dan Meneg BUMN, Surabaya, 5 Desember 2009.
[13] H.P.Saliem dan E. Ariningsih, “Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran Rumahtangga di Perdesaan: Analisis Data Susenas 1999-2005”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 19 November 2008.

Tulisan ini koleksi pribadi

Minggu, 20 April 2014

Solusi Pangan Dahlan Iskan (Dahlan Iskan's Food Solution)


Oleh: MT Felix Sitorus[1]
Simpulan Budi Dharmawan dalam “Manufacturing Hope” (MH)  122 Dahlan Iskan (JP 7/4/2014) sungguh pesimistik dan tendensius.  Katanya, petani padi tidak akan bisa kaya karena harganya pasti ditekan pemerintah.   
Memang benar mayoritas petani gurem (di bawah 0.25 ha) di Jawa  serba miskin. Tapi gegabah jika penetapan harga gabah/beras dari pemerintah dituduh sebagai penyebabnya. 
Kemiskinan petani padi bersifat struktural dan kompleks. Karena itu perlu solusi struktural pula.  Alih-alih memberi solusi, Pak Budi malahan lebih memilih  buah tropis di atas gunung untuk dibina.
 Berbeda dari Pak Budi,  jauh hari Pak Dahlan sebenarnya sudah menyampaikan solusi “ modernisasi paripurna” untuk membesarkan pertanian pangan khususnya padi (MH 15, JP 27/2/2012).  Dengan solusi itu Pak Dahlan membayangkan pertanian padi sepenuhnya berbasis mekanisasi.
Tapi, apa sejatinya arti modernisasi paripurna itu? Dan bagaimana ia dapat dijalankan sebagai solusi untuk membesarkan pertanian dan petani pangan? 

Modernisasi Paripurna 
            Saat mengoperasikan combine harvester di persawahan Patalan,  Bantul dua tahun lalu (25/2/2012), yang dibayangkan Pak Dahlan tentang modernisasi paripurna agaknya sebatas mekanisasi penuh, mulai dari pengolahan tanah sampai penanganan hasil panen.
            Modernisasi paripurna tidaklah sebatas itu.  Lebih dari sekadar  urusan alat/mesin pertanian (alsintan), ia mencakup juga teknologi budidaya dan manajemen usahatani.
            Dalam  pertanian padi unsur dasar teknologi budidaya adalah benih unggul.  Lalu ada  pupuk dan pestisida untuk mendukung potensi benih itu.   
            Pengetahuan dan keterampilan manajemen bisnis kemudian meracik dan  menerapkan unsur-unsur teknologi modern untuk meningkatkan efisiensi proses produksi.  Targetnya biaya  rendah tapi  produktivitas tinggi, misalnya GKP 8.0 ton/ha,  sehingga laba tinggi.
            Bandingkan dengan kinerja petani gurem yang dibicarakan Pak Budi. Produktivitas sawahnya maksimal 5.0 ton/ha, atau 1.25 ton/0.25 ha, atau senilai Rp 5,625,000 pada harga gabah Rp 4,500/kg.  Setelah dipotong biaya produksi yang  tersisa tinggal “angka kemiskinan”.
            Konsep modernisasi  paripurna sebenarnya sudah disuluhkan sejak masa Revolusi Hijau tahun 1970-an.  Tapi mengapa mayoritas petani padi kita masih tetap dililit keterbelakangan dan kemiskinan?
            Jawabannya karena kekuatan modal dari  atas-desa telah memerangkap petani pada posisi tawar lemah.  Dalam proses modernisasi paripurna itu mereka cuma  jadi konsumen benih/saprotan/alsintan mahal  sekaligus produsen gabah murah.  Porsi terbesar nilai tambah hasil pertanian padi justru dinikmati pemilik modal.
            Departemen Pertanian tidak bisa dipersalahkan atas masalah ini.  Tugas utamanya adalah meningkatkan produksi padi nasional, bukan mengontrol modal yang membonceng modernisasi pertanian.
            Tapi ada pihak yang layak digugat yaitu Kementerian BUMN.   Pertanyaan gugatan:  mengapa kekuatan modal BUMN klaster pangan tidak dipakai untuk mengendalikan modernisasi paripurna pertanian sehingga kedaulatan pangan dan petani tercapai sekaligus?

Solusi PIHC
Gugatan di atas menuntuta pembalikan orientasi modal BUMN dalam modernisasi pertanian.   Bukan lagi berorientasi laba semata  yang justru melemahkan petani tetapi memfasilitasi modernisasi yang saling menguntungkan dengan petani.
Dahlan Iskan sebenarnya sudah menjawab gugatan ini.  Ia memajukan solusi pembentukan holding BUMN Pangan tahun 2012.   Idenya adalah menggabung PT Pertani (pengelola gabah), PT Bulog (pengelola beras), PT Sang Hyang Seri (produksi benih), PT Pupuk Indonesia (pengadaan pupuk), dan PT Berdikari (peternakan) di bawah holding PT Pangan Nusantara.  Target waktu realisasinya  akhir 2014 (Koran Tempo, 29/8/2012).
Untuk alasan nasionalisme, solusi holding BUMN Pangan itu saya sebut di sini “Pangan Indonesia Holding Company” (PIHC).
Intinya, dengan PIHC,  Pak Dahlan menginginkan terbentuknya BUMN Pangan raksasa di Indonesia, sebagai pilar penyangga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional. Ia menilai, karena terpisah-pisah, BUMN Pangan kita rapuh dan lemah (Republika, 29/8/2013).
Mungkinkah solusi PIHC mengusung modernisasi paripurna yang mengukuhkan kedaulatan pangan sekaligus menguatkan petani?  Jawabannya, lihat kinerja program Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis Korporasi (GP3K) BUMN sejak 2011. 
Program GP3K dijalankan oleh Konsorsium BUMN yang beranggotakan PT Pertani, PT  Sang Hyang Seri, PT Pupuk Indonesia, PT Bulog, dan PT Perhutani.  Karena itu konsorsium ini dapat  disebut prototipe PIHC.
Program GP3K-BUMN memfasilitasi modernisasi pertanian pangan dengan pinjaman modal dalam bentuk benih, pupuk, pestisida, dan biaya tenaga kerja dengan skema bayar-panen (yarnen), disertai bimbingan manajemen dan budidaya untuk menjamin keberhasilan.
Dampak GP3K tahun 2011,  merujuk hasil studi evaluasi Biro Perencanaan Deptan (2012), dapat  meningkatkan produktivitas pada ladang 0.5 ton/ha (12%) dan padi sawah 2.0 ton/ha (33%).  Ini jelas gejala modernisasi dan penguatan pertanian dan ekonomi petani padi.
Sukses GP3K 2011 itu mendorong Kementerian BUMN meningkatkan target luas areal tahun 2012 dan 2013.   Untuk tahun 2013,  MH 43 (JP 19/9/2012) Pak Dahlan menyampaikan target areal 3.2 juta ha. Diprediksi kenaikan produksi 1.5 ton/ha, naik dari 5.5 ke 7.0 ton/ha, sehingga diperoleh kenaikan produksi beras nasional 1.5 juta ton. 
Dengan segala kelemahannya, antara lain masih kuatnya ego masing-masing BUMN dan hubungan BUMN-Petani yang cenderung berpola patron-klien, tapi semua itu bisa diperbaiki, program GP3K  bolehlah dipegang sebagai konsep awal Strategi Induk Bisnis Pangan (Food Business Grand Strategy) PIHC.
Kini ada indikasi bahwa harapan (hope) terbentuknya PIHC sebagai solusi pangan dari Pak Dahlan, selaku Menteri BUMN, akan menjadi kenyataan walaupun  strukturnya tidak seperti dipikirkan semula.   Sejak September 2013 PT Sang Hyang Seri dan PT Pertani  secara teknis operasional sudah menjadi “anak perusahaan” PT Pupuk Indonesia.  Dari lima BUMN yang semula direncanakan sebagai anggota grup PIHC, tinggal PT Bulog dan PT Berdikari yang masih tetap berdiri sendiri. 
Tapi sekurangnya unsur-unsur pokok  bisnis pangan yaitu  benih, pupuk, dan gabah sekarang sudah berada di bawah pengelolaan PT Pupuk Indonesia.  Misalkan  fakta ini dapat dibaca sebagai tahap pertama pembentukan PIHC.  Maka tinggal menunggu langkah transformasi PT Pupuk Indonesia Holding Company (kependekannya PIHC juga) menjadi  Pangan Indonesia Holding Company (PIHC juga).
Transformasi Pupuk Indonesia  menjadi Pangan Indonesia, pada tataran operasional adalah pekerjaan rumah Direksi PT Pupuk Indonesia.  Pada tataran kebijakan, ia adalah utang Pak Dahlan selaku Menteri BUMN, yang harus dilunasi sebelum pemerintahan KIB II berakhir. (*)

Dimuat dalam Harian Jawa Pos 15 April 2014


[1] Praktisi agribisnis, peneliti sosionomi pertanian. E-mail: mtfelixstr@yahoo.com