Selasa, 12 Mei 2009

Paradigma Ekologi Budaya untuk Pengembangan Pertanian Padi

Oleh: MT Felix Sitorus

Abstrak

Pengembangan pertanian padi di Indonesia sedang mengalami krisis paradigma Paradigma ekonomi (neo-klasik) produksi (pertanian), yang menempatkan pertanian sebagai kegiatan produksi berorientasi pasar, tidak mampu lagi menjawab dua masalah dasar yaitu kecenderungan penurunan produksi padi nasional dan penurunan pendapatan petani dari usahatani padi. Karena itu, setelah mendasari pengembangan pertanian padi sejak 1970-an, paradigma tersebut harus digusur. Sebuah paradigma ”baru”, yaitu paradigma ekologi budaya yang menempatkan pertanian sebagai proses dan capaian budaya, ditawarkan sebagai alternatif. Paradigma baru ini dapat diuji melalui penerapan gagasan “Inkorporasi Beras” (Rice Inc.) dalam bentuk ”proyek pemandu” (pilot project).


1. Pendahuluan

Ada dua masalah dasar pertanian tanaman padi di Indonesia khususnya dalam 15 tahun terakhir, yaitu kemandegan pertanian padi dilihat dari segi produktivitas usaha dan kesejahteraan petani. Suatu hasil studi menunjukkan adanya kecenderungan menurun pada angka kenaikan produktivitas pertanian tanaman padi sejak paruh kedua 1980-an. Sementara itu data statistik terbaru menunjukkan peningkatan gejala guremisasi dalam komunitas petani tanaman pangan di Indonesia. Resultan dari kecenderungan penurunan produktivitas dan penyempitan pada tingkat penguasaan lahan, ditambah dengan harga gabah yang rendah, tidak bisa lain adalah tingkat kesejahteraan yang rendah pada mayoritas petani gurem/kecil.

Kondisi pertanian padi semacam itu harus ditafsir sebagai suatu gejala ”menuju krisis”. Bukannya tidak ada upaya-upaya besar untuk keluar dari kondisi tersebut, khususnya berupa rekayasa teknologi produksi, tetapi situasi justru cenderung memburuk. Karena itu, suatu langkah korektif jelas tidak memadai lagi jika hanya berhenti pada upaya rekayasa teknologi produksi, apalagi jika itu terfokus pada pupuk dan obat-obatan pertanian seperti selama ini. Langkah koreksi harus naik ke aras yang lebih tinggi, yakni paradigma yang memayungi kegiatan pertanian padi kita.

Hendak dikatakan di sini, paradigma pertanian yang kita anut selama ini tidak mampu lagi memberi jawaban atas masalah-masalah dasar pertanian tersebut di atas. Ini yang disebut sebagai ”krisis paradigma”. Implikasinya, pertanian padi kita dimungkinkan selamat dari kondisi krisis jika, dan hanya jika, ”paradigma lama” tadi diganti dengan suatu ”paradigma baru”. Tanpa langkah mendasar seperti itu, apapun upaya untuk keluar dari masalah, termasuk kebijakan ”revitalisasi pertanian” (berparadigma lama) yang baru dikeluarkan rejim Yudhoyono-Kalla, tidak akan membuahkan hasil yang subtantif.

Tulisan ini bermaksud membuka jalan untuk suatu pergeseran dari ”paradigma lama” ke ”paradigma baru” di bidang pertanian khususnya tanaman pangan padi. Suatu situasi krisis ”paradigma lama” akan ditunjukkan lebih dahulu, sebelum masuk pada tawaran ”paradigma baru”. Implikasi paradigma baru terhadap pendekatan pembangunan pertanian, khususnya terkait kebijakan revitalisasi pertanian, akan dipaparkan di bagian akhir.


2. Krisis “Paradigma Lama”: Ekonomi Produksi

”Paradigma lama” pertanian kita ditegakkan oleh kekuatan ilmuwan ekonomi neo-klasik yang dominan di Indonesia saat ini. Secara sederhana, paradigma itu melihat kegiatan pertanian primer sebagai kegiatan ekonomi produksi yang mengawinkan sejumlah faktor produksi untuk menghasilkan komoditas tertentu. Faktor-faktor produksi yang dimaksud pada garis besarnya terbagi dalam tiga kelompok besar yaitu sumberdaya alam (tanah dan air), sumberdaya buatan (modal uang dan ragam sarana dan alat produksi), dan sumberdaya manusia (pemilik dan tenaga kerja).

Dengan paradigma seperti itu, kegiatan produksi pertanian lalu dirumuskan dalam suatu model yang sederhana juga, yaitu “tingkat produksi” (Y) sebagai fungsi dari sejumlah faktor produksi (x1-n). Dengan pemodelan seperti itu, sumbangan masing-masing faktor atau keseluruhan faktor terhadap tingkat produksi dapat diukur. Dari situ lalu dimunculkan rekomendasi yang sederhana pula: “jika angka produksi hendak ditingkatkan sekian unit, maka pemakaian faktor produksi Xi harus ditingkatkan sekian unit”.

Berpayung pada paradigma tersebut, pembangunan pertanian selama 35 tahun terakhir di Indonesia, baik pertanian pangan maupun pertanian non-pangan, telah mengukuhkan pupuk dan obat-obatan kimiawi sebagai dua faktor produksi yang dominan (paling signifikan) pengaruhnya. Di lingkungan pertanian tanaman pangan padi, program intensifikasi yang dikenal sebagai “Revolusi Hijau” tahun 1970-an, berhasil ditanamkan suatu anggapan dasar -- atau bahkan telah menjadi semacam dalil -- bahwa “peningkatkan produksi pertanian berbanding lurus dengan peningkatan penggunaan pupuk dan obat-obatan”. Implikasinya, di tingkat mikro atau usahatani pengeluaran untuk kedua faktor produksi tersebut, khususnya pupuk, menjadi dominan dalam struktur biaya produksi. Di tingkat makro, industri pupuk dan obat-obatan pertanian dikembangkan secara besar-besaran di Indonesia.

Secara khusus di bidang pertanian tanaman pangan padi, dengan merujuk pada paradigma tersebut, implementasi kebijakan pembangunan pertanian telah menampilkan pupuk dan obat-obatan sebagai faktor-faktor produksi utama. Di situ berlaku suatu anggapan kuat bahwa tingkat produksi padi terutama ditentukan oleh tingkat penggunaan (dosis dan komposisi) pupuk dan obat-obatan. Khusus untuk faktor produksi pupuk, anggapan ini bahkan sempat membentuk suatu “Rumus Petani” yang menggariskan bahwa harga gabah harus sebanding dengan harga pupuk. Sampai sekarang, salah satu keluhan utama petani padi adalah soal “harga pupuk yang tinggi”, dalam arti tidak sebanding dengan harga gabah.

Kemandegan, kalau bukan kemunduran, di bidang pertanian tanaman pangan padi adalah hasil mutakhir pembangunan pertanian dengan paradigma lama tersebut. Pertama, setelah mengalami peningkatan sepanjang 1970-an sampai awal 1980-an (7.73 persen/tahun dalam periode 1979-1983 atau Pelita III) sehingga swasembada beras tercapai tahun 1984, pertumbuhan produksi padi (beras) nasional untuk masa selanjutnya cenderung mengalami penurunan bahkan menjadi negatif (-0,69 persen/tahun) dalam periode 1994-1998 (Pelita VI) (Simatupang, 1999). Akibatnya status Indonesia sebagai ”eksportir beras” yang sempat disandang awal 1980-an berbalik lagi menjadi ”importir beras”.

Pupuk kimia dan obat-obatan pertanian bukan lagi ”resep jitu” untuk peningkatan produktivitas, tetapi sebaliknya menjadi ”ancaman sinambung” bagi produktivitas itu sendiri. Pupuk telah menjenuhkan struktur tanah sehingga tindakan pemupukan untuk selanjutnya tidak menghasilkan dampak optimal, ditandai dengan gejala menurunnya produktivitas lahan sawah. Obat-obatan pertanian, khususnya pestisida, secara periodik telah memicu lahirnya mutan-mutan hama dan virus tanaman padi yang resisten terhadap racun. Artinya, dengan kondisi seperti itu, pupuk dan obat-obatan pertanian tidak bisa lagi diklaim sebagai faktor produksi superior, yang mampu menaklukkan pembatas atau kendala alami dalam proses produksi. Dalam kenyataan, penggunaan pupuk dan obat-obatan telah masuk pada kondisi over-intensifikasi dan over-eksploitasi lahan sehingga justru bersifat counter-productive.

Kedua, peningkatan produksi padi sebagai buah intensifikasi pertanian padi sejak 1970-an, terutama semasa Revolusi Hijau yang kerap juga disebut sebagai ”revolusi pupuk”, ternyata bersifat diskriminatif dalam distribusinya. Peningkatan produksi itu, dengan implikasi pada peningkatan pendapatan, ternyata lebih banyak dinikmati oleh golongan minoritas petani besar. Sedangkan petani kecil dan buruh tani relatif kurang menikmatinya. Pada tahun-tahun pertama Revolusi Hijau, Sajogyo (1972) telah mengungkapkan kenyataan ini dan merumuskannya sebagai gejala modernisasi (pertanian) tanpa pembangunan (ekonomi mayoritas petani kecil dan buruh tani). Gejala ini bahkan ditandai dengan gejala polarisasi dalam penguasaan tanah di pedesaan, atau sekurangnya penajaman stratifikasi sosial, sebagai akibat dari proses transfer penguasaan lahan dari petani kecil (yang tidak mampu membiayai teknologi intensifikasi) kepada petani besar (Husken, 1998; Wiradi dan Makali, 1984; Hayami dan Kikuchi, 1981). Proses semacam itu semakin menguatkan proses guremisasi dalam masyarakat petani, sebagaimana terbukti dari peningkatan jumlah petani gurem menurut hasil Sensus Pertanian terakhir (2003).

Jelas di sini, paradigma lama yang memayungi pembangunan pertanian khususnya tanaman pangan padi di Indonesia sudah mencapai titik buntu dalam mengatasi kedua masalah dasar pertanian padi, yaitu penurunan relatif pada aspek-aspek produktivitas usahatani dan kesejahteraan petani. Itulah ”krisis paradigma” yang sesungguhnya berakar pada dua anggapan yang menyesatkan dalam paradigma tersebut. Anggapan tersebut, pertama, adalah tesis bahwa ”untuk meningkatkan produksi maka penggunaan pupuk kimia dan obat-obatan harus ditingkatkan”. Anggapan ini menyesatkan karena, seperti diungkap di atas, peningkatan produksi padi sejak paruh kedua tahun 1980-an berlangsung dengan laju yang semakin rendah, tidak lain karena penggunaan pupuk kimia merusak mutu tanah dan penggunaan obat-obatan (racun) telah memicu resistensi hama dan penyakit tanaman.

Anggapan sesat yang kedua adalah klaim bahwa benih, tanah, dan tenaga merupakan faktor-faktor produksi yang setara dengan dengan terutama pupuk dan obat-obatan pertanian. Seperti akan ditunjukkan nanti, ketiganya bukanlah faktor atau sarana produksi melainkan ”unsur dasar pembentuk pertanian” yang merujuk pada suatu inti budaya sebagai simpulnya. Faktor produksi sejati adalah pupuk dan obat-obatan. Itu sebabnya mengapa sumbangan kedua faktor itu selalu menjadi yang paling signifikan dalam setiap pemodelan produksi.

Ironisnya, debat pertanian di Indonesia selama ini justru didominasi oleh dan mengukuhkan kedua anggapan sesat tersebut. Perdebatan setiap memasuki musim tanam selalu berkisar pada masalah harga/kelangkaan pupuk dan obat-obatan dan setiap memasuki musim panen selalu berkisar pada masalah rendahnya harga gabah dibanding harga pupuk/obat-obatan. Jarang sekali perdebatan masuk pada masalah inti budaya yang menyangkut relasi triangular antara unsur-unsur dasar pertanian, yaitu benih, tanah, dan tenaga. Itu sebabnya mengapa kita tidak pernah mengungkap dan memecahkan masalah-masalah dasar pertanian, yang merupakan anteseden bagi dua masalah dasar pertanian tersebut di atas. Akibat lanjutnya, setelah era Revolusi Hijau yang sempat mengedepankan ”benih unggul” awal 1970-an -- sebelum kemudian mengedepankan ”pupuk kimia” -- pertanian kita tidak pernah lagi memasuki tahap perkembangan yang bersifat substantif.

Sekarang pemerintah berharap pertanian kita akan bangkit melalui pencanangan dan pelaksanaan kebijakan Revitalisasi Pertanian (Perikanan dan Kehutanan). Tetapi, suatu sikap pesimistik harus dikemukakan di sini, karena kebijakan tersebut jelas masih bersandar pada paradigma lama. Padahal sudah terbukti paradigma ilmu ekonomi pertanian aliran neo klasik itu sedang mengalami krisis, karena ia tidak mampu mengangkat status pertanian kita secara signifikan ke level yang lebih tinggi. Karena itu, bagaimanapun juga, kebijakan Revitalisasi Pertanian mempersyaratkan suatu paradigma baru. Itulah yang hendak ditawarkan di sini, yaitu paradigma pertanian yang berakar pada perspektif Ekologi Manusia atau secara spesifik ekologi budaya (cultural ecology). Seperti akan dijelaskan nanti, menurut paradigma ekologi budaya ini, pertanian adalah proses dan capaian budaya berkenaan dengan interaksi triangular antara benih, tanah dan tenaga petani.


3. Paradigma Baru: Ekologi Budaya

Paradigma baru atau alternatif yang hendak dimajukan di sini sebenarnya adalah revitalisasi dari paradigma pertanian ”asli”. Pertanian ”asli”, atau dalam arti negatif sering disebut pertanian ”tradisional”, terbentuk dari tiga unsur dasar yaitu benih, tanah, dan tenaga dalam suatu bingkai budaya. Salah satu dari tiga unsur dasar ini tidak boleh bernilai nol, karena jika ada yang demikian, maka resultannya menjadi nol juga. Artinya, tidak ada realisasi kegiatan pertanian jika misalnya unsur tenaga tidak ada, walaupun benih (untuk ditanam) dan tanah (untuk ditanami) tersedia. Bentuk-bentuk pertanian ”asli” ini masih eksis sampai sekarang, antara lain ladang berpindah orang Dayak di Kalimantan, kebun ubi jalar (hipere) orang Papua di Papua Barat, dan pertanian alami orang Badui Dalam di Jawa Barat. Pola terbaru dari pertanian asli ini adalah pertanian organik yang kini mulai berkembang khususnya di sejumlah desa di Jawa. Pola-pola pertanian asli tersebut, baik yang ”lama” maupun yang ”baru”, memiliki satu kesamaan yaitu tidak menggunakan faktor produksi berupa pupuk dan obat-obatan kimiawi.

Kendati ketiga unsur dasar pertanian tersebut berinteraksi secara triangular dalam suatu bingkai budaya, budayalah yang memberi bentuk atau pola pada interaksi antara ketiga unsur dasar tadi. Budaya merumuskan bagaimana benih harus dihubungkan dengan tanah dan bagaimana tenaga harus berperan dalam hal itu. Termasuk dalam perumusan tadi adalah pemilihan jenis-jenih benih yang cocok dengan sifat dan ciri tanah tertentu, atau keputusan mengubah sifat dan ciri tanah agar cocok dengan jenis benih tertentu. Itulah sebabnya mengapa kegiatan pertanian disebut sebagai kegiatan ”budidaya” (Latin: agricola; Inggris: agriculture).

Jika pertanian adalah kegiatan budidaya atau budaya, maka paradigma yang relevan untuk menaungi aktivitas pertanian sesungguhnya adalah paradigma ekologi budaya (Geertz, 1963). Benih yang ditanam, lalu tumbuh dan membuahkan hasil di atas tanah adalah proses sekaligus karya budaya. Itulah definisi pertanian menurut paradigma baru ini. Sudah pasti, lain budaya lain pula pola pertaniannya. Karena itu, menurut teori ekologi budaya, pola pertanian itu sendiri pada dasarnya menunjuk pada suatu ”inti budaya” (cultural core). Menurut Geertz (1963), inti budaya masyarakat petani Jawa misalnya adalah ”pertanian lahan basah” (sawah), dan inti budaya masyarakat petani Luar-Jawa adalah ”pertanian lahan kering”. Tetapi tipologi Geertz ini merujuk pada keadaan di masa kolonial. Sekarang, terutama sejak 1970-an, pertanian sawah juga sudah sangat berkembang di Luar Jawa, antara lain di Sumatera dan Sulawesi.

”Lawan” dari pertanian asli adalah pertanian rekayasa yaitu pertanian ”modern” yang dominan sekarang ini. Pertanian rekayasa ini, karena bernaung pada paradigma lama tadi, tidak mengenal unsur dasar pembentuk pertanian melainkan sejumlah faktor produksi yang dikelola sehingga menghasilkan produk pertanian. Seperti disinggung di muka, dalam pertanian rekayasa status benih, tanah, dan tenaga petani tidak lebih dari sekadar faktor produksi, sama seperti pupuk dan obat-obatan kimiawi (dan air irigasi). Asumsi yang ditegakkan di sini, dan hal itu sungguh menyesatkan, adalah ”bahwa teknologi pupuk dan obat-obatan dapat mengatasi keterbatasan benih, tanah, dan tenaga petani”. Artinya, tidak masalah jika benih tidak unggul, tanah tidak subur, dan tenaga petani terbatas karena semua masalah itu dapat diatasi dengan kemajuan teknologi pupuk dan obat-obatan. Seperti diungkapkan di atas, anggapan tersebut mengandung kepalsuan yang menyesatkan.

Kesesatan yang diakibatkan oleh kepalsuan asumsi paradigma pertanian ”rekayasa” tersebut, seperti sudah disinggung di muka, pertama adalah pengabaian terhadap peran sentral benih sebagai salah satu dari tiga unsur dasar pembentuk pertanian. Saat ini penggunaan pupuk kimiawi misalnya sudah mencakup sekitar 90 persen dari areal tanam padi nasional. Sementara itu penggunaan benih padi unggul (VPT) baru mencakup sekitar 30 persen dari areal tanam. Artinya sekitar 60 persen dari areal tanam tidak menggunakan benih unggul, sehingga penggunaan pupuk di areal tersebut sebenarnya menjadi tidak efektif dan tidak efisien, atau dengan kata lain telah terjadi suatu ”pemborosan berskala nasional”.

Kesimpulan tentang pemborosan tersebut berpangkal pada ”Teori Kesejajaran Sadjad” (Sadjad, Suwarno, dan Hadi, 2001). Menurut teori ini, benih merupakan penentu utama produktivitas, dalam arti semua unsur dasar lain dan faktor-faktor (sarana) produksi tergantung pada kualitas benih. Kualitas benih akan menentukan kualitas terapan teknologi dan manajemen. Berkenaan hubungan benih dan pupuk, setinggi apapun dosis pupuk, jika benih yang digunakan bukan benih unggul yang responsif terhadap pupuk, maka hanya sebagian kecil pupuk yang terserap tanaman dan sebagian besar sisanya mubazir dan malahan merusak struktur tanah.

Tidak hanya pupuk, pemborosan obat-obatan pertanian juga sebenarnya terjadi karena penggunaan benih yang tidak tepat. Sebenarnya, menurut pengetahuan lokal, petani sangat tahu benih padi yang resisten terhadap hama dan penyakit dan sangat tahu bagaimana harus membudidayakannya. Tetapi pengetahuan modern di bidang pertanian ”menyederhanakan”, atau mungkin lebih tepat ”menggampangkan”, segala sesuatunya dengan cara menemukan berbagai jenis obat-obatan pertanian yang berfungsi sebagai amunisi untuk memerangi berbagai jenis hama dan penyakit. Faktanya, tidak ada racun yang ampuh selamanya, karena hama dan bibit penyakit ternyata bermutasi juga sehingga secara periodik muncul strand yang resisten terhadap obat-obatan. Industri obat-obatan pertanian kemudian harus menemukan dan menghasilkan racun baru untuk mengatasinya. Proses balas-membalas atau perang seperti ini telah terjadi di atas lahan pertanian padi sejak 1970-an. Sejarah menunjukkan, manusia hanya bisa mengendalikan alam untuk suatu periode waktu tertentu, tetapi tidak pernah mampu menaklukkannya secara permanen.

Kedua jenis pemborosan di atas, penggunaan pupuk dan obat-obatan pertanian --ditambah biaya alat dan mesin pertanian (alsintan) -- membuat biaya produksi pertanian padi secara keseluruhan menjadi mahal. Tetapi, fakta ini bukannya digunakan untuk menunjukkan adanya krisis paradigma (lama) pertanian, melainkan menjadi pengukuh asumsi ”skala ekonomi minimum” dalam usahatani padi. Diasumsikan dalam paradigma lama tersebut, luas 2.0 hektar merupakan ”skala ekonomi minimum” untuk usahatani padi sawah (di Jawa) dengan paket teknologi intensifikasi. Sudah jelas bahwa mayoritas petani Indonesia tidak akan pernah sanggup memenuhi kriteria ”skala” tersebut. Lalu, mengapa asumsi itu tidak pernah dikoreksi?

Kedua, berkenaan dengan tanah, kesesatan akibat kepalsuan asumsi paradigma lama itu adalah pemupukan-berlebih yang menyebabkan kerusakan struktur tanah sawah. Pemupukan memang dapat meningkatkan kesuburan tanah. Tetapi, jangan dilupakan, ada yang disebut sebagai ”batas-batas pertumbuhan”. Pada titik tertentu, pemupukan yang terus-menerus menyebabkan tanah jenuh, sehingga bukan saja strukturnya menjadi rusak tetapi juga memberikan respon balik negatif berupa penurunan angka peningkatan produktivitas. Itulah yang terjadi terutama dengan lahan pertanian sawah irigasi di Indonesia, sehingga sekarang sebenarnya sudah saatnya untuk menekan penggunaan pupuk sampai tingkat serendah mungkin.

Ketiga, berkenaan dengan budaya petani, kesesatan akibat kepalsuan asumsi paradigma lama tadi adalah pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian yang dipercaya mencerahkan petani tetapi dalam kenyataannya justru merupakan proses ”pembodohan” pada petani. Penyuluhan itu ”memaksakan” inovasi pertanian berdasar pengetahuan saintifik (sains modern), sehingga berimplikasi pembodohan langsung berupa memudarnya kearifan atau pengetahuan pertanian lokal yang sejak lama sudah teruji sebagai acuan untuk menjalankan pertanian lestari. Bersamaan dengan itu, kehadiran penyuluh yang (harus) selalu ”siap membawakan jawaban untuk masalah pertanian” (spesialis ataupun polivalen) berimplikasi pembodohan tak langsung, tidak lain karena jawaban-jawaban tersebut adalah inovasi-inovasi pertanian oleh industri dan lembaga penelitian yang justru membuat petani menjadi ”malas berfikir”. Kerjasama lembaga penelitian dan industri hulu pertanian telah mengambil-alih ”hak berfikir” pada petani secara tidak disadari. Jika tanah tandus, pihak lembaga penelitian dan industri siap memikirkan dan menemukan pupuk yang tepat. Jika muncul hama atau penyakit tanaman padi tertentu, lembaga penelitian dan industri siap menemukan racun mujarab. Akibatnya, petani padi kita sekarang mengalami ”kemandegan” kalau bukan ”kemerosotan” budaya. Bahkan, mungkin, petani padi tidak lagi memiliki ”budaya tani” dalam arti yang ”sejati” (genuine).

Paradigma ekologi budaya, jika ia diterima sebagai payung kegiatan pengembangan pertanian khususnya padi, niscaya dapat mengatasi ketiga masalah dasar di atas, sehingga pertanian padi kita akan terbebas dari krisis berkepanjangan. Dengan paradigma baru tersebut di atas pemborosan sumberdaya buatan (pupuk dan obat-obatan) dapat dihindari, kerusakan sumberdaya alami khususnya tanah dapat dihindari, dan pembodohan petani (secara budaya) dapat diakhiri. Pada gilirannya, pertanian kita khususnya pertanian padi dapat mencapai kinerja yang optimal secara berkelanjutan. Dengan kata lain aktivitas pengembangan pertanian berdasar paradigma ekologi budaya dengan sendirinya akan menjamin peningkatan pertumbuhan, pemerataan, dan keberlanjutan di bidang pertanian.

Paradigma ekologi budaya sebagai paradigma baru pertanian dapat digambarkan sebagai interaksi triangular antara unsur-unsur dasar benih, tanah, dan tenaga (petani) yang berpusat pada budaya. Dalam bentuk kalimat definitif, di atas telah dirumuskan bahwa ”benih yang ditanam lalu tumbuh dan membuahkan hasil di atas tanah adalah proses sekaligus karya budaya”. Artinya, lebih luas dari sekadar kegiatan ekonomi, pertanian adalah suatu gejala kebudayaan.

Rumusan pertanian di atas mendasarkan diri pada tiga asumsi dasar paradigmatik sebagai berikut. Pertama, benih, tanah, dan tenaga adalah tiga unsur dasar yang membentuk pertanian melalui proses interaksi triangular yang berpusat pada budaya tertentu. Implikasi asumsi ini: pengembangan benih, tanah, dan tenaga yang unggul berikut pola interaksi berinti budaya antara ketiganya harus menjadi fokus utama dalam pengembangan pertanian. Lebih mendasar lagi, karena merupakan unsur dasar pembentuk pertanian yang bersifat absolut, maka ketiganya adalah hak dasar atau azasi petani yang keberadaannya harus dijamin oleh negara(lihat Soetrisno, 2002).

Kedua, dari tiga unsur dasar tersebut benih merupakan unsur dasar yang menjadi penentu utama atau ”patokan dasar” tingkat perkembangan dan kemajuan pertanian, sehingga efektivitas faktor-faktor produksi akan ditentukan oleh tingkatan teknologi benih. Implikasi asumsi ini: penggunaan benih yang tidak unggul akan menghasilkan pertanian yang tidak unggul tetapi, sebaliknya, penggunaan benih unggul akan menghasilkan pertanian yang unggul atau menghela pertanian menuju taraf unggul.

Ketiga, faktor-faktor produksi khususnya pupuk, obat-obatan, dan alsintan bersifat supportif terhadap ketiga unsur dasar pembentuk pertanian: pupuk (dan air irigasi) adalah faktor supportif untuk tanah, obat-obatan adalah faktor supportif untuk benih, dan alsintan adalah faktor supportif untuk tenaga petani, dalam arti meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja petani Implikasi asumsi ini: fokus aktivitas pengembangan inovasi pertanian harus bergeser dari tiga serangkai ”pupuk-obat-alsintan” ke tiga serangkai ”benih-tanah-tenaga”. Jika dalam paradigma lama ”pupuk-obat-alsintan” ditempatkan sebagai ”pusat” dinamika perkembangan pertanian, maka dalam paradigma baru tempatnya digeser ke ”pinggiran”.

Satu hal yang sangat mendasar dari asumsi-asumsi paradigma ekologi budaya tersebut adalah implikasi dari penempatan benih pada posisi patokan dasar. Pertama, dengan memposisikan benih sebagai patokan dasar, maka tingkat kemajuan atau mutu pertanian ditentukan oleh tingkat mutu teknologi benih. Sesuai Teori Kesejajaran Sadjad tadi, semakin tinggi mutu teknologi benih, maka (secara potensil) semakin tinggi pula mutu pertanian. Dewasa ini mutu kemajuan pertanian padi Indonesia masih rendah karena baru sekitar 30 persen lahan pertanian padi menggunakan benih unggul (bersertifikasi) yang dihasilkan melalui teknologi tinggi.

Kedua, dengan memposisikan benih sebagai patokan dasar, maka penggunaan pupuk dan obat-obatan dapat lebih efisien dan efektif, karena jenis dan jumlahnya sudah disesuaikan dengan kebutuhan yang dipersyaratkan oleh kualitas benih. Sekarang penggunaan pupuk pada 60 persen lahan pertanian padi tidak efektif dan tidak efisien, karena benih yang digunakan bukan benih unggul yang responsif terhadap pupuk kimia.

Ketiga, karena benih menjadi patokan dasar penentu tingkat kemajuan pertanian, maka penelitian dan pengembangan benih dan pembangunan industri perbenihan yang kuat harus menjadi prioritas pemerintah dalam rangka revitalisasi pertanian. Selama ini, pembangunan industri perbenihan nasional jauh tertinggal dibanding khususnya industri pupuk dan obat-obatan pertanian.

Tiga butir implikasi tersebut di atas kemudian menempatkan benih sebagai unsur kunci dalam proses pengembangan pertanian. Jika dikaitkan dengan kebijakan Revitalisasi Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (RPPK), maka benih merupakan faktor kunci dalam proses revitalisasi pertanian khususnya pertanian padi.


4. Revitalisasi Pertanian dengan Paradigma Baru

Secara ringkas, kebijakan dan strategi umum RPPK berpusat pada tiga tujuan pokok, semacam trilogi RPPK. Pertama, pemerataan melalui penanggulangan kemiskinan, pengurangan pengangguran, dan pencapaian skala ekonomis usaha PPK. Kedua, pertumbuhan melalui peningkatan daya saing, produktivitas, nilai tambah, dan kemandirian produksi dan distribusi PPK. Ketiga, keberlanjutan pelestarian dan pemanfaatan lingkungan hidup dan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Jika paradigma ekologi budaya diterima sebagai paradigma pengembangan pertanian, khususnya di bidang pertanian tanaman padi, maka ada tiga kunci dasar untuk mencapai ketiga tujuan tersebut di atas. Pertama adalah ketersedian benih padi unggul bagi petani; kedua, adalah ketersediaan tanah (lahan) yang layak dan berkepastian; ketiga, adalah pemberdayaan sosial-budaya, khususnya aspek organisasi dan manajemen, bagi petani.

Tiga kunci dasar tersebut jelas mengandaikan kehadiran tiga kelompok (sub-jaringan) institusi pertanian yang kuat untuk mendukung perkembangan pertanian. Pertama adalah institusi penelitian/pengembangan dan industri benih pertanian; kedua, institusi penelitian/pengembangan dan penata-gunaan tanah pertanian; ketiga, institusi penelitian/pengembangan dan pemberdayaan sosial-budaya petani/pertanian. Tiga kelompok institusi tersebut harus terkait secara setara satu sama lain -- dalam arti berinteraksi -- membentuk jaringan besar pengembangan pertanian, khususnya pertanian tanaman pangan padi. Pengembangan ketiga kelompok institusi tersebut jelas juga mempersyaratkan pendekatan lintas-kompetensi (disiplin, sektor, dan lain-lain), semenjak dari tahap penelitian.


4.1. Pengembangan unsur dasar benih

Benih membuka pintu menuju pencapaian ketiga tujuan revitalisasi pertanian, sedikitnya dengan tiga cara. Pertama, benih unggul jika berinteraksi dengan tanah yang tepat (didukung pupuk dan irigasi yang tepat dalam arti sesuai karakteristik benih) dan budaya (organisasi dan manajemen) yang tepat dari petani, akan menghasilkan pertanian yang unggul dalam produktivitas, daya saing, nilai tambah, dan kemandirian.

Kedua, benih unggul, jika didukung dengan kegiatan penelitian dan pengembangan yang mumpuni, dapat dikembangkan menuju kualitas ”benih hijau”, yaitu benih ramah lingkungan karena hemat pupuk dan obat-obatan, hemat air, dan kaya karbohidrad serta protein nabati. Benih unggul dengan kualifikasi ramah lingkungan (benih hijau) akan menjamin keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan hidup. Terkait dengan ini, penelitian benih harus dilakukan dengan merujuk pada -- atau dalam harmoni dengan -- penelitian/pengembangan tanah.

Ketiga, benih unggul, jika dapat diakses petani secara merata, dapat mendukung terbentuknya pertanian yang lebih intensif, menyerap tenaga kerja lebih banyak, bebas dari masalah ”skala ekonomi minimum” (”kecil itu indah”, dalam arti efisien dan efektif), dan menghasilkan surplus serta pendapatan yang lebih besar. Kualitas pertanian seperti itu dapat menjamin tercapainya pemerataan sosial-ekonomi.

Masalahnya, bagaimana agar petani dapat mengakses benih unggul, atau agar 100 persen lahan pertanian ditanami benih unggul? Hal ini bersangkut-paut dengan tiga hal yaitu penelitian, produksi, dan distribusi benih. Pertama, berkenaan dengan hal tersebut pertama, penelitian benih harus diarahkan pada penganekaragaman benih tanaman pangan khususnya padi, terutama melalui penelitian dan pengembangan benih-benih padi unggul lokal yang sudah teruji kecocokannya dengan agro-ekologi setempat. Pendekatan ini sekaligus dimaksudkan untuk pelestraian kekayaaan plasma nuftah tanaman pangan khususnya padi nusantara. Mengingat areal lahan kering jauh lebih luas dibanding areal lahan basah, maka penelitian idealnya diarahkan pada pengembangan ragam varietas benih tanaman pangan khususnya padi lahan kering, atau sekurang-kurangnya berimbang dengan pengembangan benih padi lahan basah.

Kedua, berkenaan dengan produksi benih, industri perbenihan memerlukan restrukturisasi. Untuk menghindari produksi benih bermutu rendah, dan ini lazimnya dilakukan oleh produsen-produsen lokal, maka seluruh produsen benih sebaiknya diorganisir dalam wujud jaringan yang mengaitkan produsen-produsen lokal satu sama lain secara horizontal dan dengan produsen nasional secara vertikal. Simpul utama jaringan itu, yaitu sentrumnya, adalah suatu perusahaan industri benih tanaman pangan aras nasional (milik negara) yang sudah teruji dan terbukti peran pentingnya dalam proses pembangunan pertanian sejak 1970-an. Perusahaan industri benih nasional yang menjadi simpul jejaring tersebut harus dikembangkan menjadi industri maju yang sudah memiliki kegiatan penelitian dan pengembangan yang mampu menghasilkan varietas baru sendiri. Dengan demikian industri benih memiliki posisi-tawar yang sama kuat ketika berinteraksi dengan institusi penelitian dan pengembangan benih tanaman pangan khususnya padi.

Ketiga, berkenaan dengan distribusi benih kepada petani, di atas sudah dikemukakan bahwa benih, tanah, dan tenaga adalah hak-hak azasi manusia petani yang keberadaannya harus dijamin oleh negara. Jika tenaga sudah ada di tangan petani, tanah juga dapat diakses melalui institusi penguasan tanah tertentu, maka benih selayaknya juga disediakan oleh negara untuk petani. Dengan kata lain, dalam rangka Revitalisasi Pertanian, benih unggul harus tersedia bagi petani atas biaya negara, tidak disubsidi tetapi gratis sebagai hak yang dijamin negara.

Jika benih disepakati sebagai patokan dasar taraf kemajuan pertanian, maka industri penghasil faktor (sarana) produksi pupuk, obat-obatan dan alsintan harus selalu mengacu pada kualitas yang dipersyaratkan benih unggul tersebut. Jelas di sini, agroindustri pupuk, obat-obatan, dan alsintan harus mampu menghasilkan faktor-faktor (sarana) produksi yang sejajar (setara) dengan kualitas benih unggul dan bermutu yang digunakan petani. Pada saat yang sama, institusi pasar di hilir juga harus mengantisipasi peningkatan kualitas pertanian, dengan menciptakan kelembagaan pasar yang memberi surplus yang lebih besar lagi bagi petani.

4.2. Pengembangan unsur dasar tanah

Sama seperti pengembangan unsur benih, pengembangan unsur dasar tanah juga tergolong lambat. Masalah degradasi tanah sawah akibat pemupukan berlebih, sebagai contoh, sampai sekarang masih tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Potensi tanah non-sawah, terutama lahan kering, untuk pertanian padi sejauh ini juga belum berkembang. Padahal, dalam pidato peletakan batu pertama Fakultas Pertanian UI (sekarang IPB) di Bogor tahun 1963, Soekarno (waktu itu Presiden RI) sudah menegaskan visi pertanian kita yaitu pertanian lahan kering skala besar, terutama di luar Jawa, untuk menjamin ketahanan pangan nasional. Sampai sekarang, lebih dari empat dekade setelah visi itu dicanangkan, Indonesia belum juga memiliki pertanian padi lahan kering yang kuat. Penelitian tanah untuk pertanian tanaman pangan, khususnya padi, sekarang ini masih terpenjara pada penelitian tanah sawah.

Keterpenjaraan seperti itulah yang kemudian melegitimasi proyek lahan sawah gambut sejuta hektar di Kalimantan -- yang sangat ambisius tetapi jelas gagal.
Tetapi, sementara sumberdaya penelitian dihabiskan untuk peningkatan mutu tanah sawah, pada saat bersamaan proses konversi telah menghilangkan sawah-sawah terbaik dari tahun ke tahun. Tanah sawah dalam luasan besar telah dialih-fungsikan menjadi kawasan non-pertanian terutama kawasan industri, pemukiman, jalan raya, dan perkantoran, dan juga menjadi kawasan pertanian non-sawah antara lain tambak, perkebunan, dan palawija. Pertambahan areal sawah baru, sementara itu, tidak dapat mensubstitusi sepenuhnya fungsi-fungsi areal sawah yang sudah hilang terkonversi.

Dalam prespektif ekologi budaya, manusia melalui keunggulan budayanya dilihat sebagai unsur yang merubah tampakan alami tanah. Petani sawah Jawa, jika dipindahkan ke luar Jawa, selalu berusaha mengembangkan sawah, walaupun di lokasi itu semula tidak ada sawah. Hal seperti itu terjadi karena proses sosialisasi masyarakat petani sawah Jawa sudah membekali setiap orang dengan sikap hidup, pengetahuan dan keahlian bersawah. Seandainya sosialisasinya membekali mereka dengan sikap hidup, pengetahuan, dan keahlian berladang padi, niscaya mereka akan membuka ladang padi juga di daerah baru.

Tetapi budaya petani, dalam kaitan dengan pengolahan tanah, tidak mungkin berkembang maju jika hanya mendasarkan pada proses-proses kreatif yang bersifat internal, khususnya perkembangan pengetahuan asli. Budaya petani akan lebih berkembang jika berorientasi pada pengembangan pengetahuan lokal, yaitu interaksi antara pengetahuan asli (indigenous knowledge) dan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge). Karena itu penelitian tanah harus dilakukan dalam kerangka komunikasi dengan pengetahuan asli petani, sehingga pada gilirannya akan memperkaya pengetahuan lokal.

Sudah pasti survai sifat dan ciri tanah mutlak diperlukan untuk memetakan potensi tanah pertanian secara nasional. Tetapi, hasil survei seperti itu tidak harus ditutup dengan suatu rekomendasi pengubahan sifat dan ciri tanah melalui perlakuan tertentu (misalnya rekomendasi komposisi dan dosis pemupukan) supaya cocok untuk tanaman tertentu (yang hendak dikembangkan pemerintah). Lebih penting dari itu adalah memahami budaya petani yang membentuk ekologi budaya setempat, sekaligus mempelajari benih-benih tanaman pangan khususnya padi yang dibudidayakan petani setempat. Pada titik ini penelitian tanah memang harus berkomunikasi dengan penelitian budaya petani dan penelitian benih tanaman pangan. Dengan kata lain, penelitian/pengembangan tanah pertanian tidak bisa berjalan sendiri lagi seperti terjadi selama ini.

Seperti halnya penelitian/pengembangan benih tanaman pangan, penelitian tanah juga harus lebih diarahkan pada lahan kering, dalam rangka mendukung pengembangan pertanian tanaman pangan (khususnya padi) lahan kering yang maju. Sementara penelitian lahan basah khususnya sawah tetap dilakukan secara intensif untuk, pertama, mendukung pemulihan kualitas tanah yang telah merosot akibat tindakan pemupukan berlebih sejak tahun 1970-an, dan; kedua, meningkatkan mutu tanah pertanian tanaman pangan khususnya sawah utama secara alami (ekologis) untuk mengimbangi kehilangan lahan sawah utama akibat konversi.

4.3. Pemberdayaan sosial-budaya petani

Di muka sudah di sebutkan bahwa proses penyuluhan pertanian terutama selama periode ”Revolusi Hijau” adalah proses pembodohan dan pelemahan secara sosial-budaya. Dalam periode tersebut petani padi telah kehilangan ”pengetahuan dan teknologi asli” karena diganti-paksa dengan ”pengetahuan dan teknologi asing” melalui proyek modernisasi pertanian. Tidak hanya pengetahuan dan teknologi, organisasi sosial petani padi juga diganti paksa dari tipe ”partisipatoris” ke tipe ”mobilisasi”, yaitu terutama kelompok tani dan gabungan kelompok tani (gapoktan) yang diklaim sebagai ”organisasi modern”.

Modernisasi pertanian yang digerakkan melalui proses penyuluhan pertanian yang bersifat memaksa memang berhasil menciptakan pertanian ”modern” dalam arti teknis-operasional. Tetapi, ia gagal membentuk karakter ”modernitas” pada petani, sejauh modernitas dipahami sebagai ”tradisi kebaruan”. Maksudnya, modernisasi gagal membentuk perilaku eksploratif dan inovatif pada petani. Karakter yang terbentuk adalah dependensi, dalam arti menggantungkan kelangsungan pertanian pada eksplorasi dan inovasi yang dilakukan institusi-institusi penelitian dan industri di luar komunitas petani. Bahkan keputusan produksi juga sebenarnya tidak berada di tangan petani, melainkan di tangan pemerintah yang menempatkan petani pada posisi ”tenaga kerja milik negara” yang harus dimobilisir untuk mencapai swasembada beras nasional. Ini berarti bahwa di masa Revolusi Hijau, dan bahkan gejalanya masih teramati hingga sekarang, petani tidak berdaulat atas otak dan ototnya.

Dengan kata lain proses pengembangan pertanian selama ini tidak menguatkan otonomi petani, melainkan mencabutnya. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan proses penyuluhan pertanian sebenarnya adalah intervensi negara ke ruang otonomi petani dengan maksud melemahkan kekuatan sosial petani, sehingga mudah dikendalikan atau dimobilisir untuk memenuhi kepentingan negara. Di situ penyuluhan bukanlah proses komunikasi dalam arti dialog setara yang bebas dari kekuasaan, melainkan proses mobilisasi dalam arti perintah searah yang sarat kekuasaan. Pola seperti itulah memang yang cocok dengan paradigma lama, karena pengembangan pertanian pada masa tersebut adalah perkara utak-atik model produksi. Sudah pasti suatu mobilisasi petani akan menjadi keharusan jika, misalnya, keragaan salah satu faktor produksi dalam model tersebut akan diubah secara nasiona, misalnya jenis benih, komposisi dan dosis pupuk, jenis obat-obatan, dan lain-lain.

Paradigma ekologi budaya mempersyaratkan kehadiran petani yang otonom. Karena secara faktual kini petani padi kita secara sosial-budaya ”lemah” dan "bodoh”, maka tidak ada pilihan lain kecuali melakukan pemberdayaan sosial-budaya. Orientasinya adalah pemulihan dan pengembangan otonomi petani melalui pembentukan organisasi petani yang kuat, dalam arti memiliki posisi tawar yang setara dengan institusi/organisasi sosial lain (pemerintah dan swasta) yang menempatkan pertanian padi sebagai salah satu pusat kegiatannya.

Organisasi petani yang dimaksud adalah organisasi korporasi yang mengelola suatu usaha milik petani secara profesional. Ini serupa dengan gagasan Pakpahan et al. (2005) tentang pengembangan Badan Usaha Milik Petani (BUMP) dalam rangka mewujudkan industrialisasi pertanian Indonesia. Kepemilikan petani atas organisasi korporasi tersebut idealnya bersifat individual dalam bentuk saham (tanah) dan sekaligus kolektif dalam bentuk koperasi. Koperasi adalah pilihan tipe yang tepat untuk organisasi korporasi petani tersebut.

Sebagai wujud keberdayaan, sudah pasti koperasi yang dimaksud di sini bukanlah semacam Koperasi Unit Desa (KUD) yang pada dasarnya hanya perpanjangan tangan negara yang berwatak korporatis. Sebagai organisasi korporasi, koperasi tersebut adalah ruang sekaligus wahana otonomi petani baik di bidang ekonomi dan sosial. Dalam kerangka itu, maka pemberdayaan sosial-budaya petani harus memberi penekanan pada penguatan aspek-aspek modal dan manajemen. Salah satu fokus penguatan itu, yang merepresentasikan kekuatan modal (khususnya modal sosial) dan manajemen, adalah pengembangan jejaring sosial-ekonomi yang menempatkan organisasi korporasi petani sebagai simpul utama (inti).

Dengan orientasi demikian, sudah pasti bahwa urusan pemberdayaan sosial-budaya petani tersebut tidak dapat lagi sepenuhnya diserahkan pada institusi penyuluhan pertanian. Perusahaan agribisnis swasta dan milik negara dan kekuatan organisasi non-pemerintah (misalnya HKTI, KTNA, Serikat Petani) dengan sendirinya juga harus berperanserta di situ. Lagi pula, jika institusi penyuluhan pertanian milik pemerintah akan berperanserta, maka watak dan strukturnya harus diubah, supaya lebih demokratis dan lentur. Dalam rangka itu istilah ”penyuluhan” sendiri, yang makna dan arahnya bertolak-belakang dengan istilah ”pemberdayaan”, harus dihilangkan dari nomenklatur pengembangan pertanian.


5. Gagasan ”Inkorporasi Beras”

Jika paradigma ekologi manusia dapat diterima sebagai acuan pengembangan pertanian padi, maka gagasan ”Inkorporasi Beras” dapat dipertimbangkan sebagai kerangka kerja yang relevan. Gagasan itu tidak saja relevan dengan konteks sosial-ekonomi dan politik perberasan nasional dewasa ini, tetapi juga relevan dengan kerangka revitalisasi pertanian. Terlebih lagi, gagasan Inkorporasi Beras sangat relevan dengan kebutuhan mendesak untuk pemberdayaan sosial-budaya petani, karena ia menempatkan organisasi (korporasi) petani sebagai simpul utama (inti) dari jejaring inkorporasi.

Ide dasar ”Inkorporasi Beras” adalah pertanian (primer) padi sebagai proses dan hasil budaya yang melibatkan interaksi tiga institusi inti yaitu organisasi korporasi petani (di sini tercakup unsur dasar ”tenaga”), industri perbenihan (membawakan unsur dasar ”benih”), dan institusi penelitian dan penataan tanah (membawakan unsur dasar ”tanah”. Budaya tani padi tersebut dalam prosesnya didukung oleh sejumlah kekuatan yang secara keseluruhan terjalin dalam jejaring Inkorporasi Beras Indonesia.

Kekuatan yang dimaksud adalah, pertama, sinergi benih dan tanah, yaitu inovasi-inovasi perpaduan benih-tanah dengan produktivitas optimal. Inovasi-inovasi tersebut adalah hasil penelitian dan pengembangan yang secara langsung melibatkan institusi penelitian benih padi (a.l. Balai Penelitian Padi), institusi penelitian tanah (a.l. Balai Penelitian Tanah, Bakosurtanal) dan penataan tanah (Badan Pertanahan Nasional), dan industri benih padi (a.l. Sang Hyang Seri). Proses-proses inovasi itu melibatkan juga organisasi korporasi petani, melalui interaksinya dengan dua institusi tersebut terakhir.

Kedua adalah kekuatan pasar sarana produksi padi (saprodi) yang terbentuk dari interaksi organisasi petani, industri benih, dan industri saprodi. Dalam hal ini, pasar saprodi tidak dikendalikan oleh industri saprodi, melainkan oleh spesifikasi benih padi. Artinya, karena benih merupakan patokan dasar kemajuan teknologi dan manajemen pertanian, maka pasar saprodi harus tunduk pada tuntutan kebutuhan benih. Pada tahapan tertentu, jika benih padi sudah mencapai tingkatan ”benih hijau”, maka kebutuhan saprodi dapat dipastikan akan menurun. Tetapi, sekarangpun, jika petani tunduk pada kebutuhan saprodi khususnya pupuk dan obat-obatan yang dipersyaratkan benih dengan spesifikasi tertentu, mestinya permintaan akan saprodi tidak terlalu besar. Masalahnya sekarang, spesifikasi sebagian terbesar benih padi yang digunakan petani tidak jelas, sehingga tidak bisa dilakukan perhitungan yang pasti tentang kebutuhan misalnya pupuk dan oobat-obatan. Petani selalu mengasumsikan ”semakin banyak pupuk, semakin tinggi produksi”.

Ketiga adalah kekuatan pasar kredit pertanian, baik kredit produksi pertanian primer maupun kredit investasi terkait dengan penanganan pasca-produksi. Jenis kredit pertama merupakan hasil interaksi antara organisasi petani dengan institusi bank pertanian dan industri saprodi. Sedangkan jenis kredit kedua merupakan hasil interaksi antara organisasi petani dengan institusi bank pertanian dan organisasi perdagangan beras/padi (swasta dan milik negara/BULOG). Hal yang sangat mendasar di sini adalah kebutuhan akan kehadiran institusi bank pertanian. Sekarang ini di Indonesia tidak ada satu bank yang dapat disebut sebagai bank pertanian, dalam arti menempatkan kredit petani/pertanian sebagai bisnis utama (core business). Bank Rakyat Indonesia (BRI), sebagai satu-satunya bank pemerintah yang memusatkan perhatian pada kredit mikro (untuk bisnis mikro), juga tidak memiliki skim kredit komersil khusus pertanian. Bank ini hanya melayani kredit pertanian, misalnya kredit Bimas dan Kredit Ketahanan Pangan, sejauh itu merupakan kredit program.

Keempat adalah kekuatan pasar beras/padi yang merupakan hasil interaksi antara organisasi petani, organisasi perdagangan beras/padi, dan konsumen (rumahtangga dan industri). Jika organisasi petani memiliki kekuatan yang setara dengan organisasi perdagangan padi/beras, maka petani akan terbebas dari posisi ”penerima harga” (price taker). Harga beras/padi benar-benar akan dihasilkan dari kekuatan pasar yang menempatkan petani, pedagang, dan konsumen dalam hubungan triangular yang simetris.

Gagasan Inkorporasi Beras ini dengan tegas menempatkan organisasi petani sebagai simpul utama jaringan. Artinya, setiap langkah dari berbagai kekuatan-kekuatan lain dalan jejaring inkorporasi itu harus selalu merujuk pada kepentingan sosial-budaya dan sosial-ekonomi petani. Sebagai konsekuensinya, Inkorporasi Beras mempersyaratkan kehadiran organisasi korporasi petani modern yang kuat secara sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Jika tidak demikian, maka ia tidak akan memperoleh manfaat apapun dari inkorporasi melainkan, seperti gejala yang teramati selama ini, ia justru menjadi ”sapi perah” bagi kekuatan-kekuatan sosial-ekonomi lain yang tergabung dalam jejaring Inkorporasi Beras tersebut.


6. Penutup

Sudah pasti pokok-pokok pikiran dan gagasan yang dimajukan dalam tulisan ini harus diuji baik pada tataran teori melalui diskusi panjang dan mendalam maupun pada tataran empiri melalui uji-coba gagasan di lapangan. Gagasan “Inkorporasi Beras”, bagaimanapun juga, layak dikaji lebih jauh secara kritis untuk kemudian diuji-cobakan melalui suatu “proyek pemandu” (pilot project). Dengan menempatkannya dalam kerangka otonomi daerah (kabupaten), uji-coba gagasan tersebut dapat dirancang dan dilakukan di dua kabupaten (Jawa dan Luar Jawa) yang mengidentifikasi diri sebagai “lumbung padi”. Mengingat sifatnya yang “uji-coba” maka jelas di situ diperlukan kehadiran suatu institusi penelitian sosial-ekonomi pertanian yang kuat, untuk menjalankan suatu peran penelitian-aksi (action research) sehingga dapat ditemukan suatu pola generik dari gagasan tersebut. Pola generik itulah yang kemudian dapat diangkat menjadi suatu kebijakan pengembangan pertanian padi nasional.


Daftar Pustaka

Geertz, C., 1963, Agricultural Involution: The Processes of Ecological Change in Indonesia, Berkeley: Univ. of California Press.
Hayami, Y. and M. Kikuchi, 1981, Asian Village Economy at the Cross Roads: An Economic Approach to Institutional Change, Tokyo: Univ. of Tokyo Press.
Husken, F., 1998, Masyarakat Desa dalam Perubahan Jaman: Sejarah Diferensiasi Sosial di Jawa 1830-1980, Jakarta: Gramedia.
Pakpahan, A. et al., 2005, Membangun Pertanian Indonesia: Bekerja Bermartabat dan Sejahtera, Bogor: Himpunan Alumni IPB.
Sadjad, S., F.C. Suwarno, dan S. Hadi, 2001, Tiga Dekade Berindustri Benih di Indonesia, Jakarta: Gramedia.
Sajogyo, 1972, ”Modernization without Development in Rural Java”, Bogor: Lembaga Penelitian Sosiologi Pedesaan.
Simatupang, P.,1999, “Alternatif Baru Kebijaksanaan Perberasan: Stabilisasi Harga On Trend, Intensifikasi Berkelanjutan dan Jaring Pengaman Ketahanan Pangan” dalam T. Sudaryanto, I.W. Rusastra dan E. Jamal, Analisis dan Perspektif Kebijaksanaan Pembangunan Pertanian Pasca Krisis Ekonomi, Bogor: Pusat Penelitian Sosial-Ekonomi Pertanian Balitbangtan.
Soetrisno, L., 2002, Paradigma Baru Pembangunan Pertanian: Sebuah Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Wiradi, G. dan Makali, 1984, ”Penguasaan Tanah dan Kelembagaan” dalam F. Kasryno (Ed.), Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar rutin Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (PSEKP), Balitbang Pertanian, Departemen Pertanian RI, Bogor, 31 Agustus 2006. Dimuat dalam jurnal Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 04, No. 03 Th. 2006. Tulisan ini sudah mengalami perbaikan minor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar