Kamis, 03 Desember 2009

Pembangunan Pertanian Pangan Bervisi 2025 (Food Agriculture Development by Vision 2025)

MT Felix Sitorus

Program 100 hari pemerintah harus ditempatkan dalam program jangka panjang, 15 tahun ke depan sampai 2025, bukan jangka pendek, 1 sampai 5 tahun ke depan. Demikian pula halnya dengan program 100 hari Menteri Pertanian Suswono, yaitu audit luas baku lahan pertanian, peningkatan luas penguasaan lahan, dan peningkatan nilai tambah komoditas pertanian (Suara Pembaruan, 23/10/2009).

Bicara 15 tahun ke depan, berarti bicara tantangan pertanian tahun 2025, yaitu pelipatgandaan produksi pangan. Peningkatan produksi pangan terbesar dibutuhkan, terutama oleh Asia, yang dihuni 61 persen penduduk dunia. Cara terbaik adalah meningkatkan produksi domestik, karena impor terlalu mahal. Dalam konteks ini, kepemimpinan Deptan untuk merancang dan melaksanakan pembangunan pertanian pangan bervisi 2025 mutlak diperlukan.

Menurut perkiraan moderat, untuk mencukupi permintaan pangan dunia pada 2025 perlu ditingkatkan produksi pangan sedikitnya 2 persen per tahun. Jelas, ini bukan target mudah, mengingat hadirnya empat kendala besar. Pertama, kelangkaan sumber daya air. Resultan pertumbuhan penduduk, produksi pangan, perkembangan industri, dan perubahan iklim akan menyebabkan sekitar 60 persen penduduk dunia mengalami kelangkaan air pada 2025. Kedua, keterbatasan lahan pertanian. Dalam 15 tahun ke depan, luas lahan pertanian menjadi terbatas, karena peningkatan konversi ke nonpertanian. Ketiga, keterbatasan sumber daya tak terbarukan. Memasuki 2025, peningkatan produksi pangan melalui pertanian berbasis pupuk mineral akan terkendala oleh keterbatasan pupuk, menipisnya stok sumber daya tak terbarukan yang menjadi bahan baku. Keempat, perubahan iklim global. Pemanasan global menyebabkan instabilitas dan ekstrimitas iklim. Suhu udara meningkat, sehingga kelembaban dan dinamika atmosfer berubah.

Dengan empat kendala besar tersebut jelas pembangunan pertanian pangan dalam 15 tahun ke depan tidak boleh dijalankan secara business as usual. Tak terkecuali di Indonesia yang harus memberi makan 273 juta penduduk pada 2025. Penduduk sebanyak itu memerlukan 38 juta ton beras atau sekitar 72 juta ton padi. Untuk itu, Indonesia harus mengamankan minimal luas panen padi 12 juta hektare dengan rerata produktivitas 6 ton/ha, sehingga akan dihasilkan padi 72 juta ton. Itulah visi 2025 pembangunan pertanian pangan.


Tiga Pendekatan

Visi 2025 tidak akan tercapai jika pembangunan pertanian pangan tidak antisipatif terhadap keempat kendala besar tadi. Hasil penelitian menunjukkan pelandaian peningkatan produktivitas pertanaman padi sejak 1990-an. Terkait perubahan iklim global, kekeringan akibat kemarau panjang yang dibawa El Nino pada 1997, telah menggagalkan produksi padi dalam skala sangat besar (426.000 ha). Oleh karena itu, dalam konteks kehadiran empat kendala besar tersebut harus ada satu strategi besar peningkatan produksi pangan. Untuk itu, tiga pendekatan yang tetap relevan ditempuh. Pertama, peningkatan luas panen melalui inovasi varietas benih unggul berumur pendek yang ramah lingkungan dan teknologi budi daya yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman. Kedua, peningkatan hasil panen per hektare melalui intensifikasi produksi. Pendekatan ini sangat relevan, karena peningkatan hasil per unit lahan, khususnya peningkatan hasil biologis, akan menurunkan tekanan pada lingkungan yang rapuh. Ketiga, peningkatan ketersediaan lahan pertanian baru, terutama di lahan kering. Gagasan menteri pertanian tentang audit lahan dan reforma agraria relevan diterapkan di sini. Tapi, harus diingat, dalam 15 tahun ke depan perluasan sawah akan terkendala oleh ketersediaan air, sehingga biaya ekonomi dan ekologisnya akan terlalu mahal. Karena itu peluang yang layak dimanfaatkan adalah pengembangan potensi lahan kering.

Ketiga pendekatan itu memiliki satu inti, yaitu benih varietas unggul. Untuk meningkatkan luas panen per tahun diperlukan benih varietas umur pendek. Untuk meningkatkan hasil per hektare diperlukan benih varietas produksi tinggi. Untuk ekspansi ke lahan kering diperlukan benih varietas hemat air dan hara.

Masyarakat Eropa sudah menangkap inti tersebut, sehingga riset bioteknologi dan genomik tetumbuhan diarahkan pada penciptaan generasi baru tanaman pangan yang memiliki potensi produksi tinggi sekaligus ramah lingkungan. Belajar dari Masyarakat Eropa, Deptan semestinya memulai pembangunan pertanian pangan bervisi 2025 dengan memacu program riset pemuliaan dan pengembangan benih tanaman pangan generasi baru. Benih tanaman pangan varietas unggul bervisi 2025 adalah yang memiliki sedikitnya tiga ciri unggul. Pertama, keunggulan biologis berupa potensi produktivitas tinggi, kandungan nutrisi tinggi, dan rasa enak. Kedua, keunggulan ekologis, yaitu ramah lingkungan khususnya tahan kekeringan (hemat air), tahan hama/penyakit (hemat pestisida), hemat pupuk, tahan rendaman, dan tahan salinisasi. Ketiga, keunggulan ekonomi berupa nilai-jual dan nilai-pasar.

Tinggal satu pertanyaan krusial. Di bawah Menteri Pertanian Suswanto, apakah program 100 hari, satu tahun, dan lima tahun pembangunan pertanian kita akan ditempatkan dalam kerangka visi 2025? Jika tidak, krisis pangan besar menunggu kita 15 tahun lagi.


Dimuat dalam Suara Pembaruan 24 November 2009