Rabu, 23 April 2014

Menegakkan Kedaulatan Pangan Nasional (Estabilishing the National Food Sovereignty)

Oleh: MT Felix Sitorus

Masalah pangan Indonesia adalah bagian masalah pangan global menuju 2025, yaitu upaya pelipat-gandaan produksi pangan untuk mencukupi peningkatan permintaan akibat pertumbuhan penduduk.  Upaya tersebut akan dihadapkan pada kendala-kendala kelangkaan air, keterbatasan lahan, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan, dan perubahan iklim dalam skala global.

Terdapat dua pilihan cara bagi pemerintah Indonesia untuk mengantisipasi permintaan pangan 2025.  Pertama, mengundang swasta untuk berinvestasi dalam pengembangan estat pangan, dengan resiko terjadinya kolonialisme pangan dan hilangnya kedaulatan pangan nasional.  Kedua, membentuk suatu BUMN Pangan sebagai pengelola estat pangan secara kolaboratif dengan BUMP, sehingga kedaulatan dan ketahanan pangan nasional tetap tegak.

Tulisan ini merekomendasikan pilihan cara kedua yaitu membentuk BUMN Pangan.  Namun sebelumnya terlebih dahulu akan dijelaskan tentang masalah pangan global, skenario solusi pangan global, dan bahaya kolonialisme pangan menuju 2025.

1.  Masalah Pangan Global

Sebagai konsekuensi pertambahan penduduk menjadi 8.5 milyar , pada tahun 2025 permintaan pangan dunia khususnya serealia akan lipat-ganda dari sekarang. Diperkirakan permintaan pangan tersebut hanya mungkin dipenuhi apabila peningkatan produksi pangan mencapai sedikitnya 2 persen per tahun.[1]

Tetapi upaya peningkatan produksi tersebut kini harus berhadapan dengan empat kendala yang bersifat global.  Pertama, masalah kelangkaan air yang akan membatasi pasokan air untuk irigasi.  Kedua, masalah keterbatasan lahan pertanian pangan akibat konversi ke peruntukan non-pertanian dan pertanian untuk produksi bahan bakar biologis.  Ketiga, keterbatasan sumberdaya tak-terbarukan yaitu bahan baku pupuk kimia dan bahan bakar fosil yang memicu produksi bahan bakar berbasis tanaman pangan.  Keempat, perubahan iklim global yang berdampak degradatif terhadap pertanian pangan.[2]

Resiko moderat yang mungkin terjadi, sebagai akibat dari empat kendala tersebut, adalah stagnasi peningkatan produksi.  Jika hal itu terjadi, yang  berarti produksi lebih kecil dari permintaan, maka dunia akan mengalami “krisis pangan”.  Isyarat dini sudah terbaca yaitu fakta bahwa pada ahun 2009 terdapat satu milyar penduduk dunia yang menderita kelaparan.[3]
Karena itu, sebagaimana dicanangkan para pemimpin dunia pada World Summit on Food Security (WSFS)  2009 di Roma,  dunia kini bergerak membangun ketahanan pangan melalui peningkatan investasi  pertanian dan ketahanan pangan dan pengembangan tata-kelola ketahanan pangan  yang koheren dan efektif. [4]


2.     Skenario Solusi Pangan Global

Peningkatan permintaan pangan 2025 diantisipasi dari dua sisi yaitu produksi dan konsumsi.  Dari sisi produksi diupayakan peningkatan produksi terus-menerus melalui peningkatan teknologi dan manajemen.  Dari sisi konsumsi diupayakan pengurangan laju pertumbuhan konsumsi pangan, khususnya serealia,  melalui pengendalian pertumbuhan penduduk dan diversifikasi pangan.
Prioritas dunia sekarang adalah pada peningkatan produksi dan produktivitas pangan.  Dirjen FAO Jacques Diouf  dalam WSFS 2009  telah menegaskan  bahwa untuk memenuhi kebutuhan pangan 9.1 milyar penduduk dunia tahun 2050, diperlukan peningkatan produksi pangan minimal 70 persen. Untuk itu, sebagaimana konferensi tersebut menekankan perlunya peningkatan investasi pertanian, khususnya di negara-negara berkembang.[5]
Prediksi permintaan pangan dunia 2025, atau lebih jauh lagi 2050, jelas memberi indikasi  bahwa pangan merupakan komoditi strategis,  baik secara politis maupun ekonomis.  Kelak, pangan adalah kekuasaan. Inisiatif dan langkah agresif pemerintah dan perusahaan transnasional negara-negara maju untuk menanam investasi besar-besaran di sektor agribisnis pangan harus dipahami dalam konteks meraih kekuasaan berbasis pangan. 
Konsisten dengan rekomendasi WSFS 2009, sasaran peningkatan investasi pertanian atau agribisnis tersebut adalah peningkatan produksi  pangan melalui tiga pendekatan.  Pertama, peningkatan luas panen atas luas baku melalui  inovasi varietas benih unggul dan teknologi budidaya yang memungkinkan peningkatan intensitas pertanaman. Kedua, peningkatan hasil per hektar lahan panenan melalui inovasi intensifikasi produksi.  Ketiga, peningkatan hamparan lahan pertanian baru yang menyumbang pada total produksi pangan global.
Mengingat adanya empat kendala besar tersebut di atas, maka skenario  pemenuhan permintaan pangan dunia menuju 2025  difokuskan pada peningkatan luas panen dan hasil per hektar lahan panenan.  Kombinasi kedua pendekatan ini diterapkan serentak dalam dua pola yaitu pola usahatani pangan skala rumahtangga dan pola agribisnis pangan skala besar berupa estat pangan (food estate).  Kedua pola tersebut diterapkan dalam kerangka intensifikasi  pertanian.  Jika ekstensifikasi dilakukan juga, maka harus dipastikan pelaksanaannya merupakan perluasan areal intensifikasi.
Skenario solusi pangan 2025 tersebut jelas memerlukan dana investasi yang sangat besar.  Pertama, investasi besar dibutuhkan untuk  keperluan riset  pemuliaan benih, meliputi riset-riset bioteknologi dan teknologi gen,  guna menemukan varietas-varietas unggul baru tanaman pangan (inbrida, hibrida, transgenik) berproduksi tinggi yang toleran  terhadap aneka cekaman biotik dan abiotik.   Investasi besar juga diperlukan untuk riset teknologi produksi,  guna menemukan teknologi input khususnya  pupuk dan pestisida, alsintan, dan metoda yang efisien, efektif, dan ramah lingkungan.  Inovasi-inovasi peningkat produksi/produktivitas ini menjadi prioritas dalam konteks empat kendala besar di atas. Suatu perkiraan menunjukkan bahwa setiap 0.1 persen kenaikan hasil dalam periode 2010-2025 akan mensubstitusi sekitar 25 juta ha lahan usahatani tadah hujan.[6]
Kedua, investasi besar juga diperlukan untuk  menerapkan inovasi-inovasi teknologi peningkatan luas panen dan hasil per hektar tersebut dalam skala besar yaitu estat pangan.  Pola ini memerlukan dana yang sangat besar untuk konsolidasi lahan (yang sudah ada), atau untuk pembukaan lahan (yang baru), dan untuk menjalankan manajemennya.
Menurut taksiran FAO, pada harga konstan 2009, rata-rata per tahun total investasi pertanian yang dibutuhkan negara-negara berkembang untuk dapat memenuhi kebutuhan pangannya menuju 2025-2050 adalah  US$ 209 milyar.  Selama ini (1997-2007) rata-rata total investasi tersebut hanya sekitar US$ 142 milyar per tahun .[7] 

Jika merujuk  pada perkiraan FAO, berarti negara-negara berkembang memerlukan  peningkatan investasi pertanian dan hilir primer sebesar rata-rata 32 persen sehingga angka US$ 209 milyar tercapai.  Sumber utama investasi tersebut menurut prediksi FAO selayaknya adalah sektor swasta. Sementara pemerintah yang dihadapkan pada keterbatasan anggaran diharapkan berinvestasi di bidang riset dan pengembangan, infrastruktur pedesaan, dan jaring pengaman sosial.[8]  Dengan skenario investasi pertanian seperti itu, jelas bahwa solusi pemenuhan pangan dunia akan memposisikan sektor swasta sebagai pengendali ketahanan pangan.

3.     Bahaya Kolonialisme Pangan

Undangan kepada swasta sebagai pelaku utama investasi di sektor pertanian primer dan hilir ibarat pedang bermata dua.  Satu mata dapat menebas kendala keterbatasan investasi di bidang pertanian dan pangan.   Kucuran dana investasi dari swasta dipastikan dapat mempercepat pengembangan pertanian dan peningkatan produksi pangan untuk memenuhi permintaan pangan dunia tahun 2025.

Tapi mata lainnya dapat menebas kedaulatan dan ketahanan pangan nasional.
Jelasnya, jika suatu perusahaan swasta memiliki estat pangan sehingga mampu menguasai 10 persen  dari pasokan (produksi) pangan pokok di suatu negara, maka negara itu praktis telah kehilangan kedaulatan pangannya. Dengan penguasaan  sebesar itu, perusahaan swasta tersebut memiliki kemampuan untuk mengendalikan pasar pangan nasional untuk keuntungan  bisnisnya. 

Kondisi itulah yang disebut sebagai gejala kolonialisme pangan, yaitu ketika kedaulatan pangan suatu bangsa hilang karena sektor swasta menguasai produksi/pasokan pangannya dalam jumlah yang signifikan.

Terkait dengan empat kendala besar tersebut di atas, gejala kolonialisme pangan ini bukan lagi hipotesa tapi sudah realitas empiris. Organisasi GRAIN mencatat pada 2008 pemerintah dan swasta dari sejumlah negara kaya (a.l. Jepang, Cina, Korea Selatan, Kuwait, Arab Saudi, dan Uni Emirat) telah melakukan investasi estat pangan di negara-negara berkembang di kawasan Asia-Afrika, untuk alasan-alasan kepentingan ketahanan pangan sendiri (food outsourcing)  dan penguasaan pasar pangan global. Langkah serupa juga dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta besar dari negara-negara Eropa dan Amerika. 

Indonesia termasuk salah satu negara yang diincar oleh investor estat pangan karena masih memiliki  potensi lahan subur yang luas.  Tambahan lagi, pemerintah sangat terbuka terhadap investor asing, antara lain dengan dimungkinkannya perusahaan asing memiliki modal maksimal 95 persen dalam budidaya padi[9], dan dimungkinkannya korporasi berinvestasi dan memiliki lahan pertanian pangan.[10]

Kasus mutakhir adalah rencana pengembangan estat pangan 1 juta ha di Merauke, yang baru saja (11/8/2010) diresmikan  mentan Suswono langsung di Merauke.[11] Sejak proyek ini digadang-gadang, sejumlah investor dari dalam dan luar negeri sudah menunjukkan minat.   Dari dalam negeri, disebutkan antara lain Medco Group,  Sinar Mas Group, Artha Graha Group (SAS), dan Bangun Tjipta Sarana.  Dari luar negeri, dilaporkan antara lain Binladen Group menunjukkan minat.

Tapi sudah bisa diduga, kelak dalam prakteknya, investor dalam negeri akan menggandeng investor luar negeri sebagai mitra.    Alasannya jelas, di satu sisi estat pangan adalah agribisnis padat teknologi mutakhir dan padat kapital.  Di sisi lain, kapasitas permodalan dan teknologi investor dalam negeri umumnya masih di bawah standar  kebutuhan minimum realisasi estat pangan.  Solusi untuk mengatasi kesenjangan tersebut adalah kerjasama dengan investor  multinasional.

Selain ancaman bagi kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, gejala kolonisasi pangan atau dominasi swasta dalam pertanian pangan juga akan memarjinalkan mayoritas petani kecil.  Dengan kekuatan permodalan, teknologi, manajemen, dan jejaring bisnisnya,  perusahaan swasta bukan saja akan menguasai pasar tetapi juga akan mendikte pasar produk pangan, misalnya dengan membanjiri pasar dengan beras murah, sehingga akan mematikan usahatani skala gurem. 

Marjinalisasi mayoritas petani kecil  sebagai dampak kolonialisme pangan  mengindikasikan dua masalah yaitu, pertama, hilangnya basis kedaulatan pangan nasional dan, kedua, peningkatan kemiskinan dalam masyarakat.

4.  Gagasan BUMN Pangan
Indonesia termasuk negara yang bermasalah dalam ketahanan pangan.   Badan Ketahanan Pangan Nasional mencatat pada tahun 2008 terdapat  25.1 juta jiwa (11.1%) penduduk Indonesia yang  berstatus “sangat rawan pangan”.[12]  Analisis data Susenas 2005 memberi gambaran bahwa mayoritas golongan “rentan pangan”/”rawan pangan” adalah rumahtangga pertanian miskin di pedesaan.[13]
Indonesia, seperti umumnya negara berkembang lainnya, juga dihadapkan pada keharusan peningkatan produksi pangan untuk menjamin ketahanan pangan.  Berpikir 15 tahun ke depan, menurut proyeksi BPS pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia akan  mencapai 273 juta jiwa.  Jika diasumsikan pangan adalah beras, maka untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduknya pada tingkat swasembada (140 kg/kapita/tahun), tahun 2025 Indonesia harus mampu memproduksi minimal 38 juta ton beras atau sekitar 72 juta ton padi (rendemen 53%).  Jika sekarang (angka 2009) diasumsikan produksi beras nasional 33 juta ton, berarti dalam 15 tahun ke depan harus ada tambahan minimal 5 juta ton lagi. 
Pertanyaan krusialnya sekarang, pertama, bagaimana cara mencapai tambahan 5 juta ton beras tahun 2025?   Cara pertama adalah menyerahkan target tambahan 5 juta ton beras itu pada sektor swasta, melalui investasi estat pangan padi seluas 1 juta ha di Merauke.  Jika diasumsikan produksi per hektarnya 5 ton, maka dalam dua kali tanam estat pangan itu akan menghasilkan 10 juta ton gabah atau sekitar  5.3 juta ton beras.  Tapi, jika ini yang menjadi pilihan, maka gejala kolonialisme pangan akan terjadi, dan Indonesia akan kehilangan kedaulatan pangannya.  Bukannya keamanan  melainkan kerawanan pangan  yang akan dicapai.
Pilihan cara yang paling bijak  kiranya adalah pengembangan estat pangan nasional seluas 1 juta ha di bawah pengelolaan negara melalui suatu BUMN bidang pangan.  Luasan 1 juta ha tersebut tidak harus merupakan lahan bukaan baru seperti di Maerauke, tetapi dapat diambil dari luas baku sawah nasional 7.7 ha, sebagai bagian dari lahan sawah abadi.   Dengan demikian estat pangan 1 juta ha itu tidak perlu terkonsentrasi di suatu wilayah, tetapi tersebar di sentra-sentra pertanian padi sawah di berbagai pulau di Indonesia.  Yang terkonsentrasi adalah manajemennya yaitu pada suatu BUMN Pangan.
Jika kebijakan yang bersifat nasionalis ini ditempuh, maka komposisi pengelolaan lahan sawah nasional menjadi 6.7 juta ha dikelola petani sendiri dan 1 juta ha dikelola BUMN Pangan bersama petani yang dapat diorganisir dalam unit-unit BUMP (Badan Usaha Milik Petani).  Target yang dibebankan pada lahan padi sawah petani adalah luas panen 10 juta ha per tahun dengan rerata produktivitas 5.5 ton/ha.  Sedangkan target lahan estat pangan nasional adalah luas panen  2 juta ha per tahun dengan rerata produktivitas 8.5 ton/ha, sesuatu yang tak mustahil jika mengusahakan padi hibrida tropis.   Dengan demikian akan diperoleh total 72 juta ton padi atau 38 juta ton beras per tahun, di atas basis kedaulatan pangan nasional yang semakin solid, dengan petani dan BUMN Pangan sebagai pilar-pilar utamanya.
Pertanyaan krusial kedua, bagaimana cara merealisasikan BUMN Pangan.  Secara teknis ini tidak terlalu sulit karena pemerintah sudah punya dua BUMN pertanian pangan yaitu PT Sang Hyang Seri (SHS) dan PT Pertani.    Bisnis inti SHS adalah produksi dan distribusi benih pertanian, tetapi belakangan juga mulai memasuki bidang produksi dan pemasaran sarana produksi pupuk dan pestisida. Bisnis inti Pertani adalah perdagangan (trading) sarana produksi pupuk dan obat-obatan, tetapi belakangan juga memasuki bidang produksi dan pemasaran benih padi dan beras.   Jika kedua BUMN ini diintegrasikan, entah melalui cara merger ataupun holding, maka hasilnya adalah sebuah BUMN Pangan yang kuat karena menguasai aset dan memiliki akses agribisnis pangan skala nasional mulai dari hulu (produksi benih dan saprotan), tengah (usahatani pangan primer), sampai ke hilir (pengolahan dan pemasaran produk pangan).
Realisasi BUMN Pangan tersebut, sebagai strategi penegakan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional, tampaknya sangat tergantung pada jawaban atas pertanyan krusial ketiga, yaitu apakah pemerintah memiliki komitmen politik yang kuat untuk menegakkan kedaulatan dan ketahanan pangan nasional menuju 2025? 




[1] Alexandratos, N. and H. de Haen, 1995 “World consumption of cereals: will it double by 2025”, Elsevier Science Ltd.; Kulshreshtha,S.N.,  1998, “A Global Outlook for Water Resources to the Year 2025”, Water Resources Management  (Volume 12, Number 3 / June, 1998); European Commission, 2004, “Plants for the future': A European vision for plant biotechnology towards 2025, European Commission; Directorate-General for Research of Eurepaan Communities, 2009, The World in 2025 Rising Asia and socio-ecological transition, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities;  Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research; McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research.

[2] Kulshreshtha,S.N.,  1998, “A Global Outlook for Water Resources to the Year 2025”, Water Resources Management  (Volume 12, Number 3 / June, 1998); “Two-thirds of world population could face water shortage by 2025: FAO”, ABC Online (23 Maret 2007); Rosegrant, Mark W., Ximing Cai and Sarah A. Cline, 1995, “World Water and Food to 2025: Dealing with Scarcity”,  IFPRI & IWMI; Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); European Commission, 2004, “Plants for the future': A European vision for plant biotechnology towards 2025, European Commission; Directorate-General for Research of Eurepaan Communities, 2009, The World in 2025 Rising Asia and socio-ecological transition, Luxembourg: Office for Official Publications of the European Communities; Susanti, E., F. Ramadhani, E. Runtunuwu dan I. Amin, 2009, Dampak Perubahan Iklim terhadap Serangan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) serta Strategi Antisipasi dan Adaptasi, Bogor: Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Balitbangtan RI; “Strategi dan Inovasi Teknologi Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim Global”, Jakarta: Balitbangtan, 2009;  Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008, ”Dampak Perubahan Iklim terhadap Sektor Pertanian serta Strategi Antisipasi dan Teknologi Adaptasi, Pengembangan Inovasi Pertanian 1(2) hal. 138-140.
[3] “Opening Statement of FAO Director-General, Dr Jacques Diouf”, World Summit on Food Security Rome, 16 – 18 November 2009.
[4] “Declaration of The World Summit on Food Security”, World Summit on Food Security Rome, 16-18 November 2009.

[5] “Opening Statement of FAO Director-General, Dr Jacques Diouf”, World Summit on Food Security Rome, 16 – 18 November 2009;  “Declaration of The World Summit on Food Security”, World Summit on Food Security Rome, 16-18 November 2009.

[6] Leisinger, Klaus M., 2000, “Population Growth, Food Security, and Civil Society The Hunger Problem Can Be Solved”, D+C Development and Cooperation (No. 1, January/February 2000, p. 8-12); McCalla, Alex F., 1994, Agriculture and Food Needs to 2025: Why We ShouldBe Concerned, Washington, D.C.: Consultative Group on International Agricultural Research. 
[7] Feeding the World, Eradicating Hunger, Background Paper WSFS, Rome, 16-18 November 2009
[8] Feeding the World, Eradicating Hunger, Background Paper WSFS, Rome, 16-18 November 2009

[9] Peraturan Presiden No. 77/2007 tentang Daftar Usaha Tertutup dan Terbuka.
[10] Undang-Undang No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.
[11] Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 18/2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman, sebagai payung hukum berinvestasi di estat pangan.
[12] Achmad Suryana, “Kebijakan dan Strategi Mewujudkan Keterjaminan Hak Atas Pangan”, Makalah pada Workshop Ketahanan Pangan, KKP dan Meneg BUMN, Surabaya, 5 Desember 2009.
[13] H.P.Saliem dan E. Ariningsih, “Perubahan Konsumsi dan Pengeluaran Rumahtangga di Perdesaan: Analisis Data Susenas 1999-2005”, Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor, 19 November 2008.

Tulisan ini koleksi pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar