Kamis, 14 Mei 2009

Agar Reforma Agraria Turun ke Tanah

Oleh: MT Felix Sitorus

Saat Presiden SBY mencanangkan reforma agraria pada Januari 2007, terpikir apakah aspek sosiologis akan dipertimbangkan. Mengabaikan aspek ini berarti melumpuhkan reforma agraria.

Dan itulah yang terjadi. Institusi BPN, penanggungjawab reforma agraria, hanya sibuk merekayasa model-model penyatuan obyek (tanah) dan subyek agraria (tunakisma). Hasilnya, sudah hampir dua tahun berlalu, reforma agraria masih sekadar di bibir penguasa.

Sebenarnya BPN sudah merumuskan reforma agraria dengan baik sebagai reforma pertanahan plus akses. Tetapi, masalahnya, secara nasional belum tersedia peta struktur pertanahan dan akses yang hendak direforma itu.

Kalau struktur pertanahan dan akses, atau singkatnya struktur agraria, tak diketahui maka titik awal dan akhir reforma agraria juga tak jelas. Selama ini hanya dikatakan reforma agraria bertolak dari ketakadilan menuju keadilan. Tapi tak ada peta struktur ketakadilan/keadilan agraria yang dimaksud.

Mungkinkah reforma agraria turun ke tanah? Mungkin, asalkan BPN bersedia mengintegrasikan aspek sosiologis ke dalam rencana reforma agraria. Bagaimana caranya?

Selaraskan kepentingan

Masalah agraria pada intinya adalah masalah sosiologis. Ia adalah masalah struktural yaitu konflik kepentingan antara subyek pemerintah (negara), pengusaha (kapital), dan petani (komunitas) atas obyek agraria terutama tanah.

Karena itu langkah pertama dalam proses reforma agraria seyogyanya adalah pemetaan struktur agraria. Tujuannya untuk mengungkap struktur penguasaan dan pengusahaan tanah oleh pemerintah, pengusaha, dan petani berikut konflik-konflik kepentingan antar subyek tersebut.

Peta itu akan menunjukkan sumber-sumber agraria yang relevan diredistribusikan dan siapa yang layak menerimanya. Juga ditunjukkan hubungan-hubungan agraria yang harus ditata-ulang demi keadilan akses agraria. Inilah titik berangkat reforma agraria.

Berdasar peta itu dapat diproyeksikan sebuah peta baru struktur agraria yang (lebih) berkeadilan, dalam arti menjamin keselarasan beragam kepentingan subyek-subyek agraria. Peta ini sekaligus adalah rancangan tata guna sumber agraria nasional. Itulah titik akhir atau tujuan reforma agraria.

Dari studi-studi sosiologi agraria sudah diketahui struktur agraria Indonesia saat ini berpola kapitalis. Dalam pola ini kepentingan kapitalis, bergandengan dengan kepentingan pemerintah, mendominasi kepentingan petani. Itu sebabnya konflik agraria sekarang didominasi sengketa vertikal petani versus pengusaha/penguasa.

Jika struktur agraria kapitalistik itu dinilai tidak adil, lantas ke mana orientasi reforma agraria? Apakah ke pola kapitalis yang lebih berkeadilan, pola sosialis, atau pola populis? Jika merujuk pada UUPA 1960, yang masih berlaku sampai kini, jelas orientasinya pola populis yang mengutamakan petani gurem/tunakisma.

Tapi sebaiknya orientasi reforma agraria jangan kapitalis atau populis melainkan paduan keduanya. Dalam praktek, harmoni kapitalisme-populisme (kapipulisme) itu mengambil wujud agribisnis berbasis komunitas. Ini adalah suatu sinergi kekuatan pengusaha (kapitalis) dan petani (komunitas).

Alasannya, koeksistensi pemerintah, pengusaha, dan petani di bidang agraria adalah gejala sosiologis tak terbantahkan. Dominasi pengusaha (kapitalis) dalam struktur koeksistensi itu adalah keniscayaan. Kita hidup di dunia yang kapitalistik.

Karena itu tidak realistis jika reforma agraria didasari semangat anti-kapitalisme. Dasar yang relevan adalah semangat kolaborasi antara pemerintah, pengusaha, dan petani. Reforma agraria yang kolaboratif itu akan menyelaraskan ragam kepentingan antar subyek agraria.

Utamakan bagi hasil

Jika peta struktur agraria nasional sudah ada, dari mana reforma sebaiknya dimulai? Idealnya prioritas reforma agraria adalah penataan kelembagaan bagi hasil pertanian (access reform). Ini lebih realistis ketimbang, seperti sekarang, langsung fokus ke redistribusi tanah (landreform).

Alasan sosiologisnya, redistribusi tanah kepada petani gurem/tunakisma khususnya di Jawa dikhawatirkan akan memerosotkan produksi pangan sehingga justru merugikan ekonomi nasional.

Penjelasannya, pertanian kita kini sedang bergerak dari taraf agribisnis berbasis sumberdaya ke taraf berbasis investasi yang lebih efisien dan efektif. Jika sebagian tanah pertanian dibagikan kepada petani gurem/tunakisma yang mayoritas berorientasi subsisten, maka ada resiko pertanian mundur kembali ke taraf berbasis sumberdaya. Akibatnya bisa fatal yaitu krisis pangan dan ekonomi pedesaan.

Itu juga alasan pokok untuk menganjurkan reforma agraria berorientasi kapipulisme. Inti kolaborasi pengusaha/pemerintah dan petani dalam reforma agraria itu adalah bagi hasil yang adil, sesuai sumbangan modal masing-masing. Dalam hal ini bukan hanya modal finansial yang diperhitungkan, tetapi juga modal sosial.

Resiko resistensi kapitalisme dan instansi sektoral pemerintah juga rendah dalam reforma agraria berorientasi kapipulisme. Soalnya reforma dipusatkan pada aspek hubungan pengusahaan, bukan pada alih hak milik. Selama ini resistensi semacam itulah kendala utama yang menahan reforma agraria di atas kertas.

Dua hal tadi yaitu penyelarasan kepentingan subyek-subyek agraria dan pengutamaan penataan kelembagaan bagi hasil pertanian, adalah aspek sosiologis yang terabaikan. BPN sebaiknya segera mengintegrasikan dua hal itu untuk membumikan perencanaannya, agar reforma benar-benar turun ke tanah.***

Tulisan ini Arsip Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar