Minggu, 10 Mei 2009

Revitalisasi Pertanian Tanpa Benih?

Oleh MT Felix Sitorus


Jangan terlalu optimis dengan kebijakan revitalisasi pertanian. Alasannya sederhana. Kebijakan itu mengabaikan unsur benih. Padahal, bersama tanah dan petani, benih adalah salah satu unsur pokok pertanian.

Pertanian adalah interaksi benih, tanah, dan petani dalam suatu bingkai budaya. Eksistensi pertanian adalah resultan dari ketiganya. Konsekuensinya, tidak boleh ada unsur yang bernilai nol. Tanpa benih, misalnya, maka tidak ada pertanian.
Konsekuensi lainnya, unsur bernilai terendah membatasi pencapaian resultan optimum. Jika mutu benih buruk, misalnya, maka pencapaian pertanian juga akan buruk.

Dampak kebijakan revitalisasi pertanian tanpa mempertimbangkan benih sudah terbukti. Target pemerintah meningkatkan produksi beras 2 juta ton tahun ini langsung terkendala oleh kekacauan realisasi subsidi benih padi.

Untuk mendukung pencapaian target itu, diimpor pula benih padi hibrida. Tapi, kita semua tahu, sukses budidaya padi hibrida tidak mungkin terjadi dalam semusim. Revolusi Hijau saja memerlukan waktu 15 tahun untuk mewujudkan swasembada beras.
Pengabaian unsur benih dalam kebijakan revitalisasi pertanian adalah kesalahan fatal. Dengan definisi pertanian seperti di atas, kebijakan manajemen pertanahan dan pemberdayaan petani sebagaimana dirumuskan dalam dokumen revitalisasi pertanian tidak banyak gunanya.

Bukan tanah, bukan pula petani, melainkan benihlah kunci pertama untuk pencapaian tujuan revitalisasi pertanian, yaitu pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Dasarnya adalah teori kesejajaran Sadjad yang menetapkan benih sebagai penentu kemajuan pertanian. Jelasnya, benih adalah penghela kemajuan pertanian. Itu sebabnya FAO, atau misalnya Cina sebagai contoh negara, menempatkan benih sebagai prioritas pembangunan pertanian pangan.

Ketersediaan tanah subur dan kehadiran petani handal tidak banyak gunanya, jika benih bermutu rendah. Sebaliknya juga, benih unggul tidak banyak gunanya jika manajemen pertanahan dan kemampuan petani lemah. Karena itu, kebijakan manajemen pertanahan dan pemberdayaan petani, harus diimbangi dengan kebijakan pengembangan perbenihan.

Benih membuka pintu menuju pencapaian ketiga tujuan revitalisasi pertanian melalui tiga cara. Pertama, jika berinteraksi dengan tanah dan budaya organisasi dan manajemen tani yang tepat, maka benih unggul akan menghasilkan pertanian yang unggul dalam produktivitas, daya saing, nilai tambah, dan kemandirian. Artinya, pertanian tumbuh pesat.

Kedua, jika dapat diakses petani, benih unggul dapat mendukung terbentuknya pertanian yang lebih intensif, menyerap tenaga lebih banyak, dan menghasilkan surplus yang lebih besar. Kualitas pertanian seperti itu akan menjamin pemerataan sosial-ekonomi.

Ketiga, jika didukung dengan kegiatan penelitian dan pengembangan yang kuat maka sangat mungkin ditemukan benih unggul ramah lingkungan (hemat pupuk, obat-obatan, dan air) yang menjamin keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan. Sekarang ini baru 30 persen lahan padi menggunakan benih unggul bersertifikat yang responsif terhadap pupuk. Sementara penggunaan pupuk sudah mencapai 90 persen lahan. Berarti, terjadi pemborosan pupuk pada 60 persen lahan, dengan resiko kemerosotan mutu tanah.

Tiga cara di atas mempersyaratkan reformasi penelitian, produksi, dan distribusi benih. Penelitian benih harus diarahkan pada penemuan varietas-varietas baru yang semakin unggul, baik benih inbrida maupun hibrida.

Dalam kasus pertanian padi, sejauh ini belum ditemukan lagi varietas baru yang benar-benar unggul. Pergantian periodik varietas tanaman padi selama ini hanya untuk memutus rantai hama dan penyakit, bukan karena pertimbangan keunggulan.

Di bidang produksi, untuk menghindari benih bermutu rendah, industri perbenihan harus direstrukturisasi dengan cara menyambungkan industri benih lokal dengan industri benih modern nasional yang sudah teruji reputasinya. Bersamaan dengan itu, harus ada modernisasi teknologi produksi benih.

Terkait distribusi, benih unggul harus tersedia bagi petani secara tepat waktu, jumlah, mutu, dan harga. Hal ini bisa dijamin dengan membangun jejaring distribusi yang menyambungkan langsung industri benih dengan petani pengguna.

Kebijakan pengembangan perbenihan tersebut jelas mengandaikan pertanian sebagai bisnis. Karena itu, kebijakan manajemen pertanahan dan pemberdayaan petani juga harus ditempatkan dalam konteks serupa. Konsekuensinya, petani harus tampil sebagai golongan pebisnis di pedesaan.

Karena itu pemberdayaan petani seyogyanya diarahkan pada penguatan organisasi dan manajemen. Orientasinya adalah pengembangan otonomi petani. Petani idealnya tergabung dalam suatu organisasi korporasi yang kuat, semacam badan usaha milik petani, sehingga memiliki posisi tawar yang setara dengan pemerintah dan swasta.

Dimuat dalam: Agro Observer, Juni 2007 (h. 29)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar