Kamis, 03 Desember 2009

Pembangunan Pertanian Pangan Bervisi 2025 (Food Agriculture Development by Vision 2025)

MT Felix Sitorus

Program 100 hari pemerintah harus ditempatkan dalam program jangka panjang, 15 tahun ke depan sampai 2025, bukan jangka pendek, 1 sampai 5 tahun ke depan. Demikian pula halnya dengan program 100 hari Menteri Pertanian Suswono, yaitu audit luas baku lahan pertanian, peningkatan luas penguasaan lahan, dan peningkatan nilai tambah komoditas pertanian (Suara Pembaruan, 23/10/2009).

Bicara 15 tahun ke depan, berarti bicara tantangan pertanian tahun 2025, yaitu pelipatgandaan produksi pangan. Peningkatan produksi pangan terbesar dibutuhkan, terutama oleh Asia, yang dihuni 61 persen penduduk dunia. Cara terbaik adalah meningkatkan produksi domestik, karena impor terlalu mahal. Dalam konteks ini, kepemimpinan Deptan untuk merancang dan melaksanakan pembangunan pertanian pangan bervisi 2025 mutlak diperlukan.

Menurut perkiraan moderat, untuk mencukupi permintaan pangan dunia pada 2025 perlu ditingkatkan produksi pangan sedikitnya 2 persen per tahun. Jelas, ini bukan target mudah, mengingat hadirnya empat kendala besar. Pertama, kelangkaan sumber daya air. Resultan pertumbuhan penduduk, produksi pangan, perkembangan industri, dan perubahan iklim akan menyebabkan sekitar 60 persen penduduk dunia mengalami kelangkaan air pada 2025. Kedua, keterbatasan lahan pertanian. Dalam 15 tahun ke depan, luas lahan pertanian menjadi terbatas, karena peningkatan konversi ke nonpertanian. Ketiga, keterbatasan sumber daya tak terbarukan. Memasuki 2025, peningkatan produksi pangan melalui pertanian berbasis pupuk mineral akan terkendala oleh keterbatasan pupuk, menipisnya stok sumber daya tak terbarukan yang menjadi bahan baku. Keempat, perubahan iklim global. Pemanasan global menyebabkan instabilitas dan ekstrimitas iklim. Suhu udara meningkat, sehingga kelembaban dan dinamika atmosfer berubah.

Dengan empat kendala besar tersebut jelas pembangunan pertanian pangan dalam 15 tahun ke depan tidak boleh dijalankan secara business as usual. Tak terkecuali di Indonesia yang harus memberi makan 273 juta penduduk pada 2025. Penduduk sebanyak itu memerlukan 38 juta ton beras atau sekitar 72 juta ton padi. Untuk itu, Indonesia harus mengamankan minimal luas panen padi 12 juta hektare dengan rerata produktivitas 6 ton/ha, sehingga akan dihasilkan padi 72 juta ton. Itulah visi 2025 pembangunan pertanian pangan.


Tiga Pendekatan

Visi 2025 tidak akan tercapai jika pembangunan pertanian pangan tidak antisipatif terhadap keempat kendala besar tadi. Hasil penelitian menunjukkan pelandaian peningkatan produktivitas pertanaman padi sejak 1990-an. Terkait perubahan iklim global, kekeringan akibat kemarau panjang yang dibawa El Nino pada 1997, telah menggagalkan produksi padi dalam skala sangat besar (426.000 ha). Oleh karena itu, dalam konteks kehadiran empat kendala besar tersebut harus ada satu strategi besar peningkatan produksi pangan. Untuk itu, tiga pendekatan yang tetap relevan ditempuh. Pertama, peningkatan luas panen melalui inovasi varietas benih unggul berumur pendek yang ramah lingkungan dan teknologi budi daya yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman. Kedua, peningkatan hasil panen per hektare melalui intensifikasi produksi. Pendekatan ini sangat relevan, karena peningkatan hasil per unit lahan, khususnya peningkatan hasil biologis, akan menurunkan tekanan pada lingkungan yang rapuh. Ketiga, peningkatan ketersediaan lahan pertanian baru, terutama di lahan kering. Gagasan menteri pertanian tentang audit lahan dan reforma agraria relevan diterapkan di sini. Tapi, harus diingat, dalam 15 tahun ke depan perluasan sawah akan terkendala oleh ketersediaan air, sehingga biaya ekonomi dan ekologisnya akan terlalu mahal. Karena itu peluang yang layak dimanfaatkan adalah pengembangan potensi lahan kering.

Ketiga pendekatan itu memiliki satu inti, yaitu benih varietas unggul. Untuk meningkatkan luas panen per tahun diperlukan benih varietas umur pendek. Untuk meningkatkan hasil per hektare diperlukan benih varietas produksi tinggi. Untuk ekspansi ke lahan kering diperlukan benih varietas hemat air dan hara.

Masyarakat Eropa sudah menangkap inti tersebut, sehingga riset bioteknologi dan genomik tetumbuhan diarahkan pada penciptaan generasi baru tanaman pangan yang memiliki potensi produksi tinggi sekaligus ramah lingkungan. Belajar dari Masyarakat Eropa, Deptan semestinya memulai pembangunan pertanian pangan bervisi 2025 dengan memacu program riset pemuliaan dan pengembangan benih tanaman pangan generasi baru. Benih tanaman pangan varietas unggul bervisi 2025 adalah yang memiliki sedikitnya tiga ciri unggul. Pertama, keunggulan biologis berupa potensi produktivitas tinggi, kandungan nutrisi tinggi, dan rasa enak. Kedua, keunggulan ekologis, yaitu ramah lingkungan khususnya tahan kekeringan (hemat air), tahan hama/penyakit (hemat pestisida), hemat pupuk, tahan rendaman, dan tahan salinisasi. Ketiga, keunggulan ekonomi berupa nilai-jual dan nilai-pasar.

Tinggal satu pertanyaan krusial. Di bawah Menteri Pertanian Suswanto, apakah program 100 hari, satu tahun, dan lima tahun pembangunan pertanian kita akan ditempatkan dalam kerangka visi 2025? Jika tidak, krisis pangan besar menunggu kita 15 tahun lagi.


Dimuat dalam Suara Pembaruan 24 November 2009

Rabu, 04 November 2009

Ironi Ketahanan Pangan Kita (Our Ironical Food Security)

Oleh MT Felix Sitorus

Ketahanan pangan ternyata paling lemah pada komunitas petani produsen pangan itu sendiri. Artinya, menjadi petani pangan sama artinya dengan menjadi rentan atau bahkan rawan pangan.

Ironi ini sudah dilaporkan peneliti Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Balitbang Deptan tahun lalu (Saliem dan Ariningsih, 2008), tapi tidak mendapat respon yang memadai dari pemerintah. Ke depan, jika tak diatasi secara memadai, ironi ini dapat menjadi bumerang bagi ketahanan pangan itu sendiri.

Fakta Ironis

Ironi tersebut, sebagaimana dilaporkan, terungkap dari analisis data Susenas 2005. Ternyata jumlah rumahtangga tahan pangan di pedesaan jauh lebih rendah (22%) dibanding di perkotaan (48%).

Kategori yang dominan di pedesaan adalah rumahtangga rentan pangan (57%) yang proporsinya jauh lebih kecil (26%) di perkotaan.

Proporsi rumahtangga rawan pangan di pedesaan (13%) juga lebih tinggi dibanding di perkotaan (7%).

Terungkap pula bahwa total rumahtangga rentan dan rawan pangan menjadi kelompok dominan pada lapisan pendapatan rendah/miskin (76%) dan sedang ( 51%).
Ironisnya, proporsi rentan pangan ternyata dominan (61%) pada rumahtangga pertanian. Pada rumahtangga non-pertanian proporsinya tidak dominan (33%).
Proporsi rawan pangan juga lebih tinggi pada rumahtangga pertanian (14%) dibanding pada rumahtangga perkotaan (8%).Proporsi rumahtangga pertanian tahan pangan hanya 18%, sementara pada rumahtangga non-pertanian mencapai 43%.

Angka-angka ini secara gamblang menggambarkan ironi ketahanan pangan kita. Mayoritas produsen pangan, yaitu rumahtangga pertanian di pedesaan, ternyata adalah kelompok rentan dan rawan pangan. Atau, dengan kata lain, paling lemah ketahanan pangannya.

Faktor Kemiskinan

Ironi ketahanan pangan itu berpangkal pada kemiskinan, atau pendapatan rendah yang berakibat daya beli lemah. Indikasinya adalah pola pengeluaran rumahtangga yang didominasi pos pangan (di atas 70%) yaitu 72% pada kelompok rentan pangan dan 71% pada kelompok rawan pangan.

Secara konsisten pengeluaran untuk beras tergolong rendah pada rumahtangga rentan pangan (23%) dan rawan pangan (22%) di pedesaan. Karena itu tingkat konsumsi beras per kapita juga rendah pada rumahtangga rentan (123 kg/th) dan rawan pangan (73 kg/th).

Yang menarik pengeluaran untuk mie/terigu ternyata mulai signifikan pada rumahtangga rentan (2.2%) dan rawan pangan (1.9%). Karena itu tingkat konsumsi per kapita atas mie/terigu juga tergolong signifikan pada rumahtangga rentan (5.7 kg/th) dan rawan pangan (2.9 kg/th).

Selain itu, pada rumahtangga rawan pangan, pangsa pengeluaran untuk makanan jadi ternyata relatif tinggi, secara absolut (Rp 13.800/kap/bln) dan persentase (12%).
Berarti pangsa pengeluaran rumahtangga miskin pedesaan untuk konsumsi makanan non-domestik cenderung meningkat. Untuk rumahtangga rawan pangan misalnya, total pangsa pengeluaran untuk mie/terigu dan makanan jadi mencapai 13.9%.

Peningkatan konsumsi makanan non-domestik itu khas cara bertahan pada rumahtangga miskin. Membeli makanan jadi/setengah-jadi bisa lebih murah dibanding memasak atau memproduksi sendiri. Jadi ini bukan sekadar gejala ”urbanisasi pola makan”.

Ketahanan pangan yang rendah mengakibatkan konsumsi energi dan protein di bawah standar minimum 80%. Pada rumahtangga rawan pangan, konsumsi energi jauh di bawah standar 2100 Kkal/kap/hari yaitu hanya 1399 (67%) Kkal/kap/hari. Ini akibat konsumsi karbohidrat, terutama beras, yang rendah. Konsumsi protein juga di bawah patokan 48 gram/kap/hari yaitu hanya 38 (79%) gram/kap/hari.

Dengan konsumsi energi serendah itu, dipastikan daya tahan dan produktivitas kerja anggota rumahtangga rawan pangan sangat rendah. Jadi, jangan berharap mereka bisa mencapai ketahanan pangan tinggi dengan kemampuan sendiri. Fasilitasi dari pemerintah mutlak diperlukan, lebih dari sekadar BLT senilai ”traktiran makan siang”.

Diverfikasi Usahatani

Program yang terus-menerus digalakkan untuk meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga pedesaan adalah diversifikasi pangan. Sekarang program ini bahkan disokong dengan Perpres No. 22 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.

Tetapi, sejauh ini, program tersebut belum menunjukkan hasil. Penyebab utama adalah kegagalan diversifikasi usahatani pangan yang menjadi basisnya. Usahatani pangan kita bersifat monokultur dengan fokus utama padi. Budaya produksi ”monokultur” ini lalu memapankan budaya konsumsi ”monomenu”.

Selama ini, diversifikasi dilakukan dengan pendekatan horisontal, yaitu penganeka-ragaman jenis tanaman di lahan usaha. Pola ini ternyata kurang memberi nilai tambah ekonomi, sehingga akhirnya jatuh menjadi strategi minimalisasi resiko gagal panen bagi petani gurem.

Diversifikasi usahatani dapat menjadi jalan keluar dari ironi ketahanan pangan kita. Ia dapat meningkatkan ketahanan pangan asal dilakukan secara terpadu horisontal-vertikal.

Pendekatan terpadu ini sudah dirintis dalam bentuk agribisnis pangan padi, secara kemitraan antara Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dan sejumlah perusahaan BUMN agrobisnis. Hasilnya, antara lain, produktivitas lahan dapat ditingkatkan dari 5 menjadi 8 ton/ha.

Untuk dapat menjamin ketahanan pangan, kemitraan BUMP-BUMN itu idealnya mewujudkan agribisnis pangan terpadu skala 1000 ha per unit. Lahan seluas itu diperkirakan dapat menghasilkan gabah kering panen 15,2 juta ton.

Sebagai agribisnis terpadu usaha itu tidak hanya akan menghasilkan gabah/beras, tetapi juga jenis pangan lain seperti jagung dan kedelai. Selain itu ia juga menghasilkan beragam jenis pakan yang dapat mendukung peternakan ruminansia dan unggas di hilirnya.

Secara vertikal, agribisnis itu juga dapat menghasilkan pangan olahan, misalnya mie beras, makanan bayi, nasi instan, tepung beras, dan minyak beras. Di luar itu dapat pula diproduksi energi biomas, pupuk organik, dan bahan bangunan.

Intinya, agribisnis terpadu skala besar tersebut akan bermanfaat ganda. Pertama, ia meningkatkan jumlah dan jenis ketersediaan pangan. Pangan yang dihasilkan tidak hanya biji-bijian, tetapi juga daging, susu, telur, dan ikan.

Kedua, pengembangan diversifikasi vertikal membuka lebih banyak lapangan kerja dan peluang peningkatan pendapatan bagi petani dan buruhtani. Jika pendapatan meningkat, maka akses terhadap aneka pangan meningkat, sehingga ketahanan pangan juga meningkat.

Tentu semua itu memerlukan investasi besar. Tapi, mengingat ketahanan pangan adalah salah satu dimensi ketahanan nasional, maka investasi ketahanan pangan adalah keniscayaan.***

Artikel ini adalah Arsip Pribadi

Senin, 31 Agustus 2009

Benih Bersertifikat Basis Swasembada Beras (Certified Seeds as the Base of Rice Self-sufficient)

MT Felix Sitorus

Perjuangan swasembada beras (pangan) nasional dimulai sejak Indonesia merdeka. Tapi, swasembada baru tercapai pada 1984 atau 39 tahun kemudian. Sempat bertahan sekitar lima tahun, sejak 1990 kita jadi pengimpor beras lagi. Baru 2008, swasembada beras tercapai lagi.

Mengapa swasembada beras kita tidak berkelanjutan? Di mana titik lemah dan bagaimana jalan keluarnya? Sejarah perjuangan swasembada beras berawal dari program penyuluhan peningkatan produksi padi oleh Balai Pendidikan Masyarakat Desa pada 1945-1959. Tapi, program ini gagal. Akibatnya, impor beras meningkat sampai 800.000 ton pada 1959.

Selanjutnya, pada 1959-1963, di bawah Komando Operasi Gerakan Makmur, digalakkan Padi Sentra, gerakan massal peningkatan produksi padi melalui peningkatan sarana pertanian dan sarana produksi. Sayang, gerakan ini hanya menguntungkan petani besar.
Tahun 1963-1970, berdasarkan hasil riset aksi, diterapkan program Panca Usaha Tani Lengkap (benih unggul, pupuk, irigasi, pengolahan lahan, proteksi tanaman) sebagai gerakan massal yang terkoordinasi dari pusat sampai daerah. Program yang memperkenalkan padi unggul PB-5 dan PB-8 meningkatkan produktivitas dari 2,5 menjadi 3,5 ton/ha.

Dalam periode "revolusi hijau", 1971-1980, peranan varietas unggul diprogram secara kontinu. Untuk mendukung penciptaan, perbanyakan, dan pendistribusian benih padi unggul bermutu, dibangun empat institusi perbenihan yang membentuk sistem perbenihan nasional, yaitu BBN, LP3 Sukamandi, Dinas Pengawasan dan Sertifikasi Benih, dan Perum Sang Hyang Seri.

Sejak 1981 sampai sekarang adalah periode peralihan basis peningkatan produksi dari technology driven ke policy driven. Pada awal periode ini, program intensifikasi massal dijalankan dengan disiplin militeristik, dengan inti penerapan paket teknologi Panca Usaha Tani. Hasilnya, swasembada beras tercapai pada 1984. Tapi, setelah sukses meraih swasembada, disiplin intensifikasi melemah pada tahun-tahun selanjutnya. Akibatnya, swasembada beras hilang tahun 1990. Indonesia kembali jadi importir beras, pernah sampai 4.7 juta ton (1999), tertinggi sepanjang sejarah.

Swasembada baru tercapai lagi pada 2008 melalui Program Peningkatan Produksi Beras. Program ini berhasil, karena dua faktor kunci: peningkatan bantuan benih unggul (subsidi/gratis) dan peningkatan pembelian gabah dengan harga tinggi oleh Bulog.

Kebijakan Insentif

Sejak 1980-an sampai sekarang, upaya peningkatan produksi lebih banyak mengandalkan kebijakan insentif bagi petani, antara lain, kredit murah, subsidi sarana produksi, dan penetapan harga panen atau jaminan pasar. Pendekatan ini memang berhasil pada 2008, tapi tidak mendasar dan sangat rapuh, karena bergantung pada kekuatan dana pemerintah.

Sementara itu, pengembangan teknologi benih sebagai inti usaha tani, berjalan sangat lambat. Sampai sekarang, teknologi benih masih mengandalkan temuan varietas unggul legendaries, yaitu Ciherang, Cisadane, dan IR 64. Inilah titik lemah perjuangan swasembada beras akibat kebijakan yang keliru tadi.

Memang, dalam tiga tahun terakhir sudah mulai ditemukan dan diperkenalkan jenis padi hibrida yang hasilnya bisa lipat ganda. Tapi, ketiga varietas legendaris itu belum tergantikan, dalam hal harga benih murah, produktivitas tinggi, dan penerimaan yang luas.

Hasil riset World Bank menyimpulkan, benih varietas unggul bersertifikat penyumbang tunggal terbesar (16%) terhadap peningkatan produksi padi nasional, jauh di atas irigasi (5%) dan pupuk (4%). Sementara interaksi antara varietas unggul, irigasi, dan pupuk menyumbang 75 persen.

Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan persebaran adopsi benih bersertifikat berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional. Ini mengindikasikan peran adopsi teknologi benih padi unggul atau varietas produksi tinggi (VPT) sebagai determinan peningkatan produksi.

Dengan tingkat penggunaan sarana produksi (pupuk, obat-obatan) yang relatif sama di atas lahan yang sama, faktor determinan tersebut adalah varietas PB-36 (1970-an), Cisadane (1980-an), IR-64 (1990-an), dan Ciherang (2000-an). Ketiga varietas tersebut terakhir masih bertahan sampai sekarang, karena diadopsi secara bergiliran.
Suatu hasil studi (2004) juga menyimpulkan, mayoritas produksi padi nasional (69%) disumbang oleh penggunaan benih varietas produksi tinggi dan sisanya oleh varietas produksi sedang (16%), dan rendah (15%). Padahal, penggunaan benih varietas produksi tinggi "bersertifikat" secara nasional baru mencakup 47% dari kebutuhan benih padi nasional.

Tidak terbantahkan lagi, benih unggul bersertifikat padi adalah determinan pokok peningkatan produksi padi. Karena itu, dapat dikatakan, swasembada beras hanya mungkin dicapai di atas basis ketersediaan benih unggul bersertifikat.

Bicara mengenai peranan benih padi unggul bersertifikat, sama artinya bicara peranan PT Sang Hyang Seri (SHS), satu-satunya BUMN perbenihan. Data 1970-an sampai 2000-an menunjukkan peningkatan jumlah benih padi bersertifikat yang disebarkan SHS berbanding lurus dengan peningkatan produksi padi nasional. Benih unggul bersertifikat produksi SHS mengisi 61% dari pangsa penggunaan benih bersertifikat secara nasional, atau 28% dari total kebutuhan benih nasional (292.500 ton).
Fakta ini membuktikan, peran signifikan benih unggul bersertifikat dalam pencapaian swasembada beras nasional tahun 1984 dan 2008.

Kemampuan industri benih padi di Indonesia untuk memenuhi total kebutuhan benih nasional baru mencapai 47%. Artinya, lebih dari setengah kebutuhan benih padi nasional (53%) dipenuhi oleh benih nonsertifikat bermutu rendah yang dihasilkan petani dan penangkar lokal. Agar swasembada beras meningkat, atau sekurangnya bertahan, mayoritas dari pangsa 53% itu harus diisi oleh produk benih bersertifikat. Untuk itu, pemerintah disarankan menerapkan strategi perubahan bertahap dalam adopsi benih padi. Target akhir perubahan tersebut adalah adopsi benih padi hibrida secara luas.

Tetapi, untuk sampai pada target tersebut, proses yang dilalui harus berjenjang. Mustahil petani padi tradisional yang terbiasa menggunakan benih inbrida nonsertifikat varietas produksi rendah (VPR) langsung bisa menanam benih inbrida/hibrida bersertifikat varietas produksi tinggi. Lompatan ekstrem budaya tanam seperti itu pasti berakhir dengan kegagalan usaha tani.
Proses perubahan itu harus dilakukan secara bertahap, hingga petani mencapai budaya tanam padi benih unggul inbrida bersertifikat VPT lebih dulu, sebelum akhirnya maju ke budaya tanam padi benih hibrida VPT.

Pemerintah disarankan meningkatkan fungsi SHS sebagai lokomotif perubahan tersebut. Selain menjadi produsen benih padi inbrida VPT terbesar di Indonesia, perusahaan ini juga sudah memproduksi benih padi hibrida dengan potensi produktivitas 14.5 ton/ha (SL-8 SHS). Fungsi lokomotif perubahan pada SHS bertujuan menjamin ketersedian benih padi unggul bersertifikat sebagai basis swasembada beras. Untuk itu, perlu kebijakan memperkuat BUMN tersebut sebagai leading sector pembangunan perbenihan nasional dan daerah. Hal itu dapat dilakukan dengan cara, pertama, menjamin lembaga riset publik untuk memasok inovasi varietas padi unggul baru ke SHS sebagai industri multiplikasi inovasi. Kedua, memberikan ruang pada SHS untuk merakit varietas padi inbrida dan hibrida secara sendiri atau pun bekerja sama dengan lembaga riset publik dan swasta dari dalam dan luar negeri.

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Ekologi Manusia IPB
Dimuat dalam Suara Pembaruan 21/8/2009

Senin, 20 Juli 2009

Hutang Reforma Agraria SBY

Oleh: MT Felix Sitorus

Empat tahun lalu, di harian Suara Pembaruan saya menulis analisis pesimistik tentang kemauan dan kemampuan SBY menjalankan reforma agraria yang dijanjikan dalam kampanye 2004 (SP 18/1/2005). Pesimisme saya terbukti benar. Sampai masa jabatan mereka nyaris berakhir, dan bahkan hasil hitung-cepat pemilihan presiden dalam pemilihan 8 Juli 2009 lalu telah menampilkan SBY (dan wapres Boediono) sebagai pemenang, reforma agraria tak kunjung turun ke tanah.

Harus dikatakan, reforma agraria adalah salah satu hutang besar SBY yang tidak atau bahkan tidak akan dilunasi kepada mayoritas petani miskin pemilihnya. Mengapa hutang yang sudah tercatat dalam dokumen visi, misi, dan program mereka itu tidak dilunasi? Lalu apa pelajaran apa yang dapat dipetik presiden mendatang, yang niscaya adalah SBY, dari kasus tersebut?

Anti-reforma agraria

SBY tidak dapat melunasi hutang reforma agraria karena pemerintahannya bersekutu dengan kekuatan kapitalisme. Kaum kapitalis memiliki resistensi tinggi terhadap reforma agraria, karena program itu akan mengganggu kepentingan mereka.
Dari awal, gejala keterperangkapan itu sudah terbaca dari tampilnya tokoh-tokoh kapitalis dalam susunan menteri kabinet SBY. Mereka adalah kekuatan pertama yang akan menolak reforma agraria. Dengan kata lain, SBY sebenarnya telah membentuk kabinet anti-reforma agraria.

Indikasi anti-reforma agraria itu kemudian terbaca dari agenda 100 hari pemerintahan SBY. Reforma agraria tidak tercantum dalam agenda, berarti dianggap tidak penting atau tidak perlu.

Baru pada Januari 2007, setelah separuh masa pemerintahan, presiden SBY mencanangkan reforma agraria. Ini cuma untuk meredam tuntutan reforma agraria yang semakin riuh. Mustahil bisa melakukan reforma agraria dalam dua tahun sisa waktu pemerintahan.

Memang janji Januari 2007 itu terkesan kongkrit. Tapi kalau ditelisik lebih dalam sebenarnya tak lebih dari sekadar kamuflase. Mengapa?

Waktu itu dijanjikan sekitar 9 juta ha lahan hutan rusak di Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi akan dibagikan kepada petani gurem (60%) dan investor (40%). Membagikan tanah pada investor jelas bukan reforma agraria melainkan anti-reforma agraria alias pro-kapitalis.

Lalu petani gurem itu mayoritas berada di Jawa sehingga harus dipindahkan ke luar Jawa nantinya. Di sana mereka akan dibina menjadi petani wana-tani. Andaikan janji itu dipenuhi, bukankah itu cuma program transmigrasi berkedok reforma agraria.

Untuk realisasinya Badan Pertanahan Nasional (BPN) kemudian ditunjuk sebagai penanggungjawab reforma agraria. Tapi justeru di sinilah letak ketakseriusan pemerintah. Secara historis dan struktural BPN dibentuk bukan untuk reforma agraria, melainkan untuk melayani kepentingan pembangunan ekonomi kapitalistik.

Idealnya, untuk menjalankan reforma agraria secara nasional, pemerintah membentuk institusi Otorita Reforma Agraria. Otorita inilah yang merencanakan dan melaksanakan program reforma agraria secara nasional.

Menunjuk BPN sebagai penanggungjawab sama saja artinya dengan menangkal reforma agraria itu sendiri. Terbukti, sudah hampir dua setengah tahun berlalu, reforma agraria tak kunjung turun ke tanah. BPN hanya sibuk merekayasa model-model penyatuan obyek (tanah) dan subyek agraria (tunakisma) di atas kertas.

Secara simultan, melalui moda “dengar pendapat”, BPN juga sibuk mendorong transformasi gerakan reforma agraria dari gerakan rakyat menjadi gerakan akademis. Hasilnya aktivis reforma agraria tergiring menjadi scholar dan tuntutan reforma agraria berubah menjadi wacana akademis.

Hutang janji reforma agraria dari kampanye 2004 itu akhirnya hanya dibayar dengan janji baru. Hutang kata dibayar dengan kata. Jika benar presiden baru adalah SBY nantinya, jangan-jangan jargon “lanjutkan” hanya melanjutkan reforma agraria di bibir saja nantinya.

Transformasi pertanian rakyat

Jangan menjanjikan reforma agraria dalam persekutuan dengan kapitalisme, karena hal itu sama artinya dengan menjilat ludah sendiri. Itulah pelajaran penting bagi para capres/wapres mendatang.

Dua rezim terakhir, pemerintahan Megawati Sukarnoputri dan pemerintahan SBY, terbukti tidak dapat memenuhi reforma agraria yang pernah dijanjikan. Resistensi kapitalisme di negara ini terlalu kuat, sehingga janji reforma agraria akan selalu menjadi hutang rezim.

Karena itu para capres/cawapres mendatang sebaiknya tidak menjanjikan reforma agraria, melainkan alternatif yang setara dengan itu, yakni sesuatu yang juga bertujuan meningkatkan pendapatan mayoritas petani miskin di pedesaan. Salah satunya adalah transformasi pertanian rakyat. Ini lebih rasional dan operasional dibanding reforma agraria.

Dengan transformasi pertanian rakyat dimaksudkan adalah perubahan statusnya dari obyek menjadi subyek utama ekonomi nasional. Ini mencakup perubahan karakter pertanian rakyat dari lemah menjadi kuat.

Perubahan yang dimaksud mencakup, pertama, perubahan karakter eksklusif menjadi inklusif. Dengan demikian pertanian rakyat mengalami penguatan dari sekadar pangsa pasar industri yang produknya tak bersambung (eksklusif) pada kebutuhan baku industri menjadi penyedia utama bahan baku (inklusif) industri nasional. Dengan kata lain pertanian rakyat menjadi basis perkembangan agroindustri nasional.

Kedua, perubahan dari atomistik ke integralistik. Dengan demikian pertanian rakyat berkembang menjadi agribisnis skala besar yang terpadu, inovatif dan tangguh, bukan lagi usaha-usaha gurem keluarga yang berserakan, terpecah-pecah, involutif dan lemah. Pola pertanian integralistik ini tidak menyingkirkan petani, tapi sebaliknya mengintegrasikan peran mereka sebagai jajaran petani profesional.

Transformasi pertanian rakyat tersebut tidak akan menimbulkan resistensi pada golongan kapitalis. Sebaliknya, karena bersambung pada kepentingannya, mereka justeru akan mendukung program itu. Rintisan “agribisnis sawah” oleh sejumlah perusahaan industri besar nasional tahun-tahun terakhir adalah pertanda positif.

Sudah pasti gagasan “transformasi pertanian rakyat” ini akan ditentang keras oleh pendukung gagasan “reforma agraria”. Perdebatan tidaklah tabu. Tetapi, kepada para capres/cawapres mendatang tetap harus diingatkan, kalau tak mungkin lepas dari kekuatan kapitalisme, jangan pernah menjanjikan reforma agraria.***

Artikel ini adalah dokumen pribadi.

Kamis, 14 Mei 2009

Agar Reforma Agraria Turun ke Tanah

Oleh: MT Felix Sitorus

Saat Presiden SBY mencanangkan reforma agraria pada Januari 2007, terpikir apakah aspek sosiologis akan dipertimbangkan. Mengabaikan aspek ini berarti melumpuhkan reforma agraria.

Dan itulah yang terjadi. Institusi BPN, penanggungjawab reforma agraria, hanya sibuk merekayasa model-model penyatuan obyek (tanah) dan subyek agraria (tunakisma). Hasilnya, sudah hampir dua tahun berlalu, reforma agraria masih sekadar di bibir penguasa.

Sebenarnya BPN sudah merumuskan reforma agraria dengan baik sebagai reforma pertanahan plus akses. Tetapi, masalahnya, secara nasional belum tersedia peta struktur pertanahan dan akses yang hendak direforma itu.

Kalau struktur pertanahan dan akses, atau singkatnya struktur agraria, tak diketahui maka titik awal dan akhir reforma agraria juga tak jelas. Selama ini hanya dikatakan reforma agraria bertolak dari ketakadilan menuju keadilan. Tapi tak ada peta struktur ketakadilan/keadilan agraria yang dimaksud.

Mungkinkah reforma agraria turun ke tanah? Mungkin, asalkan BPN bersedia mengintegrasikan aspek sosiologis ke dalam rencana reforma agraria. Bagaimana caranya?

Selaraskan kepentingan

Masalah agraria pada intinya adalah masalah sosiologis. Ia adalah masalah struktural yaitu konflik kepentingan antara subyek pemerintah (negara), pengusaha (kapital), dan petani (komunitas) atas obyek agraria terutama tanah.

Karena itu langkah pertama dalam proses reforma agraria seyogyanya adalah pemetaan struktur agraria. Tujuannya untuk mengungkap struktur penguasaan dan pengusahaan tanah oleh pemerintah, pengusaha, dan petani berikut konflik-konflik kepentingan antar subyek tersebut.

Peta itu akan menunjukkan sumber-sumber agraria yang relevan diredistribusikan dan siapa yang layak menerimanya. Juga ditunjukkan hubungan-hubungan agraria yang harus ditata-ulang demi keadilan akses agraria. Inilah titik berangkat reforma agraria.

Berdasar peta itu dapat diproyeksikan sebuah peta baru struktur agraria yang (lebih) berkeadilan, dalam arti menjamin keselarasan beragam kepentingan subyek-subyek agraria. Peta ini sekaligus adalah rancangan tata guna sumber agraria nasional. Itulah titik akhir atau tujuan reforma agraria.

Dari studi-studi sosiologi agraria sudah diketahui struktur agraria Indonesia saat ini berpola kapitalis. Dalam pola ini kepentingan kapitalis, bergandengan dengan kepentingan pemerintah, mendominasi kepentingan petani. Itu sebabnya konflik agraria sekarang didominasi sengketa vertikal petani versus pengusaha/penguasa.

Jika struktur agraria kapitalistik itu dinilai tidak adil, lantas ke mana orientasi reforma agraria? Apakah ke pola kapitalis yang lebih berkeadilan, pola sosialis, atau pola populis? Jika merujuk pada UUPA 1960, yang masih berlaku sampai kini, jelas orientasinya pola populis yang mengutamakan petani gurem/tunakisma.

Tapi sebaiknya orientasi reforma agraria jangan kapitalis atau populis melainkan paduan keduanya. Dalam praktek, harmoni kapitalisme-populisme (kapipulisme) itu mengambil wujud agribisnis berbasis komunitas. Ini adalah suatu sinergi kekuatan pengusaha (kapitalis) dan petani (komunitas).

Alasannya, koeksistensi pemerintah, pengusaha, dan petani di bidang agraria adalah gejala sosiologis tak terbantahkan. Dominasi pengusaha (kapitalis) dalam struktur koeksistensi itu adalah keniscayaan. Kita hidup di dunia yang kapitalistik.

Karena itu tidak realistis jika reforma agraria didasari semangat anti-kapitalisme. Dasar yang relevan adalah semangat kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan petani. Reforma agraria yang kolaboratif itu akan menyelaraskan ragam kepentingan antar subyek agraria.

Utamakan bagi hasil

Jika peta struktur agraria nasional sudah ada, dari mana reforma sebaiknya dimulai? Idealnya prioritas reforma agraria adalah penataan kelembagaan bagi hasil pertanian (access reform). Ini lebih realistis ketimbang, seperti sekarang, langsung fokus ke redistribusi tanah (landreform).

Alasan sosiologisnya, redistribusi tanah kepada petani gurem/tunakisma khususnya di Jawa dikhawatirkan akan memerosotkan produksi pangan sehingga justru merugikan ekonomi nasional.

Penjelasannya, pertanian kita kini sedang bergerak dari taraf agribisnis berbasis sumberdaya ke taraf berbasis investasi yang lebih efisien dan efektif. Jika sebagian tanah pertanian dibagikan kepada petani gurem/tunakisma yang mayoritas berorientasi subsisten, maka ada resiko pertanian mundur kembali ke taraf berbasis sumberdaya. Akibatnya bisa fatal yaitu krisis pangan dan ekonomi pedesaan.

Itu juga alasan pokok untuk menganjurkan reforma agraria berorientasi kapipulisme. Inti kolaborasi pengusaha/pemerintah dan petani dalam reforma agraria itu adalah bagi hasil yang adil, sesuai sumbangan modal masing-masing. Dalam hal ini bukan hanya modal finansial yang diperhitungkan, tetapi juga modal sosial.

Resiko resistensi kapitalisme dan instansi sektoral pemerintah juga rendah dalam reforma agraria berorientasi kapipulisme. Soalnya reforma dipusatkan pada aspek hubungan pengusahaan, bukan pada alih hak milik. Selama ini resistensi semacam itulah kendala utama yang menahan reforma agraria di atas kertas.

Dua hal tadi yaitu penyelarasan kepentingan subyek-subyek agraria dan pengutamaan penataan kelembagaan bagi hasil pertanian, adalah aspek sosiologis yang terabaikan. BPN sebaiknya segera mengintegrasikan dua hal itu untuk membumikan perencanaannya, agar reforma benar-benar turun ke tanah.***

Tulisan ini Arsip Pribadi

Selasa, 12 Mei 2009

Janji Rekonsiliasi dan Perubahan Agraria

Oleh MT Felix Sitorus

REKONSILIASI dan perubahan adalah dua janji utama pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) semasa kampanye. Setelah pasangan itu terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, saatnya menagih janji. Secara khusus berkenaan dengan isu agraria, janji itu mestinya dipenuhi dengan memasukkan kebijakan rekonsiliasi dan perubahan agraria dalam agenda 100 hari pemerintahan SBY-JK.

Yang dimaksud dengan rekonsiliasi dan perubahan agraria di sini tidak lain adalah reforma dan transformasi agraria. Rekonsiliasi adalah reforma, dan perubahan adalah transformasi. Jika rekonsiliasi diartikan proses menutup kesenjangan, rekonsiliasi (reforma) agraria adalah proses menutup kesenjangan struktural antar-/inter-subjek agraria (pemerintah, pengusaha, dan komunitas) dalam hal akses terhadap sumber-sumber agraria berikut manfaatnya.

Jika perubahan diartikan proses alih wujud, perubahan (transformasi) agraria adalah proses peralihan struktur agraria dari yang tak berkeadilan menjadi berkeadilan.

Janji

Dalam dokumen tentang visi, misi, dan program (Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera) yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umumu (KPU), pasangan SBY-JK mencantumkan dua kali janji reforma agraria. Mereka berjanji akan melaksanakan reforma agraria dalam rangka perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja (h 56) dan revitalisasi pertanian/pedesaan (h 69).

Penyebutan yang kedua tampaknya konkretisasi dari yang pertama, sehingga cukuplah jika memegang janji melaksanakan reforma agraria dalam rangka (sebagai landasan bagi) revitalisasi pertanian/pedesaan.

Esensi revitalisasi pertanian/pedesaan sebenarnya adalah pembangunan pertanian/pedesaan. Sebenarnya aneh juga mendengar istilah itu dimunculkan oleh SBY-JK. Masalahnya, dalam kaitan krisis ekonomi, yang perlu direvitalisasi sebenarnya adalah sektor industri/perkotaan yang collapse diterpa krisis.

Pada saat bersamaan, sektor pertanian/pedesaan sebenarnya justru survive, bahkan menjadi penyelamat bagi ekonomi nasional. Mungkin, untuk berpikir positif, penggunaan istilah revitalisasi pertanian/pedesaan itu dimaksudkan sebagai kemauan politik untuk menjadikan pertanian/pedesaan sebagai penghela utama ekonomi nasional.
Pada titik ini penting menegaskan perbedaan mendasar antara reforma agraria dan pembangunan pertanian/pedesaan. Reforma agraria selalu mendahului (dan karena itu menjadi landasan bagi) pembangunan pertanian/pedesaan. Reforma agraria adalah proses pembentukan struktur penguasaan (akses) sumber-sumber agraria (tanah dan non-tanah) yang berkeadilan.

Ia bersangkut-paut terutama dengan aspek-aspek penguasaan sumber hubungan kerja agraria. Sementara pembangunan pertanian/pedesaan adalah proses peningkatan produktivitas sumber-sumber agraria yang telah dikuasai secara berkeadilan itu. Ia bersangkut-paut terutama dengan aspek-aspek iptek, manajemen, dan pembiayaan dalam kegiatan sosial-ekonomi pertanian/pedesaan.

Dari pembedaan di atas, jelas bahwa reforma agraria berorientasi pada keadilan atau pemerataan, sementara pembangunan (revitalisasi) pertanian/pedesaan berorientasi pada produktivitas atau pertumbuhan. maka suatu rezim pemerintahan yang hanya melakukan pembangunan (revitalisasi) pertanian/ pedesaan tidak berhak mengklaim telah melakukan juga reforma agraria.

Itulah sebabnya, mengapa reforma agraria harus diikuti dengan pembangunan pertanian/pedesaan. Pengalaman di masa Pemerintahan Soeharto, pembangunan pertanian/pedesaan berlabel Revolusi Hijau tidak diawali dengan reforma agraria, sehingga yang terjadi kemudian adalah penajaman ketimpangan sosio-agraria di pedesaan.

Pola yang salah ini masih tetap diikuti sampai masa Pemerintahan Megawati, ketika pembangunan pertanian berlabel Pengembangan Agribisnis tetap tidak diawali dengan suatu langkah reforma agraria. Apakah mungkin Pemerintahan SBY-JK akan mengulangi kesalahan serupa?

Agenda 100 Hari

Pengalaman land-reform di paruh pertama 1960-an, dalam perkembangannya telah menimbulkan resistensi terhadap gagasan reforma agraria di pihak pemerintah termasuk organisasi bisnis milik negara (BUMN) dan pengusaha besar (pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan perikanan).

Resistensi itu tetap diwarisi Pemerintahan Megawati ditandai dengan tidak adanya langkah signifikan pelaksanaan TAP MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan PSDA. Jika ada langkah yang harus disebutkan, itulah rencana penggantian UUPA 1965 yang merupakan landasan hukum bagi reforma agraria menjadi UU Sumberdaya Agraria yang terindikasi berjiwa "liberal" seperti Agrarische Wet 1870.

Apakah mungkin Pemerintahan SBY-JK juga masih akan mewarisi resistensi terhadap gagasan reforma agraria itu? Kekhawatiran untuk itu tetap ada, kendati pun dalam dokumen visi, misi, dan program, mereka secara eksplisit berjanji melaksanakan reforma agraria.

Alasan kekhawatiran itu adalah, pertama, tidak adanya posisi kementerian agraria dalam struktur kabinet SBY-JK atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Padahal dalam media massa sebelumnya sudah santer diberitakan akan ada suatu kementerian agraria. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan karena sebelumnya memang sudah pernah ada Menteri Agraria/Kepala BPN. Kealpaan kementerian agraria dalam KIB agaknya bukanlah ketidak-sengajaan.

Kedua, departemen-departemen terkait reforma agraria dalam KIB ternyata dipimpin oleh menteri-menteri yang latar-belakangnya steril dari gagasan reforma agraria. Ini agaknya juga bukan ketidak-sengajaan. De- partemen-departemen yang dimaksud adalah Departemen Pertanian dan Pangan, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen-departemen ini berkepentingan langsung dengan manajemen sumber-sumber agraria yang merupakan obyek reforma agraria.

Ketiga, sumber-sumber agraria strategis yang niscaya menjadi obyek reforma agraria untuk sebagian besar dikuasai oleh pengusaha besar swasta, BUMN, dan kelompok militer.

Fakta ini bisa menjadi kendala bagi Presiden SBY (militer pensiunan) dan Wapres JK (pengusaha besar) untuk merealisasikan janji reforma agraria. Tidak mustahil mereka akan ditarik ke wilayah "solidaritas korps" untuk kemudian melupakan janji tersebut.
Dengan tiga alasan di atas, bisalah dikatakan bahwa Pemerintahan SBY-JK pada hari pertama sama sekali tidak menunjukkan indikasi positif untuk pelaksanaan janji reforma agraria.

Kalau kehawatiran ini benar, maka sudah pasti bahwa janji SBY-JK untuk merevitalisasi pertanian/pedesaan juga tidak akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan, tetapi justru akan memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi seperti telah terbukti dari kasus Revolusi Hijau di masa lalu.

Sebagai seorang doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, pastilah Presiden SBY sudah sangat paham bahwa peningkatan produktivitas pertanian tidak akan mengurangi tingkat kemiskinan, apabila distribusi akses terhadap sumber daya pertanian (agraria) khususnya tanah tidak dibuat merata lebih dahulu.

Pada titik ini, tampaknya hanya ada satu jalan bagi Pemerintahan SBY-JK untuk terhindar dari kualitas "resisten dan ingkar" terhadap gagasan reforma agraria. Jalan yang dimaksud adalah merumuskan secara eksplisit suatu agenda strategis rekonsiliasi (reforma) dan perubahan (transformasi) agraria (pertanian/pedesaan) untuk 100 hari masa pemerintahan.

Khusus bagi SBY, agenda itu merupakan batu uji sekaligus bagi integritas politiknya sebagai seorang Presiden RI dan bagi integritas keilmuannya sebagai seorang Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian.

Agenda strategis yang diusulkan di sini untuk dicanangkan dalam 100 hari pemerintahan cukup satu, yaitu merumuskan dan mengeluarkan suatu keputusan tentang pembentukan sebuah Otorita Nasional untuk Penyiapan dan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Pembentukan otorita tersebut merupakan keharusan karena dalam struktur KIB sekarang ini, dan juga dalam kabinet-kabinet masa reformasi sebelumnya, tidak ada suatu departemen atau badan nasional yang berfungsi sebagai rumah bagi gagasan dan kebijakan reforma agraria.

Badan Pertanahan Nasional bukanlah rumah yang cocok, karena ia berfungsi lebih sebagai administratur pertanahan. Sudah pasti bahwa "reforma" bukan sekadar "penataan administrasi" dan lingkup" sumber agraria" bukan sebatas "sumberdaya tanah".

Tanpa pembentukan otorita yang diusulkan di atas, maka tidak ada gunanya berbicara tentang reforma agraria. Sudah terbukti selama ini bahwa tuntutan petani untuk reforma agraria, gagasan tentang arah kebijakan dan model reforma agraria, serta masukan seputar peraturan/perundangan agraria, semuanya mentok karena tidak ada suatu rumah atau otorita yang memiliki wewenang untuk menampung, mengolah, dan melaksanakannya.

Akibatnya, petani/orang desa kini sudah mulai mengambil inisiatif sendiri melakukan "reforma agraria dari bawah" (agrarian reform by leverage) dalam bentuk reclaiming atas tanah-tanah perkebunan dan hutan, yang selalu diwarnai dengan konflik dengan pemerintah ataupun pengusaha.

Jika tidak ada agenda kebijakan dan program reforma agraria yang substansil dari Pemerintahan SBY-JK, maka gejala reclaiming itu di tahun-tahun mendatang mungkin akan keluar dari rel reforma agraria dan bermetamorfosa menjadi anarki agraria.

Harus diakui, membentuk suatu otorita untuk reforma agraria adalah keputusan politik yang sangat berat. Tetapi lebih berat lagi beban sosial-ekonomi mayoritas rakyat Indonesia, yaitu "orang desa" (petani gurem, buruh tani tunakisma dan penduduk miskin lainnya) yang telah memilih SBY-JK sebagai pasangan pimpinan nasional, apabila janji untuk melaksanakan rekonsiliasi atau reforma agraria diingkari.

Harus dikatakan di sini, jika langkah pertama untuk reforma agraria yaitu pembentukan suatu otorita tidak terdapat dalam agenda 100 hari pemerintahan, maka mayoritas "orang desa" (yang lurus hati itu) mungkin telah keliru memilih dan menaruh kepercayaan pada SBY-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Dimuat dalam: Suara Pembaruan 18 Januari 2005 dengan judul "Rekonsiliasi dan Perubahan Agraria: Tagihan atas Janji SBY-JK"

Paradigma Ekologi Budaya untuk Pengembangan Pertanian Padi

Oleh: MT Felix Sitorus

Abstrak

Pengembangan pertanian padi di Indonesia sedang mengalami krisis paradigma Paradigma ekonomi (neo-klasik) produksi (pertanian), yang menempatkan pertanian sebagai kegiatan produksi berorientasi pasar, tidak mampu lagi menjawab dua masalah dasar yaitu kecenderungan penurunan produksi padi nasional dan penurunan pendapatan petani dari usahatani padi. Karena itu, setelah mendasari pengembangan pertanian padi sejak 1970-an, paradigma tersebut harus digusur. Sebuah paradigma ”baru”, yaitu paradigma ekologi budaya yang menempatkan pertanian sebagai proses dan capaian budaya, ditawarkan sebagai alternatif. Paradigma baru ini dapat diuji melalui penerapan gagasan “Inkorporasi Beras” (Rice Inc.) dalam bentuk ”proyek pemandu” (pilot project).


1. Pendahuluan

Ada dua masalah dasar pertanian tanaman padi di Indonesia khususnya dalam 15 tahun terakhir, yaitu kemandegan pertanian padi dilihat dari segi produktivitas usaha dan kesejahteraan petani. Suatu hasil studi menunjukkan adanya kecenderungan menurun pada angka kenaikan produktivitas pertanian tanaman padi sejak paruh kedua 1980-an. Sementara itu data statistik terbaru menunjukkan peningkatan gejala guremisasi dalam komunitas petani tanaman pangan di Indonesia. Resultan dari kecenderungan penurunan produktivitas dan penyempitan pada tingkat penguasaan lahan, ditambah dengan harga gabah yang rendah, tidak bisa lain adalah tingkat kesejahteraan yang rendah pada mayoritas petani gurem/kecil.

Kondisi pertanian padi semacam itu harus ditafsir sebagai suatu gejala ”menuju krisis”. Bukannya tidak ada upaya-upaya besar untuk keluar dari kondisi tersebut, khususnya berupa rekayasa teknologi produksi, tetapi situasi justru cenderung memburuk. Karena itu, suatu langkah korektif jelas tidak memadai lagi jika hanya berhenti pada upaya rekayasa teknologi produksi, apalagi jika itu terfokus pada pupuk dan obat-obatan pertanian seperti selama ini. Langkah koreksi harus naik ke aras yang lebih tinggi, yakni paradigma yang memayungi kegiatan pertanian padi kita.

Hendak dikatakan di sini, paradigma pertanian yang kita anut selama ini tidak mampu lagi memberi jawaban atas masalah-masalah dasar pertanian tersebut di atas. Ini yang disebut sebagai ”krisis paradigma”. Implikasinya, pertanian padi kita dimungkinkan selamat dari kondisi krisis jika, dan hanya jika, ”paradigma lama” tadi diganti dengan suatu ”paradigma baru”. Tanpa langkah mendasar seperti itu, apapun upaya untuk keluar dari masalah, termasuk kebijakan ”revitalisasi pertanian” (berparadigma lama) yang baru dikeluarkan rejim Yudhoyono-Kalla, tidak akan membuahkan hasil yang subtantif.

Tulisan ini bermaksud membuka jalan untuk suatu pergeseran dari ”paradigma lama” ke ”paradigma baru” di bidang pertanian khususnya tanaman pangan padi. Suatu situasi krisis ”paradigma lama” akan ditunjukkan lebih dahulu, sebelum masuk pada tawaran ”paradigma baru”. Implikasi paradigma baru terhadap pendekatan pembangunan pertanian, khususnya terkait kebijakan revitalisasi pertanian, akan dipaparkan di bagian akhir.


2. Krisis “Paradigma Lama”: Ekonomi Produksi

”Paradigma lama” pertanian kita ditegakkan oleh kekuatan ilmuwan ekonomi neo-klasik yang dominan di Indonesia saat ini. Secara sederhana, paradigma itu melihat kegiatan pertanian primer sebagai kegiatan ekonomi produksi yang mengawinkan sejumlah faktor produksi untuk menghasilkan komoditas tertentu. Faktor-faktor produksi yang dimaksud pada garis besarnya terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu sumberdaya alam (tanah dan air), sumberdaya buatan (modal uang dan ragam sarana dan alat produksi), dan sumberdaya manusia (pemilik dan tenaga kerja).

Dengan paradigma seperti itu, kegiatan produksi pertanian lalu dirumuskan dalam suatu model yang sederhana juga, yaitu “tingkat produksi” (Y) sebagai fungsi dari sejumlah faktor produksi (x1-n). Dengan pemodelan seperti itu, sumbangan masing-masing faktor atau keseluruhan faktor terhadap tingkat produksi dapat diukur. Dari situ lalu dimunculkan rekomendasi yang sederhana pula: “jika angka produksi hendak ditingkatkan sekian unit, maka pemakaian faktor produksi Xi harus ditingkatkan sekian unit”.

Berpayung pada paradigma tersebut, pembangunan pertanian selama 35 tahun terakhir di Indonesia, baik pertanian pangan maupun pertanian non-pangan, telah mengukuhkan pupuk dan obat-obatan kimiawi sebagai dua faktor produksi yang dominan (paling signifikan) pengaruhnya. Di lingkungan pertanian tanaman pangan padi, program intensifikasi yang dikenal sebagai “Revolusi Hijau” tahun 1970-an, berhasil ditanamkan suatu anggapan dasar -- atau bahkan telah menjadi semacam dalil -- bahwa “peningkatkan produksi pertanian berbanding lurus dengan peningkatan penggunaan pupuk dan obat-obatan”. Implikasinya, di tingkat mikro atau usahatani pengeluaran untuk kedua faktor produksi tersebut, khususnya pupuk, menjadi dominan dalam struktur biaya produksi. Di tingkat makro, industri pupuk dan obat-obatan pertanian dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia.

Secara khusus di bidang pertanian tanaman pangan padi, dengan merujuk pada paradigma tersebut, implementasi kebijakan pembangunan pertanian telah menampilkan pupuk dan obat-obatan sebagai faktor-faktor produksi utama. Di situ berlaku suatu anggapan kuat bahwa tingkat produksi padi terutama ditentukan oleh tingkat penggunaan (dosis dan komposisi) pupuk dan obat-obatan. Khusus untuk faktor produksi pupuk, anggapan ini bahkan sempat membentuk suatu “Rumus Petani” yang menggariskan bahwa harga gabah harus sebanding dengan harga pupuk. Sampai sekarang, salah satu keluhan utama petani padi adalah soal “harga pupuk yang tinggi”, dalam arti tidak sebanding dengan harga gabah.

Kemandegan, kalau bukan kemunduran, di bidang pertanian tanaman pangan padi adalah hasil mutakhir pembangunan pertanian dengan paradigma lama tersebut. Pertama, setelah mengalami peningkatan sepanjang 1970-an sampai awal 1980-an (7.73 persen/tahun dalam periode 1979-1983 atau Pelita III) sehingga swasembada beras tercapai tahun 1984, pertumbuhan produksi padi (beras) nasional untuk masa selanjutnya cenderung mengalami penurunan bahkan menjadi negatif (-0,69 persen/tahun) dalam periode 1994-1998 (Pelita VI) (Simatupang, 1999). Akibatnya status Indonesia sebagai ”eksportir beras” yang sempat disandang awal 1980-an berbalik lagi menjadi ”importir beras”.

Pupuk kimia dan obat-obatan pertanian bukan lagi ”resep jitu” untuk peningkatan produktivitas, tetapi sebaliknya menjadi ”ancaman sinambung” bagi produktivitas itu sendiri. Pupuk telah menjenuhkan struktur tanah sehingga tindakan pemupukan untuk selanjutnya tidak menghasilkan dampak optimal, ditandai dengan gejala menurunnya produktivitas lahan sawah. Obat-obatan pertanian, khususnya pestisida, secara periodik telah memicu lahirnya mutan-mutan hama dan virus tanaman padi yang resisten terhadap racun. Artinya, dengan kondisi seperti itu, pupuk dan obat-obatan pertanian tidak bisa lagi diklaim sebagai faktor produksi superior, yang mampu menaklukkan pembatas atau kendala alami dalam proses produksi. Dalam kenyataan, penggunaan pupuk dan obat-obatan telah masuk pada kondisi over-intensifikasi dan over-eksploitasi lahan sehingga justru bersifat counter-productive.

Kedua, peningkatan produksi padi sebagai buah intensifikasi pertanian padi sejak 1970-an, terutama semasa Revolusi Hijau yang kerap juga disebut sebagai ”revolusi pupuk”, ternyata bersifat diskriminatif dalam distribusinya. Peningkatan produksi itu, dengan implikasi pada peningkatan pendapatan, ternyata lebih banyak dinikmati oleh golongan minoritas petani besar. Sedangkan petani kecil dan buruh tani relatif kurang menikmatinya. Pada tahun-tahun pertama Revolusi Hijau, Sajogyo (1972) telah mengungkapkan kenyataan ini dan merumuskannya sebagai gejala modernisasi (pertanian) tanpa pembangunan (ekonomi mayoritas petani kecil dan buruh tani). Gejala ini bahkan ditandai dengan gejala polarisasi dalam penguasaan tanah di pedesaan, atau sekurangnya penajaman stratifikasi sosial, sebagai akibat dari proses transfer penguasaan lahan dari petani kecil (yang tidak mampu membiayai teknologi intensifikasi) kepada petani besar (Husken, 1998; Wiradi dan Makali, 1984; Hayami dan Kikuchi, 1981). Proses semacam itu semakin menguatkan proses guremisasi dalam masyarakat petani, sebagaimana terbukti dari peningkatan jumlah petani gurem menurut hasil Sensus Pertanian terakhir (2003).

Jelas di sini, paradigma lama yang memayungi pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan padi di Indonesia sudah mencapai titik buntu dalam mengatasi kedua masalah dasar pertanian padi, yaitu penurunan relatif pada aspek-aspek produktivitas usahatani dan kesejahteraan petani. Itulah ”krisis paradigma” yang sesungguhnya berakar pada dua anggapan yang menyesatkan dalam paradigma tersebut. Anggapan tersebut, pertama, adalah tesis bahwa ”untuk meningkatkan produksi maka penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan harus ditingkatkan”. Anggapan ini menyesatkan karena, seperti diungkap di atas, peningkatan produksi padi sejak paruh kedua tahun 1980-an berlangsung dengan laju yang semakin rendah, tidak lain karena penggunaan pupuk kimia merusak mutu tanah dan penggunaan obat-obatan (racun) telah memicu resistensi hama dan penyakit tanaman.

Anggapan sesat yang kedua adalah klaim bahwa benih, tanah, dan tenaga merupakan faktor-faktor produksi yang setara dengan dengan terutama pupuk dan obat-obatan pertanian. Seperti akan ditunjukkan nanti, ketiganya bukanlah faktor atau sarana produksi melainkan ”unsur dasar pembentuk pertanian” yang merujuk pada suatu inti budaya sebagai simpulnya. Faktor produksi sejati adalah pupuk dan obat-obatan. Itu sebabnya mengapa sumbangan kedua faktor itu selalu menjadi yang paling signifikan dalam setiap pemodelan produksi.

Ironisnya, debat pertanian di Indonesia selama ini justru didominasi oleh dan mengukuhkan kedua anggapan sesat tersebut. Perdebatan setiap memasuki musim tanam selalu berkisar pada masalah harga/kelangkaan pupuk dan obat-obatan dan setiap memasuki musim panen selalu berkisar pada masalah rendahnya harga gabah dibanding harga pupuk/obat-obatan. Jarang sekali perdebatan masuk pada masalah inti budaya yang menyangkut relasi triangular antara unsur-unsur dasar pertanian, yaitu benih, tanah, dan tenaga. Itu sebabnya mengapa kita tidak pernah mengungkap dan memecahkan masalah-masalah dasar pertanian, yang merupakan anteseden bagi dua masalah dasar pertanian tersebut di atas. Akibat lanjutnya, setelah era Revolusi Hijau yang sempat mengedepankan ”benih unggul” awal 1970-an -- sebelum kemudian mengedepankan ”pupuk kimia” -- pertanian kita tidak pernah lagi memasuki tahap perkembangan yang bersifat substantif.

Sekarang pemerintah berharap pertanian kita akan bangkit melalui pencanangan dan pelaksanaan kebijakan Revitalisasi Pertanian (Perikanan dan Kehutanan). Tetapi, suatu sikap pesimistik harus dikemukakan di sini, karena kebijakan tersebut jelas masih bersandar pada paradigma lama. Padahal sudah terbukti paradigma ilmu ekonomi pertanian aliran neo klasik itu sedang mengalami krisis, karena ia tidak mampu mengangkat status pertanian kita secara signifikan ke level yang lebih tinggi. Karena itu, bagaimanapun juga, kebijakan Revitalisasi Pertanian mempersyaratkan suatu paradigma baru. Itulah yang hendak ditawarkan di sini, yaitu paradigma pertanian yang berakar pada perspektif Ekologi Manusia atau secara spesifik ekologi budaya (cultural ecology). Seperti akan dijelaskan nanti, menurut paradigma ekologi budaya ini, pertanian adalah proses dan capaian budaya berkenaan dengan interaksi triangular antara benih, tanah dan tenaga petani.


3. Paradigma Baru: Ekologi Budaya

Paradigma baru atau alternatif yang hendak dimajukan di sini sebenarnya adalah revitalisasi dari paradigma pertanian ”asli”. Pertanian ”asli”, atau dalam arti negatif sering disebut pertanian ”tradisional”, terbentuk dari tiga unsur dasar yaitu benih, tanah, dan tenaga dalam suatu bingkai budaya. Salah satu dari tiga unsur dasar ini tidak boleh bernilai nol, karena jika ada yang demikian, maka resultannya menjadi nol juga. Artinya, tidak ada realisasi kegiatan pertanian jika misalnya unsur tenaga tidak ada, walaupun benih (untuk ditanam) dan tanah (untuk ditanami) tersedia. Bentuk-bentuk pertanian ”asli” ini masih eksis sampai sekarang, antara lain ladang berpindah orang Dayak di Kalimantan, kebun ubi jalar (hipere) orang Papua di Papua Barat, dan pertanian alami orang Badui Dalam di Jawa Barat. Pola terbaru dari pertanian asli ini adalah pertanian organik yang kini mulai berkembang khususnya di sejumlah desa di Jawa. Pola-pola pertanian asli tersebut, baik yang ”lama” maupun yang ”baru”, memiliki satu kesamaan yaitu tidak menggunakan faktor produksi berupa pupuk dan obat-obatan kimiawi.

Kendati ketiga unsur dasar pertanian tersebut berinteraksi secara triangular dalam suatu bingkai budaya, budayalah yang memberi bentuk atau pola pada interaksi antara ketiga unsur dasar tadi. Budaya merumuskan bagaimana benih harus dihubungkan dengan tanah dan bagaimana tenaga harus berperan dalam hal itu. Termasuk dalam perumusan tadi adalah pemilihan jenis-jenih benih yang cocok dengan sifat dan ciri tanah tertentu, atau keputusan mengubah sifat dan ciri tanah agar cocok dengan jenis benih tertentu. Itulah sebabnya mengapa kegiatan pertanian disebut sebagai kegiatan ”budidaya” (Latin: agricola; Inggris: agriculture).

Jika pertanian adalah kegiatan budidaya atau budaya, maka paradigma yang relevan untuk menaungi aktivitas pertanian sesungguhnya adalah paradigma ekologi budaya (Geertz, 1963). Benih yang ditanam, lalu tumbuh dan membuahkan hasil di atas tanah adalah proses sekaligus karya budaya. Itulah definisi pertanian menurut paradigma baru ini. Sudah pasti, lain budaya lain pula pola pertaniannya. Karena itu, menurut teori ekologi budaya, pola pertanian itu sendiri pada dasarnya menunjuk pada suatu ”inti budaya” (cultural core). Menurut Geertz (1963), inti budaya masyarakat petani Jawa misalnya adalah ”pertanian lahan basah” (sawah), dan inti budaya masyarakat petani Luar-Jawa adalah ”pertanian lahan kering”. Tetapi tipologi Geertz ini merujuk pada keadaan di masa kolonial. Sekarang, terutama sejak 1970-an, pertanian sawah juga sudah sangat berkembang di Luar Jawa, antara lain di Sumatera dan Sulawesi.

”Lawan” dari pertanian asli adalah pertanian rekayasa yaitu pertanian ”modern” yang dominan sekarang ini. Pertanian rekayasa ini, karena bernaung pada paradigma lama tadi, tidak mengenal unsur dasar pembentuk pertanian melainkan sejumlah faktor produksi yang dikelola sehingga menghasilkan produk pertanian. Seperti disinggung di muka, dalam pertanian rekayasa status benih, tanah, dan tenaga petani tidak lebih dari sekadar faktor produksi, sama seperti pupuk dan obat-obatan kimiawi (dan air irigasi). Asumsi yang ditegakkan di sini, dan hal itu sungguh menyesatkan, adalah ”bahwa teknologi pupuk dan obat-obatan dapat mengatasi keterbatasan benih, tanah, dan tenaga petani”. Artinya, tidak masalah jika benih tidak unggul, tanah tidak subur, dan tenaga petani terbatas karena semua masalah itu dapat diatasi dengan kemajuan teknologi pupuk dan obat-obatan. Seperti diungkapkan di atas, anggapan tersebut mengandung kepalsuan yang menyesatkan.

Kesesatan yang diakibatkan oleh kepalsuan asumsi paradigma pertanian ”rekayasa” tersebut, seperti sudah disinggung di muka, pertama adalah pengabaian terhadap peran sentral benih sebagai salah satu dari tiga unsur dasar pembentuk pertanian. Saat ini penggunaan pupuk kimiawi misalnya sudah mencakup sekitar 90 persen dari areal tanam padi nasional. Sementara itu penggunaan benih padi unggul (VPT) baru mencakup sekitar 30 persen dari areal tanam. Artinya sekitar 60 persen dari areal tanam tidak menggunakan benih unggul, sehingga penggunaan pupuk di areal tersebut sebenarnya menjadi tidak efektif dan tidak efisien, atau dengan kata lain telah terjadi suatu ”pemborosan berskala nasional”.

Kesimpulan tentang pemborosan tersebut berpangkal pada ”Teori Kesejajaran Sadjad” (Sadjad, Suwarno, dan Hadi, 2001). Menurut teori ini, benih merupakan penentu utama produktivitas, dalam arti semua unsur dasar lain dan faktor-faktor (sarana) produksi tergantung pada kualitas benih. Kualitas benih akan menentukan kualitas terapan teknologi dan manajemen. Berkenaan hubungan benih dan pupuk, setinggi apapun dosis pupuk, jika benih yang digunakan bukan benih unggul yang responsif terhadap pupuk, maka hanya sebagian kecil pupuk yang terserap tanaman dan sebagian besar sisanya mubazir dan malahan merusak struktur tanah.

Tidak hanya pupuk, pemborosan obat-obatan pertanian juga sebenarnya terjadi karena penggunaan benih yang tidak tepat. Sebenarnya, menurut pengetahuan lokal, petani sangat tahu benih padi yang resisten terhadap hama dan penyakit dan sangat tahu bagaimana harus membudidayakannya. Tetapi pengetahuan modern di bidang pertanian ”menyederhanakan”, atau mungkin lebih tepat ”menggampangkan”, segala sesuatunya dengan cara menemukan berbagai jenis obat-obatan pertanian yang berfungsi sebagai amunisi untuk memerangi berbagai jenis hama dan penyakit. Faktanya, tidak ada racun yang ampuh selamanya, karena hama dan bibit penyakit ternyata bermutasi juga sehingga secara periodik muncul strand yang resisten terhadap obat-obatan. Industri obat-obatan pertanian kemudian harus menemukan dan menghasilkan racun baru untuk mengatasinya. Proses balas-membalas atau perang seperti ini telah terjadi di atas lahan pertanian padi sejak 1970-an. Sejarah menunjukkan, manusia hanya bisa mengendalikan alam untuk suatu periode waktu tertentu, tetapi tidak pernah mampu menaklukkannya secara permanen.

Kedua jenis pemborosan di atas, penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian --ditambah biaya alat dan mesin pertanian (alsintan) -- membuat biaya produksi pertanian padi secara keseluruhan menjadi mahal. Tetapi, fakta ini bukannya digunakan untuk menunjukkan adanya krisis paradigma (lama) pertanian, melainkan menjadi pengukuh asumsi ”skala ekonomi minimum” dalam usahatani padi. Diasumsikan dalam paradigma lama tersebut, luas 2.0 hektar merupakan ”skala ekonomi minimum” untuk usahatani padi sawah (di Jawa) dengan paket teknologi intensifikasi. Sudah jelas bahwa mayoritas petani Indonesia tidak akan pernah sanggup memenuhi kriteria ”skala” tersebut. Lalu, mengapa asumsi itu tidak pernah dikoreksi?

Kedua, berkenaan dengan tanah, kesesatan akibat kepalsuan asumsi paradigma lama itu adalah pemupukan-berlebih yang menyebabkan kerusakan struktur tanah sawah. Pemupukan memang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Tetapi, jangan dilupakan, ada yang disebut sebagai ”batas-batas pertumbuhan”. Pada titik tertentu, pemupukan yang terus-menerus menyebabkan tanah jenuh, sehingga bukan saja strukturnya menjadi rusak tetapi juga memberikan respon balik negatif berupa penurunan angka peningkatan produktivitas. Itulah yang terjadi terutama dengan lahan pertanian sawah irigasi di Indonesia, sehingga sekarang sebenarnya sudah saatnya untuk menekan penggunaan pupuk sampai tingkat serendah mungkin.

Ketiga, berkenaan dengan budaya petani, kesesatan akibat kepalsuan asumsi paradigma lama tadi adalah pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian yang dipercaya mencerahkan petani tetapi dalam kenyataannya justru merupakan proses ”pembodohan” pada petani. Penyuluhan itu ”memaksakan” inovasi pertanian berdasar pengetahuan saintifik (sains modern), sehingga berimplikasi pembodohan langsung berupa memudarnya kearifan atau pengetahuan pertanian lokal yang sejak lama sudah teruji sebagai acuan untuk menjalankan pertanian lestari. Bersamaan dengan itu, kehadiran penyuluh yang (harus) selalu ”siap membawakan jawaban untuk masalah pertanian” (spesialis ataupun polivalen) berimplikasi pembodohan tak langsung, tidak lain karena jawaban-jawaban tersebut adalah inovasi-inovasi pertanian oleh industri dan lembaga penelitian yang justru membuat petani menjadi ”malas berfikir”. Kerjasama lembaga penelitian dan industri hulu pertanian telah mengambil-alih ”hak berfikir” pada petani secara tidak disadari. Jika tanah tandus, pihak lembaga penelitian dan industri siap memikirkan dan menemukan pupuk yang tepat. Jika muncul hama atau penyakit tanaman padi tertentu, lembaga penelitian dan industri siap menemukan racun mujarab. Akibatnya, petani padi kita sekarang mengalami ”kemandegan” kalau bukan ”kemerosotan” budaya. Bahkan, mungkin, petani padi tidak lagi memiliki ”budaya tani” dalam arti yang ”sejati” (genuine).

Paradigma ekologi budaya, jika ia diterima sebagai payung kegiatan pengembangan pertanian khususnya padi, niscaya dapat mengatasi ketiga masalah dasar di atas, sehingga pertanian padi kita akan terbebas dari krisis berkepanjangan. Dengan paradigma baru tersebut di atas pemborosan sumberdaya buatan (pupuk dan obat-obatan) dapat dihindari, kerusakan sumberdaya alami khususnya tanah dapat dihindari, dan pembodohan petani (secara budaya) dapat diakhiri. Pada gilirannya, pertanian kita khususnya pertanian padi dapat mencapai kinerja yang optimal secara berkelanjutan. Dengan kata lain aktivitas pengembangan pertanian berdasar paradigma ekologi budaya dengan sendirinya akan menjamin peningkatan pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan di bidang pertanian.

Paradigma ekologi budaya sebagai paradigma baru pertanian dapat digambarkan sebagai interaksi triangular antara unsur-unsur dasar benih, tanah, dan tenaga (petani) yang berpusat pada budaya. Dalam bentuk kalimat definitif, di atas telah dirumuskan bahwa ”benih yang ditanam lalu tumbuh dan membuahkan hasil di atas tanah adalah proses sekaligus karya budaya”. Artinya, lebih luas dari sekadar kegiatan ekonomi, pertanian adalah suatu gejala kebudayaan.

Rumusan pertanian di atas mendasarkan diri pada tiga asumsi dasar paradigmatik sebagai berikut. Pertama, benih, tanah, dan tenaga adalah tiga unsur dasar yang membentuk pertanian melalui proses interaksi triangular yang berpusat pada budaya tertentu. Implikasi asumsi ini: pengembangan benih, tanah, dan tenaga yang unggul berikut pola interaksi berinti budaya antara ketiganya harus menjadi fokus utama dalam pengembangan pertanian. Lebih mendasar lagi, karena merupakan unsur dasar pembentuk pertanian yang bersifat absolut, maka ketiganya adalah hak dasar atau azasi petani yang keberadaannya harus dijamin oleh negara(lihat Soetrisno, 2002).

Kedua, dari tiga unsur dasar tersebut benih merupakan unsur dasar yang menjadi penentu utama atau ”patokan dasar” tingkat perkembangan dan kemajuan pertanian, sehingga efektivitas faktor-faktor produksi akan ditentukan oleh tingkatan teknologi benih. Implikasi asumsi ini: penggunaan benih yang tidak unggul akan menghasilkan pertanian yang tidak unggul tetapi, sebaliknya, penggunaan benih unggul akan menghasilkan pertanian yang unggul atau menghela pertanian menuju taraf unggul.

Ketiga, faktor-faktor produksi khususnya pupuk, obat-obatan, dan alsintan bersifat supportif terhadap ketiga unsur dasar pembentuk pertanian: pupuk (dan air irigasi) adalah faktor supportif untuk tanah, obat-obatan adalah faktor supportif untuk benih, dan alsintan adalah faktor supportif untuk tenaga petani, dalam arti meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja petani Implikasi asumsi ini: fokus aktivitas pengembangan inovasi pertanian harus bergeser dari tiga serangkai ”pupuk-obat-alsintan” ke tiga serangkai ”benih-tanah-tenaga”. Jika dalam paradigma lama ”pupuk-obat-alsintan” ditempatkan sebagai ”pusat” dinamika perkembangan pertanian, maka dalam paradigma baru tempatnya digeser ke ”pinggiran”.

Satu hal yang sangat mendasar dari asumsi-asumsi paradigma ekologi budaya tersebut adalah implikasi dari penempatan benih pada posisi patokan dasar. Pertama, dengan memposisikan benih sebagai patokan dasar, maka tingkat kemajuan atau mutu pertanian ditentukan oleh tingkat mutu teknologi benih. Sesuai Teori Kesejajaran Sadjad tadi, semakin tinggi mutu teknologi benih, maka (secara potensil) semakin tinggi pula mutu pertanian. Dewasa ini mutu kemajuan pertanian padi Indonesia masih rendah karena baru sekitar 30 persen lahan pertanian padi menggunakan benih unggul (bersertifikasi) yang dihasilkan melalui teknologi tinggi.

Kedua, dengan memposisikan benih sebagai patokan dasar, maka penggunaan pupuk dan obat-obatan dapat lebih efisien dan efektif, karena jenis dan jumlahnya sudah disesuaikan dengan kebutuhan yang dipersyaratkan oleh kualitas benih. Sekarang penggunaan pupuk pada 60 persen lahan pertanian padi tidak efektif dan tidak efisien, karena benih yang digunakan bukan benih unggul yang responsif terhadap pupuk kimia.

Ketiga, karena benih menjadi patokan dasar penentu tingkat kemajuan pertanian, maka penelitian dan pengembangan benih dan pembangunan industri perbenihan yang kuat harus menjadi prioritas pemerintah dalam rangka revitalisasi pertanian. Selama ini, pembangunan industri perbenihan nasional jauh tertinggal dibanding khususnya industri pupuk dan obat-obatan pertanian.

Tiga butir implikasi tersebut di atas kemudian menempatkan benih sebagai unsur kunci dalam proses pengembangan pertanian. Jika dikaitkan dengan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), maka benih merupakan faktor kunci dalam proses revitalisasi pertanian khususnya pertanian padi.


4. Revitalisasi Pertanian dengan Paradigma Baru

Secara ringkas, kebijakan dan strategi umum RPPK berpusat pada tiga tujuan pokok, semacam trilogi RPPK. Pertama, pemerataan melalui penanggulangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, dan pencapaian skala ekonomis usaha PPK. Kedua, pertumbuhan melalui peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi PPK. Ketiga, keberlanjutan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Jika paradigma ekologi budaya diterima sebagai paradigma pengembangan pertanian, khususnya di bidang pertanian tanaman padi, maka ada tiga kunci dasar untuk mencapai ketiga tujuan tersebut di atas. Pertama adalah ketersedian benih padi unggul bagi petani; kedua, adalah ketersediaan tanah (lahan) yang layak dan berkepastian; ketiga, adalah pemberdayaan sosial-budaya, khususnya aspek organisasi dan manajemen, bagi petani.

Tiga kunci dasar tersebut jelas mengandaikan kehadiran tiga kelompok (sub-jaringan) institusi pertanian yang kuat untuk mendukung perkembangan pertanian. Pertama adalah institusi penelitian/pengembangan dan industri benih pertanian; kedua, institusi penelitian/pengembangan dan penata-gunaan tanah pertanian; ketiga, institusi penelitian/pengembangan dan pemberdayaan sosial-budaya petani/pertanian. Tiga kelompok institusi tersebut harus terkait secara setara satu sama lain -- dalam arti berinteraksi -- membentuk jaringan besar pengembangan pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan padi. Pengembangan ketiga kelompok institusi tersebut jelas juga mempersyaratkan pendekatan lintas-kompetensi (disiplin, sektor, dan lain-lain), semenjak dari tahap penelitian.


4.1. Pengembangan unsur dasar benih

Benih membuka pintu menuju pencapaian ketiga tujuan revitalisasi pertanian, sedikitnya dengan tiga cara. Pertama, benih unggul jika berinteraksi dengan tanah yang tepat (didukung pupuk dan irigasi yang tepat dalam arti sesuai karakteristik benih) dan budaya (organisasi dan manajemen) yang tepat dari petani, akan menghasilkan pertanian yang unggul dalam produktivitas, daya saing, nilai tambah, dan kemandirian.

Kedua, benih unggul, jika didukung dengan kegiatan penelitian dan pengembangan yang mumpuni, dapat dikembangkan menuju kualitas ”benih hijau”, yaitu benih ramah lingkungan karena hemat pupuk dan obat-obatan, hemat air, dan kaya karbohidrad serta protein nabati. Benih unggul dengan kualifikasi ramah lingkungan (benih hijau) akan menjamin keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan hidup. Terkait dengan ini, penelitian benih harus dilakukan dengan merujuk pada -- atau dalam harmoni dengan -- penelitian/pengembangan tanah.

Ketiga, benih unggul, jika dapat diakses petani secara merata, dapat mendukung terbentuknya pertanian yang lebih intensif, menyerap tenaga kerja lebih banyak, bebas dari masalah ”skala ekonomi minimum” (”kecil itu indah”, dalam arti efisien dan efektif), dan menghasilkan surplus serta pendapatan yang lebih besar. Kualitas pertanian seperti itu dapat menjamin tercapainya pemerataan sosial-ekonomi.

Masalahnya, bagaimana agar petani dapat mengakses benih unggul, atau agar 100 persen lahan pertanian ditanami benih unggul? Hal ini bersangkut-paut dengan tiga hal yaitu penelitian, produksi, dan distribusi benih. Pertama, berkenaan dengan hal tersebut pertama, penelitian benih harus diarahkan pada penganekaragaman benih tanaman pangan khususnya padi, terutama melalui penelitian dan pengembangan benih-benih padi unggul lokal yang sudah teruji kecocokannya dengan agro-ekologi setempat. Pendekatan ini sekaligus dimaksudkan untuk pelestraian kekayaaan plasma nuftah tanaman pangan khususnya padi nusantara. Mengingat areal lahan kering jauh lebih luas dibanding areal lahan basah, maka penelitian idealnya diarahkan pada pengembangan ragam varietas benih tanaman pangan khususnya padi lahan kering, atau sekurang-kurangnya berimbang dengan pengembangan benih padi lahan basah.

Kedua, berkenaan dengan produksi benih, industri perbenihan memerlukan restrukturisasi. Untuk menghindari produksi benih bermutu rendah, dan ini lazimnya dilakukan oleh produsen-produsen lokal, maka seluruh produsen benih sebaiknya diorganisir dalam wujud jaringan yang mengaitkan produsen-produsen lokal satu sama lain secara horizontal dan dengan produsen nasional secara vertikal. Simpul utama jaringan itu, yaitu sentrumnya, adalah suatu perusahaan industri benih tanaman pangan aras nasional (milik negara) yang sudah teruji dan terbukti peran pentingnya dalam proses pembangunan pertanian sejak 1970-an. Perusahaan industri benih nasional yang menjadi simpul jejaring tersebut harus dikembangkan menjadi industri maju yang sudah memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan yang mampu menghasilkan varietas baru sendiri. Dengan demikian industri benih memiliki posisi-tawar yang sama kuat ketika berinteraksi dengan institusi penelitian dan pengembangan benih tanaman pangan khususnya padi.

Ketiga, berkenaan dengan distribusi benih kepada petani, di atas sudah dikemukakan bahwa benih, tanah, dan tenaga adalah hak-hak azasi manusia petani yang keberadaannya harus dijamin oleh negara. Jika tenaga sudah ada di tangan petani, tanah juga dapat diakses melalui institusi penguasan tanah tertentu, maka benih selayaknya juga disediakan oleh negara untuk petani. Dengan kata lain, dalam rangka Revitalisasi Pertanian, benih unggul harus tersedia bagi petani atas biaya negara, tidak disubsidi tetapi gratis sebagai hak yang dijamin negara.

Jika benih disepakati sebagai patokan dasar taraf kemajuan pertanian, maka industri penghasil faktor (sarana) produksi pupuk, obat-obatan dan alsintan harus selalu mengacu pada kualitas yang dipersyaratkan benih unggul tersebut. Jelas di sini, agroindustri pupuk, obat-obatan, dan alsintan harus mampu menghasilkan faktor-faktor (sarana) produksi yang sejajar (setara) dengan kualitas benih unggul dan bermutu yang digunakan petani. Pada saat yang sama, institusi pasar di hilir juga harus mengantisipasi peningkatan kualitas pertanian, dengan menciptakan kelembagaan pasar yang memberi surplus yang lebih besar lagi bagi petani.

4.2. Pengembangan unsur dasar tanah

Sama seperti pengembangan unsur benih, pengembangan unsur dasar tanah juga tergolong lambat. Masalah degradasi tanah sawah akibat pemupukan berlebih, sebagai contoh, sampai sekarang masih tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Potensi tanah non-sawah, terutama lahan kering, untuk pertanian padi sejauh ini juga belum berkembang. Padahal, dalam pidato peletakan batu pertama Fakultas Pertanian UI (sekarang IPB) di Bogor tahun 1963, Soekarno (waktu itu Presiden RI) sudah menegaskan visi pertanian kita yaitu pertanian lahan kering skala besar, terutama di luar Jawa, untuk menjamin ketahanan pangan nasional. Sampai sekarang, lebih dari empat dekade setelah visi itu dicanangkan, Indonesia belum juga memiliki pertanian padi lahan kering yang kuat. Penelitian tanah untuk pertanian tanaman pangan, khususnya padi, sekarang ini masih terpenjara pada penelitian tanah sawah.

Keterpenjaraan seperti itulah yang kemudian melegitimasi proyek lahan sawah gambut sejuta hektar di Kalimantan -- yang sangat ambisius tetapi jelas gagal.
Tetapi, sementara sumberdaya penelitian dihabiskan untuk peningkatan mutu tanah sawah, pada saat bersamaan proses konversi telah menghilangkan sawah-sawah terbaik dari tahun ke tahun. Tanah sawah dalam luasan besar telah dialih-fungsikan menjadi kawasan non-pertanian terutama kawasan industri, pemukiman, jalan raya, dan perkantoran, dan juga menjadi kawasan pertanian non-sawah antara lain tambak, perkebunan, dan palawija. Pertambahan areal sawah baru, sementara itu, tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya fungsi-fungsi areal sawah yang sudah hilang terkonversi.

Dalam prespektif ekologi budaya, manusia melalui keunggulan budayanya dilihat sebagai unsur yang merubah tampakan alami tanah. Petani sawah Jawa, jika dipindahkan ke luar Jawa, selalu berusaha mengembangkan sawah, walaupun di lokasi itu semula tidak ada sawah. Hal seperti itu terjadi karena proses sosialisasi masyarakat petani sawah Jawa sudah membekali setiap orang dengan sikap hidup, pengetahuan dan keahlian bersawah. Seandainya sosialisasinya membekali mereka dengan sikap hidup, pengetahuan, dan keahlian berladang padi, niscaya mereka akan membuka ladang padi juga di daerah baru.

Tetapi budaya petani, dalam kaitan dengan pengolahan tanah, tidak mungkin berkembang maju jika hanya mendasarkan pada proses-proses kreatif yang bersifat internal, khususnya perkembangan pengetahuan asli. Budaya petani akan lebih berkembang jika berorientasi pada pengembangan pengetahuan lokal, yaitu interaksi antara pengetahuan asli (indigenous knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Karena itu penelitian tanah harus dilakukan dalam kerangka komunikasi dengan pengetahuan asli petani, sehingga pada gilirannya akan memperkaya pengetahuan lokal.

Sudah pasti survai sifat dan ciri tanah mutlak diperlukan untuk memetakan potensi tanah pertanian secara nasional. Tetapi, hasil survei seperti itu tidak harus ditutup dengan suatu rekomendasi pengubahan sifat dan ciri tanah melalui perlakuan tertentu (misalnya rekomendasi komposisi dan dosis pemupukan) supaya cocok untuk tanaman tertentu (yang hendak dikembangkan pemerintah). Lebih penting dari itu adalah memahami budaya petani yang membentuk ekologi budaya setempat, sekaligus mempelajari benih-benih tanaman pangan khususnya padi yang dibudidayakan petani setempat. Pada titik ini penelitian tanah memang harus berkomunikasi dengan penelitian budaya petani dan penelitian benih tanaman pangan. Dengan kata lain, penelitian/pengembangan tanah pertanian tidak bisa berjalan sendiri lagi seperti terjadi selama ini.

Seperti halnya penelitian/pengembangan benih tanaman pangan, penelitian tanah juga harus lebih diarahkan pada lahan kering, dalam rangka mendukung pengembangan pertanian tanaman pangan (khususnya padi) lahan kering yang maju. Sementara penelitian lahan basah khususnya sawah tetap dilakukan secara intensif untuk, pertama, mendukung pemulihan kualitas tanah yang telah merosot akibat tindakan pemupukan berlebih sejak tahun 1970-an, dan; kedua, meningkatkan mutu tanah pertanian tanaman pangan khususnya sawah utama secara alami (ekologis) untuk mengimbangi kehilangan lahan sawah utama akibat konversi.

4.3. Pemberdayaan sosial-budaya petani

Di muka sudah di sebutkan bahwa proses penyuluhan pertanian terutama selama periode ”Revolusi Hijau” adalah proses pembodohan dan pelemahan secara sosial-budaya. Dalam periode tersebut petani padi telah kehilangan ”pengetahuan dan teknologi asli” karena diganti-paksa dengan ”pengetahuan dan teknologi asing” melalui proyek modernisasi pertanian. Tidak hanya pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial petani padi juga diganti paksa dari tipe ”partisipatoris” ke tipe ”mobilisasi”, yaitu terutama kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) yang diklaim sebagai ”organisasi modern”.

Modernisasi pertanian yang digerakkan melalui proses penyuluhan pertanian yang bersifat memaksa memang berhasil menciptakan pertanian ”modern” dalam arti teknis-operasional. Tetapi, ia gagal membentuk karakter ”modernitas” pada petani, sejauh modernitas dipahami sebagai ”tradisi kebaruan”. Maksudnya, modernisasi gagal membentuk perilaku eksploratif dan inovatif pada petani. Karakter yang terbentuk adalah dependensi, dalam arti menggantungkan kelangsungan pertanian pada eksplorasi dan inovasi yang dilakukan institusi-institusi penelitian dan industri di luar komunitas petani. Bahkan keputusan produksi juga sebenarnya tidak berada di tangan petani, melainkan di tangan pemerintah yang menempatkan petani pada posisi ”tenaga kerja milik negara” yang harus dimobilisir untuk mencapai swasembada beras nasional. Ini berarti bahwa di masa Revolusi Hijau, dan bahkan gejalanya masih teramati hingga sekarang, petani tidak berdaulat atas otak dan ototnya.

Dengan kata lain proses pengembangan pertanian selama ini tidak menguatkan otonomi petani, melainkan mencabutnya. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan proses penyuluhan pertanian sebenarnya adalah intervensi negara ke ruang otonomi petani dengan maksud melemahkan kekuatan sosial petani, sehingga mudah dikendalikan atau dimobilisir untuk memenuhi kepentingan negara. Di situ penyuluhan bukanlah proses komunikasi dalam arti dialog setara yang bebas dari kekuasaan, melainkan proses mobilisasi dalam arti perintah searah yang sarat kekuasaan. Pola seperti itulah memang yang cocok dengan paradigma lama, karena pengembangan pertanian pada masa tersebut adalah perkara utak-atik model produksi. Sudah pasti suatu mobilisasi petani akan menjadi keharusan jika, misalnya, keragaan salah satu faktor produksi dalam model tersebut akan diubah secara nasiona, misalnya jenis benih, komposisi dan dosis pupuk, jenis obat-obatan, dan lain-lain.

Paradigma ekologi budaya mempersyaratkan kehadiran petani yang otonom. Karena secara faktual kini petani padi kita secara sosial-budaya ”lemah” dan "bodoh”, maka tidak ada pilihan lain kecuali melakukan pemberdayaan sosial-budaya. Orientasinya adalah pemulihan dan pengembangan otonomi petani melalui pembentukan organisasi petani yang kuat, dalam arti memiliki posisi tawar yang setara dengan institusi/organisasi sosial lain (pemerintah dan swasta) yang menempatkan pertanian padi sebagai salah satu pusat kegiatannya.

Organisasi petani yang dimaksud adalah organisasi korporasi yang mengelola suatu usaha milik petani secara profesional. Ini serupa dengan gagasan Pakpahan et al. (2005) tentang pengembangan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dalam rangka mewujudkan industrialisasi pertanian Indonesia. Kepemilikan petani atas organisasi korporasi tersebut idealnya bersifat individual dalam bentuk saham (tanah) dan sekaligus kolektif dalam bentuk koperasi. Koperasi adalah pilihan tipe yang tepat untuk organisasi korporasi petani tersebut.

Sebagai wujud keberdayaan, sudah pasti koperasi yang dimaksud di sini bukanlah semacam Koperasi Unit Desa (KUD) yang pada dasarnya hanya perpanjangan tangan negara yang berwatak korporatis. Sebagai organisasi korporasi, koperasi tersebut adalah ruang sekaligus wahana otonomi petani baik di bidang ekonomi dan sosial. Dalam kerangka itu, maka pemberdayaan sosial-budaya petani harus memberi penekanan pada penguatan aspek-aspek modal dan manajemen. Salah satu fokus penguatan itu, yang merepresentasikan kekuatan modal (khususnya modal sosial) dan manajemen, adalah pengembangan jejaring sosial-ekonomi yang menempatkan organisasi korporasi petani sebagai simpul utama (inti).

Dengan orientasi demikian, sudah pasti bahwa urusan pemberdayaan sosial-budaya petani tersebut tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan pada institusi penyuluhan pertanian. Perusahaan agribisnis swasta dan milik negara dan kekuatan organisasi non-pemerintah (misalnya HKTI, KTNA, Serikat Petani) dengan sendirinya juga harus berperanserta di situ. Lagi pula, jika institusi penyuluhan pertanian milik pemerintah akan berperanserta, maka watak dan strukturnya harus diubah, supaya lebih demokratis dan lentur. Dalam rangka itu istilah ”penyuluhan” sendiri, yang makna dan arahnya bertolak-belakang dengan istilah ”pemberdayaan”, harus dihilangkan dari nomenklatur pengembangan pertanian.


5. Gagasan ”Inkorporasi Beras”

Jika paradigma ekologi manusia dapat diterima sebagai acuan pengembangan pertanian padi, maka gagasan ”Inkorporasi Beras” dapat dipertimbangkan sebagai kerangka kerja yang relevan. Gagasan itu tidak saja relevan dengan konteks sosial-ekonomi dan politik perberasan nasional dewasa ini, tetapi juga relevan dengan kerangka revitalisasi pertanian. Terlebih lagi, gagasan Inkorporasi Beras sangat relevan dengan kebutuhan mendesak untuk pemberdayaan sosial-budaya petani, karena ia menempatkan organisasi (korporasi) petani sebagai simpul utama (inti) dari jejaring inkorporasi.

Ide dasar ”Inkorporasi Beras” adalah pertanian (primer) padi sebagai proses dan hasil budaya yang melibatkan interaksi tiga institusi inti yaitu organisasi korporasi petani (di sini tercakup unsur dasar ”tenaga”), industri perbenihan (membawakan unsur dasar ”benih”), dan institusi penelitian dan penataan tanah (membawakan unsur dasar ”tanah”. Budaya tani padi tersebut dalam prosesnya didukung oleh sejumlah kekuatan yang secara keseluruhan terjalin dalam jejaring Inkorporasi Beras Indonesia.

Kekuatan yang dimaksud adalah, pertama, sinergi benih dan tanah, yaitu inovasi-inovasi perpaduan benih-tanah dengan produktivitas optimal. Inovasi-inovasi tersebut adalah hasil penelitian dan pengembangan yang secara langsung melibatkan institusi penelitian benih padi (a.l. Balai Penelitian Padi), institusi penelitian tanah (a.l. Balai Penelitian Tanah, Bakosurtanal) dan penataan tanah (Badan Pertanahan Nasional), dan industri benih padi (a.l. Sang Hyang Seri). Proses-proses inovasi itu melibatkan juga organisasi korporasi petani, melalui interaksinya dengan dua institusi tersebut terakhir.

Kedua adalah kekuatan pasar sarana produksi padi (saprodi) yang terbentuk dari interaksi organisasi petani, industri benih, dan industri saprodi. Dalam hal ini, pasar saprodi tidak dikendalikan oleh industri saprodi, melainkan oleh spesifikasi benih padi. Artinya, karena benih merupakan patokan dasar kemajuan teknologi dan manajemen pertanian, maka pasar saprodi harus tunduk pada tuntutan kebutuhan benih. Pada tahapan tertentu, jika benih padi sudah mencapai tingkatan ”benih hijau”, maka kebutuhan saprodi dapat dipastikan akan menurun. Tetapi, sekarangpun, jika petani tunduk pada kebutuhan saprodi khususnya pupuk dan obat-obatan yang dipersyaratkan benih dengan spesifikasi tertentu, mestinya permintaan akan saprodi tidak terlalu besar. Masalahnya sekarang, spesifikasi sebagian terbesar benih padi yang digunakan petani tidak jelas, sehingga tidak bisa dilakukan perhitungan yang pasti tentang kebutuhan misalnya pupuk dan oobat-obatan. Petani selalu mengasumsikan ”semakin banyak pupuk, semakin tinggi produksi”.

Ketiga adalah kekuatan pasar kredit pertanian, baik kredit produksi pertanian primer maupun kredit investasi terkait dengan penanganan pasca-produksi. Jenis kredit pertama merupakan hasil interaksi antara organisasi petani dengan institusi bank pertanian dan industri saprodi. Sedangkan jenis kredit kedua merupakan hasil interaksi antara organisasi petani dengan institusi bank pertanian dan organisasi perdagangan beras/padi (swasta dan milik negara/BULOG). Hal yang sangat mendasar di sini adalah kebutuhan akan kehadiran institusi bank pertanian. Sekarang ini di Indonesia tidak ada satu bank yang dapat disebut sebagai bank pertanian, dalam arti menempatkan kredit petani/pertanian sebagai bisnis utama (core business). Bank Rakyat Indonesia (BRI), sebagai satu-satunya bank pemerintah yang memusatkan perhatian pada kredit mikro (untuk bisnis mikro), juga tidak memiliki skim kredit komersil khusus pertanian. Bank ini hanya melayani kredit pertanian, misalnya kredit Bimas dan Kredit Ketahanan Pangan, sejauh itu merupakan kredit program.

Keempat adalah kekuatan pasar beras/padi yang merupakan hasil interaksi antara organisasi petani, organisasi perdagangan beras/padi, dan konsumen (rumahtangga dan industri). Jika organisasi petani memiliki kekuatan yang setara dengan organisasi perdagangan padi/beras, maka petani akan terbebas dari posisi ”penerima harga” (price taker). Harga beras/padi benar-benar akan dihasilkan dari kekuatan pasar yang menempatkan petani, pedagang, dan konsumen dalam hubungan triangular yang simetris.

Gagasan Inkorporasi Beras ini dengan tegas menempatkan organisasi petani sebagai simpul utama jaringan. Artinya, setiap langkah dari berbagai kekuatan-kekuatan lain dalan jejaring inkorporasi itu harus selalu merujuk pada kepentingan sosial-budaya dan sosial-ekonomi petani. Sebagai konsekuensinya, Inkorporasi Beras mempersyaratkan kehadiran organisasi korporasi petani modern yang kuat secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Jika tidak demikian, maka ia tidak akan memperoleh manfaat apapun dari inkorporasi melainkan, seperti gejala yang teramati selama ini, ia justru menjadi ”sapi perah” bagi kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi lain yang tergabung dalam jejaring Inkorporasi Beras tersebut.


6. Penutup

Sudah pasti pokok-pokok pikiran dan gagasan yang dimajukan dalam tulisan ini harus diuji baik pada tataran teori melalui diskusi panjang dan mendalam maupun pada tataran empiri melalui uji-coba gagasan di lapangan. Gagasan “Inkorporasi Beras”, bagaimanapun juga, layak dikaji lebih jauh secara kritis untuk kemudian diuji-cobakan melalui suatu “proyek pemandu” (pilot project). Dengan menempatkannya dalam kerangka otonomi daerah (kabupaten), uji-coba gagasan tersebut dapat dirancang dan dilakukan di dua kabupaten (Jawa dan Luar Jawa) yang mengidentifikasi diri sebagai “lumbung padi”. Mengingat sifatnya yang “uji-coba” maka jelas di situ diperlukan kehadiran suatu institusi penelitian sosial-ekonomi pertanian yang kuat, untuk menjalankan suatu peran penelitian-aksi (action research) sehingga dapat ditemukan suatu pola generik dari gagasan tersebut. Pola generik itulah yang kemudian dapat diangkat menjadi suatu kebijakan pengembangan pertanian padi nasional.


Daftar Pustaka

Geertz, C., 1963, Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia, Berkeley: Univ. of California Press.
Hayami, Y. and M. Kikuchi, 1981, Asian Village Economy at the Cross Roads: An Economic Approach to Institutional Change, Tokyo: Univ. of Tokyo Press.
Husken, F., 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: Gramedia.
Pakpahan, A. et al., 2005, Membangun Pertanian Indonesia: Bekerja Bermartabat dan Sejahtera, Bogor: Himpunan Alumni IPB.
Sadjad, S., F.C. Suwarno, dan S. Hadi, 2001, Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Sajogyo, 1972, ”Modernization without Development in Rural Java”, Bogor: Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan.
Simatupang, P.,1999, “Alternatif Baru Kebijaksanaan Perberasan: Stabilisasi Harga On Trend, Intensifikasi Berkelanjutan dan Jaring Pengaman Ketahanan Pangan” dalam T. Sudaryanto, I.W. Rusastra dan E. Jamal, Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi, Bogor: Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi Pertanian Balitbangtan.
Soetrisno, L., 2002, Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wiradi, G. dan Makali, 1984, ”Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam F. Kasryno (Ed.), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar rutin Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian RI, Bogor, 31 Agustus 2006. Dimuat dalam jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 04, No. 03 Th. 2006. Tulisan ini sudah mengalami perbaikan minor.

Senin, 11 Mei 2009

Revolusi Paradigma Menuju Inkorporasi Beras

Oleh MT Felix Sitorus

Pembentukan inkorporasi beras dapat menjadi jalan keluar dari krisis perberasan nasional. Syaratnya, harus ada revolusi paradigma pertanian padi. Tidak seperti selama ini, hanya mengotak-atik instrumen pasar/produksi.

Paradigma yang meraja sekarang, yaitu paradigma ekonomi, melihat pertanian padi semata sebagai kegiatan produksi yang menga- winkan sejumlah sarana produksi untuk menghasilkan padi/beras. Peningkatan sarana produksi tertentu diyakini meningkatkan produksi padi.

Paradigma tersebut lalu mengukuhkan dominasi sarana produksi pupuk dan obat-obatan kimia. Tingkat produksi padi didalilkan berbanding lurus dengan tingkat penggunaan pupuk dan obat-obatan.

Paradigma ekonomi itu kini sedang mengalami krisis. Ia telah gagal menjawab masalah dasar pertanian padi yaitu kemunduran produktivitas usaha tani dan kesejahteraan petani. Karena itu pertanian padi sekarang ini sedang dalam kondisi krisis.

Sempat menaik semasa 1970-1985, sehingga swasembada beras tercapai, pertumbuhan produksi padi nasional cenderung menurun sejak paruh kedua 1980-an. Akibatnya, kita kembali mengimpor beras, sampai sekarang.

Peningkatan produksi padi sejak tahun 1970-an juga terutama dinikmati minoritas petani kaya. Sementara mayoritas petani miskin tani gigit jari.

Krisis pertanian padi itu berakar pada dua anggapan paradigma ekonomi yang menyesatkan. Pertama, asumsi bahwa produksi akan meningkat jika penggunaan pupuk dan obat-obatan meningkat. Faktanya, laju peningkatan produksi padi sejak akhir 1980-an cenderung menurun. Ini karena pemupukan telah merusak mutu tanah dan obat- obatan memicu resistensi hama dan penyakit tanaman.

Kedua, asumsi bahwa benih, tanah, dan daya petani adalah sarana produksi yang setara dengan pupuk dan obat-obatan. Ketiganya bukan sarana produksi melainkan unsur dasar pembentuk pertanian.

Ironisnya, debat pertanian padi atau perberasan selama ini justru mengukuhkan kedua anggapan sesat itu. Setiap musim tanam semua ribut soal pupuk dan obat-obatan. Persoalan mendasar yaitu krisis paradigma didiamkan.

Akibatnya, masalah dasar pertanian padi tak kunjung terpecahkan. Kemerosotan produksi/produktivitas dan kesejahteraan petani padi terus berlanjut. Keamanan pangan beras nasional menjadi rentan.

Tiga Kunci

Kini saatnya revolusi paradigma pertanian padi. Paradigma ekonomi telah gagal. Paradigma baru harus ditegakkan.

Paradigma ekologi budaya, yang melihat pertanian padi proses dan karya budaya, ditawarkan sebagai alternatif. Menurut paradigma ini, pertanian adalah interaksi triangular antara unsur-unsur dasar benih, tanah, dan daya petani, yang dipolakan secara unik oleh suatu bingkai budaya.

Paradigma itu bersandar pada tiga asumsi dasar. Pertama, benih, tanah, dan daya petani adalah tiga unsur dasar pembentuk pola pertanian padi. Karena itu pengembangan pertanian harus difokuskan pada ketiga unsur itu.

Kedua, benih adalah penentu utama tingkat kemajuan pertanian. Semakin tinggi taraf teknologi benih, semakin tinggi keunggulan pertanian. Efisiensi dan keefektifan sarana produksi ditentukan oleh tingkat teknologi benih.

Ketiga, sarana produksi bersifat suportif terhadap unsur dasar. Pupuk mendukung tanah, obat-obatan mendukung benih, dan alsintan mendukung daya petani. Karena itu fokus pengembangan inovasi pertanian harus bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-alsintan” ke tiga serangkai “benih-tanah-daya”.

Dalam konteks revitalisasi pertanian, paradigma ekologi budaya memberi tiga kunci untuk mencapai sekaligus pemerataan, pertumbuhan, dan keberlanjutan. Kunci pertama, adalah penyediaan benih unggul bagi petani dengan dukungan institusi litbang dan industri benih yang kuat. Karena itu pengembangan perbenihan harus menjadi prioritas revitalisasi per-tanian padi.

Benih membuka pintu pencapaian tujuan revitalisasi dengan tiga cara. Pertama, interaksi benih unggul dengan tanah dan budaya tani yang tepat akan menghasilkan pertanian yang unggul. Kedua, kegiatan litbang yang kuat akan menghasilkan benih unggul ramah lingkungan yang menjamin keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan.

Ketiga, akses petani secara adil terhadap benih unggul akan menciptakan pertanian intensif, padat kerja, dan menghasilkan surplus besar sehingga pemerataan ekonomi tercapai.

Tiga cara itu mempersyaratkan reformasi perbenihan. Penelitian harus diarahkan pada diversifikasi benih, dengan memperhatikan potensi padi unggul lokal. Untuk menghindari produksi benih bermutu rendah, industri benih rakyat harus didampingi industri benih modern milik negara. Lalu negara menjamin distribusi benih kepada petani.

Kunci kedua adalah penyediaan tanah secara layak dan pasti dengan dukungan institusi litbang dan tata guna tanah yang kuat. Litbang tanah difokuskan pada pemulihan mutu sawah dan pengembangan potensi lahan kering.Reforma pertanahan termasuk pengendalian konversi sawah dilakukan untuk menjamin distribusi tanah yang adil.

Kunci ketiga adalah pemberdayaan sosial-budaya petani dengan dukungan institusi litbang dan pemberdayaan petani yang kuat. Orientasinya adalah pemulihan dan pengembangan otonomi petani. Petani padi bersatu dalam organisasi korporasi yang kuat sehingga memiliki posisi tawar setara dengan pemerintah dan swasta.

Empat Kekuatan

Jika paradigma ekologi diterima, maka inkorporasi beras adalah institusi sekaligus organisasi yang relevan untuk praktik pertanian padi. Ide dasarnya adalah pertanian padi sebagai proses budaya, yang berpusat pada interaksi triangular organisasi korporasi petani, industri benih, dan institusi penelitian dan penataan tanah.

Interaksi itu didukung sejumlah kekuatan yang membentuk jejaring inkorporasi.
Kekuatan pertama adalah sinergi benih-tanah berupa inovasi paduan benih-tanah dengan produktivitas optimal. Inovasi itu adalah hasil penelitian yang melibatkan institusi litbang benih, litbang tanah, penataan pertanahan, industri benih, dan organisasi korporasi petani.

Kedua, adalah kekuatan pasar sarana produksi padi (saprodi) sebagai hasil interaksi organisasi petani, industri benih, dan industri saprodi. Karena benih merupakan patokan kemajuan pertanian, maka pasar saprodi harus tunduk pada tuntutan kebutuhan benih.

Ketiga adalah kekuatan pasar kredit pertanian, yaitu kredit produksi dan kredit investasi pasca-produksi. Yang pertama adalah hasil interaksi organisasi petani, bank dan industri saprodi. Yang kedua hasil interaksi organisasi petani, bank dan organisasi perdagangan beras/padi. Di sini diperlukan kehadiran bank pertanian.

Keempat adalah kekuatan pasar beras/padi sebagai hasil interaksi antara organisasi petani, organisasi perdagangan beras/padi, dan konsumen. Jika kekuatan organisasi petani setara dengan organisasi perdagangan padi/beras, maka petani akan terbebas dari posisi penerima harga yang merugi.

Sekarang, apakah pemerintah berani menempuh langkah revolusioner seperti di atas? Atau tetap hanya mengotak-atik instrumen pasar/produksi yang sudah terbukti gagal seperti selama ini?

Dimuat dalam Suara Pembaruan, 7 Maret 2007

Kapitalisasi Pertanian Padi

Oleh MT Felix Sitorus


Kapitalis turun ke sawah. Itulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan gejala masuknya beberapa perusahaan besar, antara lain sejumlah BUMN dan Medco Corp., ke bisnis tani padi akhir-akhir ini.

Bagaimana gejala itu sebaiknya disikapi? Ditolak atau sebaliknya disambut gembira?

Kalangan LSM “pembela petani” jelas menolak kapitalis masuk ke agribisnis padi. Alasannya, kapitalis akan mematikan petani.

Benarkah petani akan mati? Ya, kalau kapitalis bermain sendiri. Tidak, kalau ia bekerjasama dengan petani. Dalam konteks kerjasama itu, maka kapitalisasi padi sawah harus disambut positif. Mengapa?

Kegagalan

Salah satu tujuan pembangunan pertanian padi adalah transformasi cara produksi dari kegiatan ekonomi keluarga menjadi kegiatan bisnis. Itu berarti transformasi dari usahatani keluarga (mikro/kecil) ke perusahaan agribisnis (besar).

Proses transformasi itu melewati tiga tahap. Pertama, tahap agribisnis berbasis sumberdaya yang digerakkan kelimpahan sumberdaya alam dan manusia tak terdidik. Pada tahap ini agribisnis bersifat padat kerja. Produk akhirnya dominan komoditi primer.

Kedua, tahap agribisnis berbasis investasi yang digerakkan kekuatan investasi (capital) melalui percepatan pembangunan, pendalaman industri hulu/hilir, dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia. Agribisnis di tahap ini bersifat padat modal. Produk akhirnya dominan komoditi olahan.

Ketiga, tahap agribisnis berbasis inovasi yang digerakkan innovasi melalui peningkatan teknologi dan kemampuan sumberdaya manusia. Ini tahap agribisnis yang bersifat padat inovasi (iptek). Produk akhirnya dominan komoditi olahan/jadi/turunan.

Hampir empat dekade pembangunan pertanian, pertanian padi kita secara keseluruhan masih mandeg di tahap pertama. Dengan kata lain transformasi pertanian gagal!
Revolusi Hijau dan program intensifikasi lanjutannya, hingga kini, tidak mampu membawa pertanian ke tahap agribisnis berbasis investasi sekalipun. Kendati terjadi modernisasi teknologi, pertanian padi tetap bersifat padat kerja dengan dominasi padi sebagai hasil akhir.

Transformasi pertanian gagal karena kesenjangan antara perubahan teknologi dan organisasi (manajemen). Pembangunan pertanian telah merevolusi teknologi pertanian dari non-kapitalis ke kapitalis. Tetapi tidak demikian dengan organisasi produksi.
Organisasi produksi pertanian padi masih “non-kapitalis”. Ia masih melekat pada institusi keluarga petani. Pertanian padi diorganisir sebagai salah satu dari sejumlah kegiatan ekonomi keluarga petani.

Dalam proses transformasi, organisasi dan teknologi seyogyanya bersisian. Teknologi kapitalis akan menjadi malapetaka jika organisasi produksinya non-kapitalis. Terbukti semasa revolusi hijau petani gurem terpaksa menjual sawah kepada petani kaya karena organisasi produksinya (non-kapitalis) tak mampu mengelola teknologi kapitalis.

Kesenjangan terjadi karena pembangunan pertanian menomorduakan aspek organisasi. Hingga kini program-program pembangunan pertanian padi, misalnya Primatani dan Peningkatan Produksi Beras Nasional, masih terfokus pada teknologi.
Tanpa revolusi ke organisasi produksi kapitalis, adopsi teknologi kapitalis tidak akan optimal. Teknologi akan diadopsi secara terbatas, serendah daya kelola organisasi produksi non-kapitalis.

Kemitraaan

Tiga tahapan proses transformasi pertanian tidak hanya menunjuk pada perubahan teknologi, tetapi juga perubahan organisasi (manajemen) produksi dari non-kapitalis ke kapitalis.

Fakta di lapangan, setelah hampir empat dekade pembangunan pertanian, teknologi sudah berwatak kapitalis tetapi organisasi produksi masih non-kapitalis. Pemerintah gagal mendorong perubahan organisasi produksi padi.

Karena pertanian padi gagal bertransformasi dari “usaha keluarga” (non-kapitalis) ke “bisnis” (kapitalis), maka adopsi/penerapan teknologi kapitalis tidak optimal. Akibatnya peningkatan produksi tidak optimal, sehingga ketahanan pangan menjadi rentan.

Ketahanan pangan (beras) nasional mempersyaratkan organisasi produksi yang kuat. Organisasi produksi non-kapitalis terbukti tidak memadai. Karena itu harus ada pergeseran revolusioner ke organisasi produksi kapitalis.

Pemerintah sudah terbukti gagal mendorong transformasi ke organisasi produksi kapitalis. Maka harapan layak ditujukan pada perusahaan kapitalis. Dengan skema agribisnis berbasis kemitraan, perusahaan kapitalis dapat bersinergi dengan petani untuk mewujudkan agribisnis berbasis investasi/inovasi.

Kemitraan petani dan perusahaan kapitalis itu dapat mengambil bentuk organisasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Di situ petani menyediakan modal tanah dan tenaga tani. Sementara perusahaan kapitalis menyediakan modal finansil, teknologi, jejaring pasar, dan keahlian manajemen.

Pola kemitraan seperti itu sudah diterapkan sejumlah BUMN lingkup agribisnis/agroindustri dan komunitas petani di Subang/Karawang dan berhasil meningkatkan produksi padi dari 5 menjadi 8 ton/ha.

Idealnya kemitraan itu mewujudkan agribisnis padi terpadu skala besar (1000 ha per BUMP). Sebagai agribisnis berbasis investasi/inovasi, agribisnis padi itu tidak hanya menghasilkan gabah/beras. Ia juga menghasilkan energi biomas, pangan olahan (mie beras, makanan bayi, nasi instan, tepung beras, minyak beras), bahan bangunan, dan pupuk organik.

Menurut taksiran moderat, per 1 juta ha sawah, dengan pola kemitraan seperti di atas akan diperoleh gabah kering panen 15,2 juta ton. Dari pengembangan horisontal akan diperoleh energi listrik sebesar 281 MW atau 1.824 GWH.

Jadi pola kemitraan tersebut tidak hanya berpotensi mendukung ketahanan pangan nasional. Ia juga berpotensi mencukupi kebutuhan energi listrik pedesaan. Pendapatan dan kesejahteraan petani sudah pasti juga meningkat.

Jadi, mengapa harus takut jika kapitalis baik BUMN maupun swasta turun ke sawah? Dengan suatu skema kemitraaan kapitalis-petani yang difasilitasi pemerintah, misalnya pola BUMP, taraf kehidupan sosial-ekonomi petani akan terangkat.
Secara bersamaan pertanian padi juga akan bertransformasi menjadi agribisnis berbasis investasi dan inovasi. Sejalan dengan kebijakan revitalisasi, itulah wujud pertanian padi modern yang tangguh dan berdayasaing.***

Dimuat dalam Suara Pembaruan 8 April 2008