Senin, 11 Mei 2009

Kapitalisasi Pertanian Padi

Oleh MT Felix Sitorus


Kapitalis turun ke sawah. Itulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan gejala masuknya beberapa perusahaan besar, antara lain sejumlah BUMN dan Medco Corp., ke bisnis tani padi akhir-akhir ini.

Bagaimana gejala itu sebaiknya disikapi? Ditolak atau sebaliknya disambut gembira?

Kalangan LSM “pembela petani” jelas menolak kapitalis masuk ke agribisnis padi. Alasannya, kapitalis akan mematikan petani.

Benarkah petani akan mati? Ya, kalau kapitalis bermain sendiri. Tidak, kalau ia bekerjasama dengan petani. Dalam konteks kerjasama itu, maka kapitalisasi padi sawah harus disambut positif. Mengapa?

Kegagalan

Salah satu tujuan pembangunan pertanian padi adalah transformasi cara produksi dari kegiatan ekonomi keluarga menjadi kegiatan bisnis. Itu berarti transformasi dari usahatani keluarga (mikro/kecil) ke perusahaan agribisnis (besar).

Proses transformasi itu melewati tiga tahap. Pertama, tahap agribisnis berbasis sumberdaya yang digerakkan kelimpahan sumberdaya alam dan manusia tak terdidik. Pada tahap ini agribisnis bersifat padat kerja. Produk akhirnya dominan komoditi primer.

Kedua, tahap agribisnis berbasis investasi yang digerakkan kekuatan investasi (capital) melalui percepatan pembangunan, pendalaman industri hulu/hilir, dan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia. Agribisnis di tahap ini bersifat padat modal. Produk akhirnya dominan komoditi olahan.

Ketiga, tahap agribisnis berbasis inovasi yang digerakkan innovasi melalui peningkatan teknologi dan kemampuan sumberdaya manusia. Ini tahap agribisnis yang bersifat padat inovasi (iptek). Produk akhirnya dominan komoditi olahan/jadi/turunan.

Hampir empat dekade pembangunan pertanian, pertanian padi kita secara keseluruhan masih mandeg di tahap pertama. Dengan kata lain transformasi pertanian gagal!
Revolusi Hijau dan program intensifikasi lanjutannya, hingga kini, tidak mampu membawa pertanian ke tahap agribisnis berbasis investasi sekalipun. Kendati terjadi modernisasi teknologi, pertanian padi tetap bersifat padat kerja dengan dominasi padi sebagai hasil akhir.

Transformasi pertanian gagal karena kesenjangan antara perubahan teknologi dan organisasi (manajemen). Pembangunan pertanian telah merevolusi teknologi pertanian dari non-kapitalis ke kapitalis. Tetapi tidak demikian dengan organisasi produksi.
Organisasi produksi pertanian padi masih “non-kapitalis”. Ia masih melekat pada institusi keluarga petani. Pertanian padi diorganisir sebagai salah satu dari sejumlah kegiatan ekonomi keluarga petani.

Dalam proses transformasi, organisasi dan teknologi seyogyanya bersisian. Teknologi kapitalis akan menjadi malapetaka jika organisasi produksinya non-kapitalis. Terbukti semasa revolusi hijau petani gurem terpaksa menjual sawah kepada petani kaya karena organisasi produksinya (non-kapitalis) tak mampu mengelola teknologi kapitalis.

Kesenjangan terjadi karena pembangunan pertanian menomorduakan aspek organisasi. Hingga kini program-program pembangunan pertanian padi, misalnya Primatani dan Peningkatan Produksi Beras Nasional, masih terfokus pada teknologi.
Tanpa revolusi ke organisasi produksi kapitalis, adopsi teknologi kapitalis tidak akan optimal. Teknologi akan diadopsi secara terbatas, serendah daya kelola organisasi produksi non-kapitalis.

Kemitraaan

Tiga tahapan proses transformasi pertanian tidak hanya menunjuk pada perubahan teknologi, tetapi juga perubahan organisasi (manajemen) produksi dari non-kapitalis ke kapitalis.

Fakta di lapangan, setelah hampir empat dekade pembangunan pertanian, teknologi sudah berwatak kapitalis tetapi organisasi produksi masih non-kapitalis. Pemerintah gagal mendorong perubahan organisasi produksi padi.

Karena pertanian padi gagal bertransformasi dari “usaha keluarga” (non-kapitalis) ke “bisnis” (kapitalis), maka adopsi/penerapan teknologi kapitalis tidak optimal. Akibatnya peningkatan produksi tidak optimal, sehingga ketahanan pangan menjadi rentan.

Ketahanan pangan (beras) nasional mempersyaratkan organisasi produksi yang kuat. Organisasi produksi non-kapitalis terbukti tidak memadai. Karena itu harus ada pergeseran revolusioner ke organisasi produksi kapitalis.

Pemerintah sudah terbukti gagal mendorong transformasi ke organisasi produksi kapitalis. Maka harapan layak ditujukan pada perusahaan kapitalis. Dengan skema agribisnis berbasis kemitraan, perusahaan kapitalis dapat bersinergi dengan petani untuk mewujudkan agribisnis berbasis investasi/inovasi.

Kemitraan petani dan perusahaan kapitalis itu dapat mengambil bentuk organisasi Badan Usaha Milik Petani (BUMP). Di situ petani menyediakan modal tanah dan tenaga tani. Sementara perusahaan kapitalis menyediakan modal finansil, teknologi, jejaring pasar, dan keahlian manajemen.

Pola kemitraan seperti itu sudah diterapkan sejumlah BUMN lingkup agribisnis/agroindustri dan komunitas petani di Subang/Karawang dan berhasil meningkatkan produksi padi dari 5 menjadi 8 ton/ha.

Idealnya kemitraan itu mewujudkan agribisnis padi terpadu skala besar (1000 ha per BUMP). Sebagai agribisnis berbasis investasi/inovasi, agribisnis padi itu tidak hanya menghasilkan gabah/beras. Ia juga menghasilkan energi biomas, pangan olahan (mie beras, makanan bayi, nasi instan, tepung beras, minyak beras), bahan bangunan, dan pupuk organik.

Menurut taksiran moderat, per 1 juta ha sawah, dengan pola kemitraan seperti di atas akan diperoleh gabah kering panen 15,2 juta ton. Dari pengembangan horisontal akan diperoleh energi listrik sebesar 281 MW atau 1.824 GWH.

Jadi pola kemitraan tersebut tidak hanya berpotensi mendukung ketahanan pangan nasional. Ia juga berpotensi mencukupi kebutuhan energi listrik pedesaan. Pendapatan dan kesejahteraan petani sudah pasti juga meningkat.

Jadi, mengapa harus takut jika kapitalis baik BUMN maupun swasta turun ke sawah? Dengan suatu skema kemitraaan kapitalis-petani yang difasilitasi pemerintah, misalnya pola BUMP, taraf kehidupan sosial-ekonomi petani akan terangkat.
Secara bersamaan pertanian padi juga akan bertransformasi menjadi agribisnis berbasis investasi dan inovasi. Sejalan dengan kebijakan revitalisasi, itulah wujud pertanian padi modern yang tangguh dan berdayasaing.***

Dimuat dalam Suara Pembaruan 8 April 2008

Tidak ada komentar:

Posting Komentar