Senin, 11 Mei 2009

Revolusi Paradigma Menuju Inkorporasi Beras

Oleh MT Felix Sitorus

Pembentukan inkorporasi beras dapat menjadi jalan keluar dari krisis perberasan nasional. Syaratnya, harus ada revolusi paradigma pertanian padi. Tidak seperti selama ini, hanya mengotak-atik instrumen pasar/produksi.

Paradigma yang meraja sekarang, yaitu paradigma ekonomi, melihat pertanian padi semata sebagai kegiatan produksi yang menga- winkan sejumlah sarana produksi untuk menghasilkan padi/beras. Peningkatan sarana produksi tertentu diyakini meningkatkan produksi padi.

Paradigma tersebut lalu mengukuhkan dominasi sarana produksi pupuk dan obat-obatan kimia. Tingkat produksi padi didalilkan berbanding lurus dengan tingkat penggunaan pupuk dan obat-obatan.

Paradigma ekonomi itu kini sedang mengalami krisis. Ia telah gagal menjawab masalah dasar pertanian padi yaitu kemunduran produktivitas usaha tani dan kesejahteraan petani. Karena itu pertanian padi sekarang ini sedang dalam kondisi krisis.

Sempat menaik semasa 1970-1985, sehingga swasembada beras tercapai, pertumbuhan produksi padi nasional cenderung menurun sejak paruh kedua 1980-an. Akibatnya, kita kembali mengimpor beras, sampai sekarang.

Peningkatan produksi padi sejak tahun 1970-an juga terutama dinikmati minoritas petani kaya. Sementara mayoritas petani miskin tani gigit jari.

Krisis pertanian padi itu berakar pada dua anggapan paradigma ekonomi yang menyesatkan. Pertama, asumsi bahwa produksi akan meningkat jika penggunaan pupuk dan obat-obatan meningkat. Faktanya, laju peningkatan produksi padi sejak akhir 1980-an cenderung menurun. Ini karena pemupukan telah merusak mutu tanah dan obat- obatan memicu resistensi hama dan penyakit tanaman.

Kedua, asumsi bahwa benih, tanah, dan daya petani adalah sarana produksi yang setara dengan pupuk dan obat-obatan. Ketiganya bukan sarana produksi melainkan unsur dasar pembentuk pertanian.

Ironisnya, debat pertanian padi atau perberasan selama ini justru mengukuhkan kedua anggapan sesat itu. Setiap musim tanam semua ribut soal pupuk dan obat-obatan. Persoalan mendasar yaitu krisis paradigma didiamkan.

Akibatnya, masalah dasar pertanian padi tak kunjung terpecahkan. Kemerosotan produksi/produktivitas dan kesejahteraan petani padi terus berlanjut. Keamanan pangan beras nasional menjadi rentan.

Tiga Kunci

Kini saatnya revolusi paradigma pertanian padi. Paradigma ekonomi telah gagal. Paradigma baru harus ditegakkan.

Paradigma ekologi budaya, yang melihat pertanian padi proses dan karya budaya, ditawarkan sebagai alternatif. Menurut paradigma ini, pertanian adalah interaksi triangular antara unsur-unsur dasar benih, tanah, dan daya petani, yang dipolakan secara unik oleh suatu bingkai budaya.

Paradigma itu bersandar pada tiga asumsi dasar. Pertama, benih, tanah, dan daya petani adalah tiga unsur dasar pembentuk pola pertanian padi. Karena itu pengembangan pertanian harus difokuskan pada ketiga unsur itu.

Kedua, benih adalah penentu utama tingkat kemajuan pertanian. Semakin tinggi taraf teknologi benih, semakin tinggi keunggulan pertanian. Efisiensi dan keefektifan sarana produksi ditentukan oleh tingkat teknologi benih.

Ketiga, sarana produksi bersifat suportif terhadap unsur dasar. Pupuk mendukung tanah, obat-obatan mendukung benih, dan alsintan mendukung daya petani. Karena itu fokus pengembangan inovasi pertanian harus bergeser dari tiga serangkai “pupuk-obat-alsintan” ke tiga serangkai “benih-tanah-daya”.

Dalam konteks revitalisasi pertanian, paradigma ekologi budaya memberi tiga kunci untuk mencapai sekaligus pemerataan, pertumbuhan, dan keberlanjutan. Kunci pertama, adalah penyediaan benih unggul bagi petani dengan dukungan institusi litbang dan industri benih yang kuat. Karena itu pengembangan perbenihan harus menjadi prioritas revitalisasi per-tanian padi.

Benih membuka pintu pencapaian tujuan revitalisasi dengan tiga cara. Pertama, interaksi benih unggul dengan tanah dan budaya tani yang tepat akan menghasilkan pertanian yang unggul. Kedua, kegiatan litbang yang kuat akan menghasilkan benih unggul ramah lingkungan yang menjamin keberlanjutan pertanian dan kelestarian lingkungan.

Ketiga, akses petani secara adil terhadap benih unggul akan menciptakan pertanian intensif, padat kerja, dan menghasilkan surplus besar sehingga pemerataan ekonomi tercapai.

Tiga cara itu mempersyaratkan reformasi perbenihan. Penelitian harus diarahkan pada diversifikasi benih, dengan memperhatikan potensi padi unggul lokal. Untuk menghindari produksi benih bermutu rendah, industri benih rakyat harus didampingi industri benih modern milik negara. Lalu negara menjamin distribusi benih kepada petani.

Kunci kedua adalah penyediaan tanah secara layak dan pasti dengan dukungan institusi litbang dan tata guna tanah yang kuat. Litbang tanah difokuskan pada pemulihan mutu sawah dan pengembangan potensi lahan kering.Reforma pertanahan termasuk pengendalian konversi sawah dilakukan untuk menjamin distribusi tanah yang adil.

Kunci ketiga adalah pemberdayaan sosial-budaya petani dengan dukungan institusi litbang dan pemberdayaan petani yang kuat. Orientasinya adalah pemulihan dan pengembangan otonomi petani. Petani padi bersatu dalam organisasi korporasi yang kuat sehingga memiliki posisi tawar setara dengan pemerintah dan swasta.

Empat Kekuatan

Jika paradigma ekologi diterima, maka inkorporasi beras adalah institusi sekaligus organisasi yang relevan untuk praktik pertanian padi. Ide dasarnya adalah pertanian padi sebagai proses budaya, yang berpusat pada interaksi triangular organisasi korporasi petani, industri benih, dan institusi penelitian dan penataan tanah.

Interaksi itu didukung sejumlah kekuatan yang membentuk jejaring inkorporasi.
Kekuatan pertama adalah sinergi benih-tanah berupa inovasi paduan benih-tanah dengan produktivitas optimal. Inovasi itu adalah hasil penelitian yang melibatkan institusi litbang benih, litbang tanah, penataan pertanahan, industri benih, dan organisasi korporasi petani.

Kedua, adalah kekuatan pasar sarana produksi padi (saprodi) sebagai hasil interaksi organisasi petani, industri benih, dan industri saprodi. Karena benih merupakan patokan kemajuan pertanian, maka pasar saprodi harus tunduk pada tuntutan kebutuhan benih.

Ketiga adalah kekuatan pasar kredit pertanian, yaitu kredit produksi dan kredit investasi pasca-produksi. Yang pertama adalah hasil interaksi organisasi petani, bank dan industri saprodi. Yang kedua hasil interaksi organisasi petani, bank dan organisasi perdagangan beras/padi. Di sini diperlukan kehadiran bank pertanian.

Keempat adalah kekuatan pasar beras/padi sebagai hasil interaksi antara organisasi petani, organisasi perdagangan beras/padi, dan konsumen. Jika kekuatan organisasi petani setara dengan organisasi perdagangan padi/beras, maka petani akan terbebas dari posisi penerima harga yang merugi.

Sekarang, apakah pemerintah berani menempuh langkah revolusioner seperti di atas? Atau tetap hanya mengotak-atik instrumen pasar/produksi yang sudah terbukti gagal seperti selama ini?

Dimuat dalam Suara Pembaruan, 7 Maret 2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar