Selasa, 12 Mei 2009

Janji Rekonsiliasi dan Perubahan Agraria

Oleh MT Felix Sitorus

REKONSILIASI dan perubahan adalah dua janji utama pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-JK) semasa kampanye. Setelah pasangan itu terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI, saatnya menagih janji. Secara khusus berkenaan dengan isu agraria, janji itu mestinya dipenuhi dengan memasukkan kebijakan rekonsiliasi dan perubahan agraria dalam agenda 100 hari pemerintahan SBY-JK.

Yang dimaksud dengan rekonsiliasi dan perubahan agraria di sini tidak lain adalah reforma dan transformasi agraria. Rekonsiliasi adalah reforma, dan perubahan adalah transformasi. Jika rekonsiliasi diartikan proses menutup kesenjangan, rekonsiliasi (reforma) agraria adalah proses menutup kesenjangan struktural antar-/inter-subjek agraria (pemerintah, pengusaha, dan komunitas) dalam hal akses terhadap sumber-sumber agraria berikut manfaatnya.

Jika perubahan diartikan proses alih wujud, perubahan (transformasi) agraria adalah proses peralihan struktur agraria dari yang tak berkeadilan menjadi berkeadilan.

Janji

Dalam dokumen tentang visi, misi, dan program (Membangun Indonesia yang Aman, Adil, dan Sejahtera) yang diserahkan ke Komisi Pemilihan Umumu (KPU), pasangan SBY-JK mencantumkan dua kali janji reforma agraria. Mereka berjanji akan melaksanakan reforma agraria dalam rangka perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja (h 56) dan revitalisasi pertanian/pedesaan (h 69).

Penyebutan yang kedua tampaknya konkretisasi dari yang pertama, sehingga cukuplah jika memegang janji melaksanakan reforma agraria dalam rangka (sebagai landasan bagi) revitalisasi pertanian/pedesaan.

Esensi revitalisasi pertanian/pedesaan sebenarnya adalah pembangunan pertanian/pedesaan. Sebenarnya aneh juga mendengar istilah itu dimunculkan oleh SBY-JK. Masalahnya, dalam kaitan krisis ekonomi, yang perlu direvitalisasi sebenarnya adalah sektor industri/perkotaan yang collapse diterpa krisis.

Pada saat bersamaan, sektor pertanian/pedesaan sebenarnya justru survive, bahkan menjadi penyelamat bagi ekonomi nasional. Mungkin, untuk berpikir positif, penggunaan istilah revitalisasi pertanian/pedesaan itu dimaksudkan sebagai kemauan politik untuk menjadikan pertanian/pedesaan sebagai penghela utama ekonomi nasional.
Pada titik ini penting menegaskan perbedaan mendasar antara reforma agraria dan pembangunan pertanian/pedesaan. Reforma agraria selalu mendahului (dan karena itu menjadi landasan bagi) pembangunan pertanian/pedesaan. Reforma agraria adalah proses pembentukan struktur penguasaan (akses) sumber-sumber agraria (tanah dan non-tanah) yang berkeadilan.

Ia bersangkut-paut terutama dengan aspek-aspek penguasaan sumber hubungan kerja agraria. Sementara pembangunan pertanian/pedesaan adalah proses peningkatan produktivitas sumber-sumber agraria yang telah dikuasai secara berkeadilan itu. Ia bersangkut-paut terutama dengan aspek-aspek iptek, manajemen, dan pembiayaan dalam kegiatan sosial-ekonomi pertanian/pedesaan.

Dari pembedaan di atas, jelas bahwa reforma agraria berorientasi pada keadilan atau pemerataan, sementara pembangunan (revitalisasi) pertanian/pedesaan berorientasi pada produktivitas atau pertumbuhan. maka suatu rezim pemerintahan yang hanya melakukan pembangunan (revitalisasi) pertanian/ pedesaan tidak berhak mengklaim telah melakukan juga reforma agraria.

Itulah sebabnya, mengapa reforma agraria harus diikuti dengan pembangunan pertanian/pedesaan. Pengalaman di masa Pemerintahan Soeharto, pembangunan pertanian/pedesaan berlabel Revolusi Hijau tidak diawali dengan reforma agraria, sehingga yang terjadi kemudian adalah penajaman ketimpangan sosio-agraria di pedesaan.

Pola yang salah ini masih tetap diikuti sampai masa Pemerintahan Megawati, ketika pembangunan pertanian berlabel Pengembangan Agribisnis tetap tidak diawali dengan suatu langkah reforma agraria. Apakah mungkin Pemerintahan SBY-JK akan mengulangi kesalahan serupa?

Agenda 100 Hari

Pengalaman land-reform di paruh pertama 1960-an, dalam perkembangannya telah menimbulkan resistensi terhadap gagasan reforma agraria di pihak pemerintah termasuk organisasi bisnis milik negara (BUMN) dan pengusaha besar (pertanian, perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan perikanan).

Resistensi itu tetap diwarisi Pemerintahan Megawati ditandai dengan tidak adanya langkah signifikan pelaksanaan TAP MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan PSDA. Jika ada langkah yang harus disebutkan, itulah rencana penggantian UUPA 1965 yang merupakan landasan hukum bagi reforma agraria menjadi UU Sumberdaya Agraria yang terindikasi berjiwa "liberal" seperti Agrarische Wet 1870.

Apakah mungkin Pemerintahan SBY-JK juga masih akan mewarisi resistensi terhadap gagasan reforma agraria itu? Kekhawatiran untuk itu tetap ada, kendati pun dalam dokumen visi, misi, dan program, mereka secara eksplisit berjanji melaksanakan reforma agraria.

Alasan kekhawatiran itu adalah, pertama, tidak adanya posisi kementerian agraria dalam struktur kabinet SBY-JK atau Kabinet Indonesia Bersatu (KIB). Padahal dalam media massa sebelumnya sudah santer diberitakan akan ada suatu kementerian agraria. Harapan itu sebenarnya tidak berlebihan karena sebelumnya memang sudah pernah ada Menteri Agraria/Kepala BPN. Kealpaan kementerian agraria dalam KIB agaknya bukanlah ketidak-sengajaan.

Kedua, departemen-departemen terkait reforma agraria dalam KIB ternyata dipimpin oleh menteri-menteri yang latar-belakangnya steril dari gagasan reforma agraria. Ini agaknya juga bukan ketidak-sengajaan. De- partemen-departemen yang dimaksud adalah Departemen Pertanian dan Pangan, Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, dan Departemen Energi dan Sumberdaya Mineral. Departemen-departemen ini berkepentingan langsung dengan manajemen sumber-sumber agraria yang merupakan obyek reforma agraria.

Ketiga, sumber-sumber agraria strategis yang niscaya menjadi obyek reforma agraria untuk sebagian besar dikuasai oleh pengusaha besar swasta, BUMN, dan kelompok militer.

Fakta ini bisa menjadi kendala bagi Presiden SBY (militer pensiunan) dan Wapres JK (pengusaha besar) untuk merealisasikan janji reforma agraria. Tidak mustahil mereka akan ditarik ke wilayah "solidaritas korps" untuk kemudian melupakan janji tersebut.
Dengan tiga alasan di atas, bisalah dikatakan bahwa Pemerintahan SBY-JK pada hari pertama sama sekali tidak menunjukkan indikasi positif untuk pelaksanaan janji reforma agraria.

Kalau kehawatiran ini benar, maka sudah pasti bahwa janji SBY-JK untuk merevitalisasi pertanian/pedesaan juga tidak akan mampu mengurangi tingkat kemiskinan di pedesaan, tetapi justru akan memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi seperti telah terbukti dari kasus Revolusi Hijau di masa lalu.

Sebagai seorang doktor Ilmu Ekonomi Pertanian, pastilah Presiden SBY sudah sangat paham bahwa peningkatan produktivitas pertanian tidak akan mengurangi tingkat kemiskinan, apabila distribusi akses terhadap sumber daya pertanian (agraria) khususnya tanah tidak dibuat merata lebih dahulu.

Pada titik ini, tampaknya hanya ada satu jalan bagi Pemerintahan SBY-JK untuk terhindar dari kualitas "resisten dan ingkar" terhadap gagasan reforma agraria. Jalan yang dimaksud adalah merumuskan secara eksplisit suatu agenda strategis rekonsiliasi (reforma) dan perubahan (transformasi) agraria (pertanian/pedesaan) untuk 100 hari masa pemerintahan.

Khusus bagi SBY, agenda itu merupakan batu uji sekaligus bagi integritas politiknya sebagai seorang Presiden RI dan bagi integritas keilmuannya sebagai seorang Doktor Ilmu Ekonomi Pertanian.

Agenda strategis yang diusulkan di sini untuk dicanangkan dalam 100 hari pemerintahan cukup satu, yaitu merumuskan dan mengeluarkan suatu keputusan tentang pembentukan sebuah Otorita Nasional untuk Penyiapan dan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Pembentukan otorita tersebut merupakan keharusan karena dalam struktur KIB sekarang ini, dan juga dalam kabinet-kabinet masa reformasi sebelumnya, tidak ada suatu departemen atau badan nasional yang berfungsi sebagai rumah bagi gagasan dan kebijakan reforma agraria.

Badan Pertanahan Nasional bukanlah rumah yang cocok, karena ia berfungsi lebih sebagai administratur pertanahan. Sudah pasti bahwa "reforma" bukan sekadar "penataan administrasi" dan lingkup" sumber agraria" bukan sebatas "sumberdaya tanah".

Tanpa pembentukan otorita yang diusulkan di atas, maka tidak ada gunanya berbicara tentang reforma agraria. Sudah terbukti selama ini bahwa tuntutan petani untuk reforma agraria, gagasan tentang arah kebijakan dan model reforma agraria, serta masukan seputar peraturan/perundangan agraria, semuanya mentok karena tidak ada suatu rumah atau otorita yang memiliki wewenang untuk menampung, mengolah, dan melaksanakannya.

Akibatnya, petani/orang desa kini sudah mulai mengambil inisiatif sendiri melakukan "reforma agraria dari bawah" (agrarian reform by leverage) dalam bentuk reclaiming atas tanah-tanah perkebunan dan hutan, yang selalu diwarnai dengan konflik dengan pemerintah ataupun pengusaha.

Jika tidak ada agenda kebijakan dan program reforma agraria yang substansil dari Pemerintahan SBY-JK, maka gejala reclaiming itu di tahun-tahun mendatang mungkin akan keluar dari rel reforma agraria dan bermetamorfosa menjadi anarki agraria.

Harus diakui, membentuk suatu otorita untuk reforma agraria adalah keputusan politik yang sangat berat. Tetapi lebih berat lagi beban sosial-ekonomi mayoritas rakyat Indonesia, yaitu "orang desa" (petani gurem, buruh tani tunakisma dan penduduk miskin lainnya) yang telah memilih SBY-JK sebagai pasangan pimpinan nasional, apabila janji untuk melaksanakan rekonsiliasi atau reforma agraria diingkari.

Harus dikatakan di sini, jika langkah pertama untuk reforma agraria yaitu pembentukan suatu otorita tidak terdapat dalam agenda 100 hari pemerintahan, maka mayoritas "orang desa" (yang lurus hati itu) mungkin telah keliru memilih dan menaruh kepercayaan pada SBY-JK sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI.

Dimuat dalam: Suara Pembaruan 18 Januari 2005 dengan judul "Rekonsiliasi dan Perubahan Agraria: Tagihan atas Janji SBY-JK"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar